"Bapak berharap aku bisa menjadi pengacara hebat dan terpercaya nantinya. Namun, sepuluh semester aku berada di perantauan ini, tidak kunjung menemui akhir. Dan hati ini sudah cukup rindu untuk memiliki kekasih halal, ingin meraup pahala besar dari ikatan pernikahan. Akankah Bapak akan merestuiku?”
Oleh: Armina Ahza
NarasiPost.Com-“Nak, ada lelaki saleh yang ingin meminangmu!”
Begitulah ucap Bu Dharmini yang mendekati Galuh setelah mendongeng kegiatan TPQ di Masjid Al Furqon.
“Ibu … saya masih kuliah, Bu. Apa mau, laki-laki itu menikah dengan perempuan yang belum selesai studinya?” jawab Galuh sambil tersipu malu memastikan.
“Sepertinya beliau tidak mengapa. Karena beliau mengenal Nak Galuh,” kata Bu Dharmini dengan yakin.
“Memang siapa, Bu?”
“Itu … Ustaz Adam, pengajar TPQ di sini.”
“Oh, Ustaz Adam.”
“Iya, bagaimana, Nak? Kalau mau, nanti biar kami berkunjung ke rumahmu di Solo sana, untuk menemui Bapak. Ini CV Ustaz Adam.”
“Nanti saya beri kabar ke Bu Dharmini, njih, soal kelanjutannya,” jawab Galuh sambil menerima CV tersebut.
Malam yang gelap gulita, terhiasi kejora nan indah memanjakan mata. Terlihat dari dedaunan, seorang gadis termenung memandang angkasa yang kelam dengan goresan bintang. Cahaya yang mendekap membawa harapan dan impian, juga kebimbangan. Teringat olehnya pesan lima tahun silam dari pahlawan kehidupan.
“Pak, Galuh tidak tahu harus bagaimana. Galuh sudah berikhtiar untuk bisa segera menyelesaikan studi Hukum. Namun, jalan ini sulit. Bapak berharap aku bisa menjadi pengacara hebat dan terpercaya nantinya. Namun, sepuluh semester aku berada di perantauan ini, tidak kunjung menemui akhir. Dan hati ini sudah cukup rindu untuk memiliki kekasih halal, ingin meraup pahala besar dari ikatan pernikahan. Akankah Bapak akan merestuiku?”
Lamunan Galuh dalam merajut masa lalu dengan masa depan dibuyarkan oleh panggilan telephone berdering. Lalu ia melangkahkan kaki untuk segera mengangkatnya, karena biasanya ibunya menelpon pada malam hari untuk sekadar mengobrol dengannya.
“Assalamu’alaikum, Bu.”
“Wa’alaikumussalam, Nduk. Sedang apa kamu?” Ibu Galuh bertanya di samping Bapak Galuh yang sedang membaca koran.
“Sedang santai saja, Bu? Bapak, Bu?” tanya Galuh sambil kembali duduk di depan jendela.
“Bapak lagi ngeteh sambil ngikuti berita di koran.”
“Oh …” jawab Galuh sambil mengangguk menandakan bahwa ia sudah terbiasa mengetahui aktivitas bapaknya setiap hari seperti itu, menyempatkan minum teh dan membaca koran di malam hari.
“Kamu bisa pulang pekan ini, Nduk?”
“Memang ada apa, Bu?” Tidak biasanya ibu Galuh memintanya untuk segera pulang, padahal ini sudah hari Jum’at.
“Ya tidak ada apa-apa, hanya ada yang ingin Ibu sampaikan ke kamu, dan tentu Ibu sangat kangen sama anak Ibu yang manis ini.” Ibu tersenyum sumringah.
“Iya, Insyaallah Galuh pulang Ahad pagi, Bu.”
“Ya, hati-hati kalau pulang naik motornya, ya Nduk. Segera istirahat, ini sudah malam. Jaga kesehatanmu!”
“Njih, Bu.”
Setelah ibunya menutup telpon, Galuh pun besegera menutup jendela walau sebenarnya ia masih ingin sekali memanjakan matanya untuk memandangi langit dengan segala keindahannya. Namun, malam makin larut, hendaknya ia beranjak dalam peristirahatan.
Setelah melaksanakan rutinitas sebelum tidur, Galuh membaringkan badan dan memejamkan mata. Namun, apalah daya. Meski matanya terpejam, tetapi pikirannya tidak bisa beranjak istirahat. Ia selalu terpikir akan perkataan Bu Dharmini tadi sore. Ia terpikir akan keinginannya untuk menikah. Ia terpikir studinya yang tak kunjung selesai, dan ia terpikir dengan bapaknya, yang karakternya begitu kuat hingga sampai sekarang ia tidak pernah berani menyampaikan setiap harapan kepada bapak, termasuk dalam perkuliahan mengambil Jurusan Hukum.
Sebenarnya itu bukanlah keinginan Galuh, namun keinginan dan harapan dari sang Bapak. Bapak sangat ingin sekali anaknya terjun dalam bidang hukum, jadi pengacara, hakim atau semacamnya. Lagi-lagi ia membuka mata dan memandangi langit-langit kamar, dan berkata dalam hatinya,
“Apakah aku harus memberanikan diri untuk bicara dengan Bapak saat pulang besok, kalau sudah ada yang ingin menikahiku?” Ia pun mengggelengkan kepala sendiri.
Malam itu, Galuh sedang berperang merajut masa lalu dan masa depan agar menjadi rajutan indah. Pikirannya yang tak bisa diajak beristirahat membuatnya tertidur cukup larut.
Sabtu pagi, ia bersiap untuk mendongeng. Ia ketuk pintu kamar kos temannya yang masih satu kos-kosan.
“Assalamu’alaikum, Mel, Mela! Kamu jadi ikut aku mendongeng pagi ini?"
“Iya, jadi dong. Aku udah siap-siap, ini. Bentar, ya.”
“Oke, aku tunggu di teras depan.”
“Yuk!” ajak Mela, selang beberapa waktu saat Galuh masih duduk di depan sambil membaca buku.
Deru motor dinyalakan. Galuh yang memboncengkan Mela ke tempatnya mendongeng hari ini. Helm pink menghiasi kepala mereka. Baju gamis warna pastel pun mereka kenakan, menggambarkan dua orang muslimah yang berusaha menjaga kehormatan saat keluar rumah.
“Luh, sejak kapan kamu suka mendongeng?”
“Sudah dari SD, Mel.”
“Wah, lama juga, ya? Pantes, sekarang kamu diundang di mana-mana buat mendongeng. Kalau aku kira sih, kamu udah level basional.“ ujar Mila sambil menepuk pundak Galuh.
“Aamiin, ya Rabb.”
“Oh ya, piala di kamar kamu itu kan piala juara satu waktu kamu SMA, ya?”
“Iya.”
“Dulu aku sempet bertanya pada diriku sendiri, kenapa kamu anak Hukum kok suka mendongeng, menggeluti dunia anak-anak. Oh, ya, kenapa dulu kamu nggak ambil jurusan Sastra aja?”
“Ingin mengabulkan permintaan Bapak, Mel, siapa tahu jadi pengacara hebat beneran, hehe, walau nggak lulus-lulus. Tapi kalau ditanya pilih mana, aku lebih suka mendongeng.”
Mereka terus berbicara saat menyusuri jalan menuju tempat lokasi mendongeng, hingga tak terlihat lagi motor yang mereka kendarai.
Bersambung …[]
Photo : Pinterest