Tali Kasih

"Pernikahan yang mulai dihinggapi racun akan membuat seorang suami atau istri sudah tidak peduli dengan kesulitan pasangannya. Kedekatan emosional pun akan terlepas begitu saja. Masing-masing pasangan akan irit bicara dan mulai saling curiga."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Kau tega ceraikan aku dan tinggalkan kami di sini, Mas."

Lolongan disertai isak tangis tak mampu menghentikan langkah kaki pria 35 tahun itu. Punggung tegapnya yang memanggul ransel hijau tua semakin menjauh dari jangkauan wanita 30 tahun yang bersimbah air mata. Sementata dua bocah tanpa dosa menatap lurus ke depan mengiringi kepergian sang ayah. Mereka tak mengerti.

Rasa sedih dan perih mengiris hati Sum sekaligus. Rasa bersalah pun ikut mengiris hatinya tanpa henti. Kedua lengan Sum memeluk kedua putranya dengan erat. Isak tangis dan sesenggukan masih kompak berirama tanpa jeda, belum jua reda. Arkan dan Arai, dua putranya hanya bingung dengan sikap kedua orang tuanya. Wajah polos tak mengerti, menuntut penjelasan. Namun, Sum tak mungkin sanggup menjabarkan kepergian ayah mereka pada bocah kembar berusia 4 tahun itu.

Sum melipat seluruh bajunya dan memasukkan ke dalam koper. Wanita berwajah oval itu juga mengemasi peralatan dapur dan beberapa alat elektronik miliknya. Dia telah memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Sisa sedikit tabungan dia buat ongkos pick-up untuk mengangkutnya pulang. Tak ada lagi pengharapan tali kasih dalam rumah mungil itu. Mas Arga telah mantap menceraikannya dengan talak tiga.

Setelah berpamitan pada tetangga, Sum segera menuju pick-up yang telah siap dengan seluruh barangnya. Para tetangga yang tak tahu duduk persoalan sangat kaget. Sum pamit begitu tiba-tiba dan tak ada yang tahu hal apa yang membuatnya pergi. Tak seorang pun tahu biduk rumah tangga wanita baik hati itu telah roboh tadi malam. Hanya kebingungan dan tanda tanya keluarga Sum.

Jalanan berkelok daerah Dampit ke Ampel Gading telah dilewati. Sum tiba di perbatasan Malang Lumajang. Perasaannya masih sangat kacau saat mereka tiba di rumah si Mbok. Buyung adik semata wayangnya dengan sigap menurunkan barang Sum dan menatanya di dalam rumah kuno yang luas. Pilar-pilar jati yang kokoh itu seakan menyambut Sum. Sandaran Sum pada tiang berukiran khas Jogja itu mengantarnya pada tidur lelap. Sementara Arkan dan Arai ikut Lek Buyung menyusul si Mbok di ladang.

Sum terbangun saat matahari sudah menuju peraduan. Kedua putra kembarnya sudah mandi dan berganti pakaian. Si Mbok sudah selesai menata makan di meja, Sum segera berdiri dan mencium tangan ibunya takzim. Air mata kembali meleleh saat hidungnya menempel di tangan yang mulai keriput itu. Sum tak sanggup bercerita apa pun pada si Mbok.

"Mandilah dulu, biar awakmu segar, Nduk!" ucap si Mbok lembut.

Sum segera menuruti titah si Mbok. Dia juga sudah merasa lengket. Dia baru mandi selepas subuh tadi, kini sudah menjelang magrib. Lepas salat magrib berjemaah di musala, si Mbok mengajak mereka makan bersama. Si Mbok meneliti raut wajah Sum yang dirundung kepiluan, matanya bengkak dan menghitam. Tangannya sejak tadi lebih banyak mengaduk makanan daripada menyuapkan makan ke mulutnya. Si Mbok memperbanyak istigfar melihat kondisi Sum, putri sulungnya yang sangat berantakan.

Hati kecil si Mbok menerka kondisi rumah tangga Sum sedang tak baik-baik saja. Namun, si Mbok enggan menanyakannya sekarang. Dia hendak membiarkannya dulu hingga Sum siap untuk bercerita. Si Mbok tahu tabiat putrinya. Sum bukan tipe yang tertutup, namun dia selalu butuh waktu untuk menjelaskan masalahnya. Hati seorang ibu biasanya jarang terpeleset dari apa yang dipikirkan. Si Mbok hanya berdoa, Arga datang menjemput Sum segera.

Ahad pagi mengantar kesibukan di rumah si Mbok. Buyung menata ruangan dan menggelar karpet habis salat Subuh dari masjid. Dia begitu cekatan menata layar dan LCD. Arkan dan Arai berlarian di atas karpet yang telah digelar Buyung, namun mereka dibiarkan saja bermain. Buyung hanya mengingatkan mereka agar baik mainnya.

Si Mbok sudah menyiapkan kue dan polopendem di atas piring khusus. Kesibukan si Mbok dan Buyung menyeret Sum untuk membantu.

"Ada apa, tho Mbok?" Sum membuka percakapan.

"Ada pengajian rutin, Nduk," Mbok menjawab pertanyaan Sum sembari tersenyum.

Sum membantu Mbok dengan cekatan menata kue. Jam 6.30 mereka selesai berbenah, tempat acara dan jamuan sudah siap dan rapi. Mereka sarapan bersama di amben belakang rumah. Suasana segar dan asri menyapa Arkan dan Arai. Mereka senang sekali melihat tanaman dan pohon-pohon yang rindang.

"Bun, Ayah kapan ke sini main sama Abang dan Kakak?" Arai mengutarakan isi hatinya.

Sum tercekat. Hatinya kembali bergemuruh. Arkan dan Arai tentu akan menanyakannya suatu waktu, tapi Sum tak menyangka secepat ini.

"Ayah insha Allah ke sini suatu saat nanti, Le," Mbok mencairkan suasana.

"Hayuk makan dulu, nanti siapa yang mau ikut Pak Lek menangkap ikan di keramba?" Buyung ikut mengalihkan perhatian.

Arkan dan Arai kompak menyahut, "Aku."

Buyung pulang membawa tangkapan ikan. Arkan dan Arai membuntutinya dengan tertawa riang. Segera Buyung bersihkan diri untuk menyambut teman-teman dan tamu undangan. Sesaat lagi pengajian akan dimulai. Buyung dan si Mbok sudah rapi sekali saat tamu mulai hadir. Pengajian dimulai tepat waktu. Sum tak berani keluar, dia hanya menyimak di belakang dapur sambil menjaga Arkan dan Arai.

"Pernikahan itu kan untuk mamadu tali kasih agar meraih kebahagiaan. Kebahagiaan hakiki itu untuk meraih rida Allah. Jika pernikahan telah dihinggapi hubungan beracun, rasa cinta hilang, kasih sayang juga hilang, lantas prahara yang terus datang, maka aktivitas pernikahan menjadi sebatas rutinitas belaka."

Sum menajamkan pendengarannya. Hatinya merasa diremas-remas. Pengajian yang disangkanya sebatas tahlilan dan yasin, ternyata berbeda. Ada ceramah dari seorang ustaz yang membahas pernikahan. Sum merasa ditampar berkali-kali dengan isi ceramah itu. Lelehan air mata menganak sungai di kedua pipinya.

"Pernikahan yang mulai dihinggapi racun akan membuat seorang suami atau istri sudah tidak peduli dengan kesulitan pasangannya. Kedekatan emosional pun akan terlepas begitu saja. Masing-masing pasangan akan irit bicara dan mulai saling curiga."

Sum memejamkan matanya. Itu semua dirasakannya setahun terakhir sebelum akhirnya kata talak itu keluar dari lelaki yang dicintainya. Sum kembali teringat Arga yang dengan tega meninggalkannya bersama kedua bocah yang tak berdosa. Sum meratapi nasibnya. Kenapa perceraian yang dipilih suaminya. Kenapa tak ada kesempatan buat Sum untuk memperbaiki kekurangannya selama mereka merajut tali kasih bersama.

Bersambung…[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Isapan Jempol Ide Moderasi Beragama
Next
Lukisan Buram Wajah Pendidikan dalam Sistem Kapitalisme
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram