Biarlah hidup susah asal jangan terjerat utang. Selama kebutuhan makan dan minum terpenuhi, hendaklah kita tutup mata dari semua godaan kemewahan yang ada.
Oleh. Rosmiati
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Siang itu langit begitu cerah dan terik mentari cukup menusuk kulit. Untunglah angin sepoi-sepoi datang menghampiri. Suasana menjadi sedikit adem.
Aku berjalan ke belakang rumah. Ternyata cucian yang kucuci pagi tadi sudah berserakan di atas rerumputan yang mulai menguning akibat musim panas yang berkepanjangan di kampung kami.
"Aira …," ucapku memanggil putri semata wayangku untuk membantu memunguti satu per satu pakaian yang jatuh.
"Aira …," panggilku kembali. Sayangnya putriku belum juga menyahut.
Kuteruskan memungut pakaian hingga semua berhasil kukumpulkan. Lalu kulangkahkan kaki berjalan menuju rumah.
Dari kejauhan sayup-sayup kulihat dua orang lelaki yang memakai baju putih bersih dilengkapi dengan sepatu hitam mengkilat sedang menunjuk-nunjuk seorang wanita.
"Ada apa?" batinku sembari menginjakkan kaki ke anak tangga. Setelah sampai di dalam rumah, barulah terlihat Aira sedang bermain di dapur.
Aku tercenung, akhir-akhir ini kampung kami memang kerap didatangi oleh orang asing. Baik laki-laki maupun perempuan. Cara berpakaian mereka layaknya orang kantoran.
"Siapa, ya, mereka?" lirihku sembari menata beberapa lembar pakaian.
Tiba-tiba terdengar teriakan.
"Dasar tidak tahu malu! Pergi kalian dari sini!"
Aku terhenyak. Pakaian yang ada dalam genggamanku terlepas. Sontak aku berlari ke arah jendela yang menghadap ke jalan, karena penasaran dengan suara yang kudengar barusan.
Tetanggaku mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Aku pun makin penasaran.
"Aira, jangan ke mana-mana, ya, Nak. Ibu ke depan sebentar!" pintaku pada putriku, Aira yang masih asyik bermain di dapur.
Aku pun berlari ke kerumunan orang.
"Kembalikan anak itu! Kembalikan! Dasar tidak tahu malu. Enak saja kalian mau ambil anak ini! Berapa utang ibunya? Berapa? Asal kalian tahu, berapa pun jumlahnya tak akan sebanding dengan anak ini!" Kudengar suara Bu RT. Suaranya begitu keras hingga terdengar dari jauh.
"Ibunya anak ini suka lari dan sembunyi ketika kami datang menagih. Utangnya banyak, hampir 30 juta!" balas seorang lelaki yang menenteng tas hitam. Suaranya tak kalah keras.
"Terus, kalian mau ambil anak ini sebagai tebusannya? Dasar tidak punya akal kalian!" hardik Bu RT.
Tak terdengar jawaban.
Aku datang menerobos massa yang mulai ramai. Kulihat Sutina menangis tersedu-sedu, sedangkan bayinya yang baru berumur belasan bulan itu berada dalam dekapan Bu RT yang tampak tengah menahan gejolak amarah yang luar biasa.
"Pulang kalian! Atau mau saya laporkan polisi?" teriak Bu RT.
"Bu, kami juga didesak dari kantor! Ibu ini sudah menunggak banyak. Harus segera bayar!"
Aku hanya bisa melihat Bu RT dan lelaki itu bernegosiasi. Tak lama, kedua lelaki itu dipanggil oleh Pak Kades ke Balai Desa. Perlahan-lahan massa pun bubar. Sejumlah warga yang menonton berangsur-angsur kembali ke rumah.
Kupanggil Sutina untuk menepi sejenak dari keramaian, sedangkan Bu RT mengikuti kami dari belakang.
"Tina, ada apa sebenarnya? Siapa kedua lelaki itu?" Tanyaku dengan penuh hati-hati. Aku tak mau lagi menambah luka di hatinya.
Sutina tak mau menggerakan bibirnya. Wanita yang sudah menjadi ibu saat masih belia itu hanya bisa menangis tersedu-sedu.
Tak kupaksa lagi. Kubiarkan ia meluapkan emosinya lewat tangisan.
Tak lama Bu RT menghampiri kami. Namun, dengan pertanyaan yang berbeda dariku. "Tina, katakan, berapa jumlah utangmu kepada mereka? Apakah betul Rp30 juta?"
Mendengar perkataan Bu RT, sontak aku syok dan terdiam. Aku baru mengerti bahwa ternyata kedua lelaki tadi hendak menagih utang kepada Sutina.
"Jawab, Tina! Lihat, hari ini untunglah banyak warga yang membelamu! Kalau tidak, anakmu ini akan jadi korban," ujar Bu RT dengan tegas.
"I—ya, Bu RT. Be—tul." jawab Sutina tergagap.
"Astagfirullah Al-Azim! Buat apa kamu pinjam uang sebanyak itu, Tina. Buat apa?"
Aku yang mendengar hal itu hanya bisa mengelus dada.
Bu RT tak bisa menyembunyikan kemarahannya. Wajahnya semerah saga.
"Sekarang kau pikirkan, bagaimana kau bisa mengembalikan uang sebanyak itu. Padahal setiap pembayaran yang terlambat akan terkena denda dan bunganya makin besar."
Sutina hanya bisa tertunduk lesu dengan napas yang terengah-engah akibat menahan tangis.
"Apa kau tak kasihan dengan anakmu yang masih bayi ini harus kau bawa keliling siang hari untuk sembunyi dari para rentenir itu?" seru Bu RT.
"Pulanglah ke rumah dan bicarakan masalah ini dengan suamimu," ujar Bu RT dengan nada yang mulai rendah. Ia pun tampak menjadi iba.
Sutina menganggukkan kepala seraya mengulurkan tangan untuk mengambil kembali putrinya yang sudah terlelap.
Aku pun tak tega membiarkan Sutina kembali sendiri dengan menggendong bayi mungilnya itu. Aku tahu jiwanya sedang terguncang hebat hari ini.
"Tina, sini biar aku yang menggendong Zainnah. Akan kuantar sampai rumah," pintaku padanya sambil menyodorkan kedua tanganku.
Wanita itu memberikannya padaku tanpa penolakan.
Dalam perjalanan pulang, tak satu kata pun keluar dari lisan kami berdua. Kami hanya fokus berjalan. Namun, mata warga tiada henti membuntuti kami. Tentu mereka membicarakan apa yang telah terjadi tadi.
Tak jauh berjalan. Tibalah kami di rumah berdinding kayu tempat Sutina tinggal bersama keluarga kecilnya. Setelah meletakkan Zainnah, aku pun bermaksud pulang. Tak mau lagi kuungkit masalah tadi.
Sebenarnya di benakku masih ada tanya, mengapa Sutina bisa nekat meminjam uang sebanyak itu. Padahal bila melibat ke dalam rumahnya, sungguh, tak ada barang mewah yang terlihat. Bahkan TV pun ia tak punya.
Begitu pun dengan dirinya, tak ada kilauan emas ataupun baju, tas, dan sepatu mewah yang ia pakai. Lantas buat apa uang sebanyak itu? Dan ke mana muaranya? Hanya saja, lagi-lagi aku tak tega menanyakannya.
_"Tina, aku pamit pulang dulu, ya,"_ucapku.
"Kak, apa boleh aku cerita?" ujarnya lirih.
"Ya, dengan senang hati aku akan mendengarnya."
Aku pun duduk kembali.
"Aku sebetulnya terpaksa meminjam uang kepada mereka," ungkap Tina dengan air mata berderai.
"Buat apa sebenarnya, Tin? Uang 30 juta itu besar. Maaf ya, bukan maksudku mengguruimu, tetapi uang berbunga itu diharamkan oleh agama kita. Dosanya sungguh sangat dahsyat."
Sutina kembali menangis terseduh-seduh.
"Aku bingung, Kak. Ibuku selalu mendesakku untuk mengirimkan uang setiap bulan untuk membayar cicilan rumah Ibu yang belum lunas. Jika sampai tak dilunasi, Ibu akan tinggal di jalanan. Sedangkan gaji suamiku sebagai buruh kasar mana cukup?! Untuk makan sehari-hari saja kami sudah kesulitan. Belum lagi utang biaya operasi saat aku melahirkan. Ah, aku bingung, Kak," jelasnya dengan tersedu-sedu.
"Aku sudah meminta pinjaman kepada keluarga, tetapi Kakak tahu sendiri kan? Kondisi ekonomi ipar-ipar saya semua sama. Tak ada yang berlebih. Jadilah aku beranikan diri meminjam uang pada mereka."
"Apa suamimu tahu masalah ini?"
Sutina terdiam.
Aku pun menunggu jawabannya. Sayangnya, wanita muda di depanku ini terpaku membisu.
Aku putuskan tak mengulik lebih jauh lagi.
"Maaf, Tina. Bukan maksudku untuk ikut campur. Hanya saja, cukup kali ini saja kamu berutang sebanyak itu. Jangan ditambah lagi. Kasihan, kamu yang susah sendiri. Lihat badanmu yang makin kurus kering. Meminjam uang berbunga bukanlah solusi, justru ia hanya membawa kita ke arah yang lebih sengsara lagi."
"Tapi, aku tak punya pilihan lagi, Kak. Aku tak tega melihat Zainnah kelaparan. Ditambah lagi, ibu selalu mendesakku tiap bulan."
Aku pun kembali terdiam.
"Ya, tapi meminjam uang dengan bunga juga bukan solusi. Coba minta langsung kepada Allah taala. Insyaallah akan ada solusi. Memang susah kondisi kita saat ini. Sudah hidup dirundung kesulitan, tawaran solusi yang ada bertentangan dengan akidah kita."
Tina hanya bisa tertunduk lesu.
Tak lagi kulanjutkan pembahasan soal riba. Kuelus wajah Zainnah yang tersenyum manis, lalu pamit pulang.
Dalam perjalanan pulang, aku tak henti membantin. "Semoga Allah Swt. memberi kekuatan iman serta kemudahan kepada Tina. Dan semoga masalahnya segera terselesaikan."
Aku pun teringat nasihat ibu mertua bahwa biarlah hidup susah asal jangan terjerat utang. Selama kebutuhan makan dan minum terpenuhi, hendaklah kita tutup mata dahulu dari semua godaan kemewahan yang ada.
Aku pun teringat firman-Nya, "Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275).[]
Masyaallah keren Kak Ros.
Banyak sekali Sutina di kehiduoan nyata yang suka rela membelitkan diri dengan utang riba. Hiks peer besar bagi kita ini. Cerpennya hidup banget
MasyaAllah, Kak Ros.
Cerpennya ringan tapi mengena.
Memuat pesan sungguh kejamnya riba, ia bukannya solusi tapi malah membuat masalah baru.
Utang riba itu ibarat, racun berbalut madu. Kelihatan manis tapi mematikan.
Mana saat ini racun itu berkeliaran di mana-mana. Biar di pasar lagi belanja di kasih lembaran "butuh dana cepat".
Semoga kita terhindar dari utang riba. Aamiin
Benar, ngeriba banget.
Dan akibatnya itu menakutkan.
Sebagian orang memang masih menganggap riba sebagai jalan keluar dari kesulitan ekonomi. Padahal, riba adalah jeratan yang sulit untuk keluar jika sudah terlanjur berkecimpung di dalamnya. Namun, kapitalisme memang sistem yang memfasilitasi mengguritanya riba di tengah masyarakat. Mirir ya ...
Dalam dunia kapitalis riba terus ditawarkan dan dipaksakan hingga seakan menjadi solusi bagi masyarakat yg tipis iman..padahal dengan riba akan membuat kehidupan semakin hancur sementara murka Allah jelas didapat.
Pinjaman berbasis riba memang tidak akan pernah bisa memberikan jalan penyelesaian. Hidup makin terpuruk, dosa pun makin bertumpuk. Barakallah mba@Rosmiati. Ceritanya mewakili kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat saat ini.