""Kesenangan kalian di luar sana fana, Nduk. Sama fananya dengan kehidupan dunia ini. Kalian mungkin sudah mukallaf semua, kelak kalian akan bertanggung jawab atas apa yang kalian perbuat." Wejangan Pak Wafa tak bisa dicegat
Oleh: Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap Narasi Post.com)
NarasiPost.Com-"Kami lewat pagar belakang dekat sawah. Saya, Pak, yang punya ide itu. Jadi, biar saya yang menerima ganjarannya."
Bibir pucat Sam gemetar. Namun, ucapannya masih memberikan artikulasi dengan fasih. Dia menjelaskan kronologi kabur demi menonton pertandingan final di lapangan Paiton. Meski nanti akan diumumkan juga saat upacara hari Senin, tetapi Sam menjelaskan bahwa ia hendak menyaksikan langsung di lapangan. Dialah yang mengajak teman-temannya kabur karena kalau izin pasti tidak boleh.
Pak Wafa menyimak dengan seksama dan antusias. Tak ada wajah ditekuk sedikit pun saat beliau mengetahui cerita mereka merusak pagar belakang. Ketenangan Pak Wafa justru membuat mereka semakin gugup dan menggigil. Bagi mereka, Pak Wafa sangat susah untuk ditebak. Biasanya, hukuman yang diberikan saat siswa atau siswi melanggar aturan, justru sangat sadis.
Sam melihat kegelisahan dalam wajah teman-temannya. Dia pun sebenarnya resah dan gelisah. Namun, riak-riak asa melompat-lompat dalam benak Sam. Dia menyadari dan menginsafi kesalahannya, kesalahan besar dengan kabur dan merusak fasilitas sekolah. Dia berpositif thinking, apa pun hukumannya nanti, itu yang terbaik buat dirinya.
Riak asa itu menggedor manik mata Sam. Netranya memanas hendak menumpahkan kuah karena dadanya sesak dipenuhi riak asa. Segala kemungkinan bisa terjadi. Kondisi terburuk pun dia prediksikan. Ketidaklulusan harus diterima dengan lapang dada atas kesalahan yang telah diperbuat.
Ade, Uci, dan yang lain harap-harap cemas dengan diamnya Pak Wafa. Segala kemungkinan juga berkecamuk dalam benak mereka. Penyesalan pun menguar tanpa jeda. Bukan hanya berkuah, netra mereka. Sesenggukan mulai konser bersama. Hanya Sam yang tertunduk dan menyusun kata.
"Maafkan kesalahan kami, terutama saya, Pak. Saya siap menerima ganjaran yang berat sekali pun. Tapi, tolong maafkan teman-teman saya." Sam mengiba dengan tulus.
Pak Wafa menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan berat. Beliau menatap satu persatu wajah tertunduk siswi di hadapannya. Beliau tak habis pikir, kenapa mereka begitu bernafsu menonton pertandingan. Namun, tak tampak oleh beliau gelagat para siswi itu janjian dengan siswa. Saat mereka dicari, tak ada di area lapangan, para siswa yang ada di lapangan malah tidak tahu kehadiran mereka. Pak Wafa hanya mampu mengihsas mereka murni menonton pertandingan.
"Kalian mungkin bisa tidak ketahuan andai tidak mampir ke kantor pos. Pak Pos yang menelpon kami setelah kalian dari sana menuju lapangan," ujar Pak Wafa buka suara.
Sam dan teman-temannya terkesiap. Ternyata bukan Pak Taufik yang menyampaikan, malah Pak Pos. Namun, Sam segera menetralkan pikirannya. Bagaimanapun, dia tetap salah, apalagi merusak pagar sekolah.
"Kalian anak madrasah. Bapak sungguh malu pada Allah karena tak berhasil mendidik kalian dengan akhlakul karimah. Padahal, sebentar lagi kalian akan lulus." Pak Wafa menatap tajam satu-persatu siswinya.
"Kesenangan kalian di luar sana fana, Nduk. Sama fananya dengan kehidupan dunia ini. Kalian mungkin sudah mukallaf semua, kelak kalian akan bertanggung jawab atas apa yang kalian perbuat." Wejangan Pak Wafa tak bisa dicegat.
Beliau menjelaskan terkait ihsanul amal atau amal baik yang merupakan syarat agar masuk surga. Sebuah aktivitas bisa disebut baik jika ikhlash karena Allah dan sesuai dengan syariat Allah. Beliau menyampaikan bahwa apa yang dilakukan mereka bukanlah ihsanul amal. Meski mereka sudah niat lillahita'ala menonton pertandingan, tetapi cara mereka tidak sesuai syariat Allah.
Pak Wafa juga menegaskan bahwa perbuatan yang tidak ihsan itu sia-sia, bahkan bisa menjerumuskan mereka pada dosa. Mereka juga diingatkan bahwa misi penciptaan manusia ialah untuk ibadah. Ibadah ini ada tiga dimensi, bukan hanya dimensi hablum minallah, tapi juga ada hablum minan nas dan hablum minan nafs. Akhlak adalah dimensi hablum minan nafs atau hubungan dengan diri sendiri. Jujur, sopan, baik itu semua harus dilakukan karena Allah wajibkan, bukan karena hal lain.
"Sungguh, Bapak malu dan takut pada Allah. Bagaimana kelak akan mempertanggungjawabkan semua ini?" Pak Wafa menekan intonasi suaranya.
Suara isak tangis bergema seirama. Nyeri di hati Sam begitu kuat. Penyesalan semakin menari-nari di depan matanya. Ah, Pak Wafa tidak mencemooh bahwa mereka tak berakhlak, tapi ungkapan malu pada Allah karena gagal mendidik mereka berakhlak mulia menjadi tamparan yang teramat menyakitkan. Namun, semua wejangan Pak Wafa menyusup dalam sanubari mereka, bahkan tertancap kuat.
"Sebagai hukuman, bacalah istighfar 1000 kali dan baca surat At-Taubah sekarang. Jika kalian ada yang uzur, istighfar saja 1000 kali di sini." Pak Wafa menginstruksikan hukuman.
Meski hukuman bukanlah hukuman fisik di muka umum seperti biasanya, mereka sangat malu untuk mengangkat wajah, apalagi menoleh ke luar jendela. Meski demikian, rasa syukur membuncah karena Pak Wafa memberi mereka kesempatan bertobat dan memperbaiki diri. Nasihat beliau telah terpatri dalam hati. Mereka berazam tak akan mengulangi lagi kenakalan itu, kapan pun dan di mana pun.
Finish ….[]