"Jantung mereka seakan hendak melompat dari singgasananya. Tak ada yang berani menatap Pak Wafa walau sekilas. Sam saja menunduk ke arah lantai berbentuk heksagonal."
Oleh: Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-"Cepetan, Ci. Bawa sini tangnya! Aku aja yang motong." Suara Sam pelan, namun penuh tekanan.
Dengan segenap kepatuhan, Cici menyerahkan tang dan gunting. Dalam hitungan detik, pagar kawat berduri itu telah memiliki lubang besar di bagian bawahnya. Layaknya komandan, Sam cekatan tiarap melewati lubang pagar. Gerilyanya begitu apik, tak ada suara grusak-grusuk.
"Ayo, segera keluar! Ade, Zahro belakangan. Perhatikan keadaan, khawatir Pak Wafa datang." Sam mengomando dengan begitu fasih.
Tinggal tiga orang lagi temannya yang masih di dalam pagar berkawat itu. Sam selalu awas, tetapi tetap tenang. Dia membantu teman-temannya yang kesulitan tiarap melewati pagar. Tangannya lincah mengangkat pagar tatkala body tak cukup untuk melewatinya.
"Sial, siswa putra lihat kita. Ayo Lif, segera!" Ade mulai panik.
"Aku takut," jawab Kholif dan Muhai serentak.
"Ayo, De! Kau segera keluar, teman-teman lain segera ke arah pasar langsung ke masjid Baitussalam. Kita cegat Colt di sana. Sebentar lagi aku dan Ade nyusul." Sam mulai memberi aba-aba.
Cici memimpin pasukan menuju masjid. Rute pasar Tanjung jadi pilihan untuk menghindari pengawasan dewan guru. Langkah mereka tenang, tak menimbulkan rasa curiga dalam benak masyarakat yang berpapasan dengan mereka. Sam dan Cici telah merancang perjalanan seolah mereka sedang penjelajahan ala anak Pramuka. Mereka berjalan berbaris.
Selang 180 detik, Sam dan Ade berhasil menyusul rombongan. Tanpa pikir panjang, mereka segera naik Colt. Rasa deg-degan yang menerpa saat mereka kabur dari sekolahnya lumayan reda. Mereka sahut-menyahut menceritakan perasaan masing-masing.
"Lihat, itu Pak Taufik lewat. Apa beliau mencari kita, ya?" Lutfi yang awas merasa khawatir.
"Tenanglah, Lut! Kita lewat jalan lain nanti. Mampir ke kantor pos dulu saja." Sam memberikan ide cemerlang.
Mereka tiba-tiba gelagapan saat kernet Colt menagih ongkos. Alamat duka menyapa. Bendahara mereka kan si Muhai. Tadi Muhai milih tinggal. Wajah pias kompak berlenggang dalam sapaan pandangan kernet.
"Pak, maaf. Teman kami yang pegang uang tidak ikut. Gini aja deh. Nanti, Bapak jemput kami lagi jam 11 siang. Ini gunting dan tang, saya titipkan Bapak. Ini barang keramat di rumah saya, Pak. Kalau barang ini hilang, nanti emak saya ngamuk." Panjang lebar Sam menjelaskan sambil melepas rasa malu.
Kemudian Sam menyerahkan barang pusaka itu beserta jam tangannya pada kernet. Hati sang kernet melunak dengan jaminan yang disodorkan Sam. Dia sadar, anak-anak itu jujur tentang uangnya. Sopir Colt itu malah berbaik hati mengantar mereka ke kantor pos. Tentu saja mereka girang. Selain itu, barang yang disebut keramat oleh Sam dikembalikan utuh bersama jam tangannya.
Lambaian tangan wajah para gadis berkerudung putih itu mengantar Colt kembali beroperasi normal untuk mencari penumpang. Mereka segera masuk ke kantor Pos karena melihat Pak Taufik ada di pinggir lapangan. Kehadiran mereka mengundang tanya di benak petugas kantor pos. Namun, Pak Pos membiarkan mereka melihat etalase kartu pos dan perangko.
Netra Pak Pos jeli betul memperhatikan gerak-gerik para siswi berseragam putih biru itu. Dia bahkan mengekor pandangan Ade yang mengawasi keadaan sekitar. Sam yang menyadari tatapan penuh selidik itu, segera melempar senyum pada Pak Pos.
"Boleh Pak kami numpang kipas di sini?" ucap Sam mengakhiri penyelidikan Pak Pos.
"Silakan, Nak! Kalian habis ikut lomba?" tanya Pak Pos memancing.
"Tidak, Pak. Kami mau mendukung kawan dan menonton saja," jawab Sam pantang berbohong.
Belum sempat obrolan berlanjut, Ade sudah memberi aba-aba kalau Pak Taufik sudah berbalik arah. Mereka akhirnya pamit ke Pak Pos dengan sopan. Sam dan teman-temannya lega telah lolos dari kecurigaan Pak Pos. Namun, satu hal yang mereka lupa. Di lengan kanan seragam mereka, tertempel angkuh bed lambang sekolah mereka.
Sorak sorai di lapangan begitu riuh. Para penonton berdesakan dihiasi debu yang beterbangan. Angin tertiup kencang ke arah utara. Grup putra dari sekolah Sam sangat diuntungkan berada di posisi selatan. Sekolah Sam berhasil memborong piala umum Bupati Cup 1999. Sam dan teman-temannya merayakan kemenangan itu. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 9.45WIB. Mereka berencana balik ke sekolah setelah menyaksikan penyerahan piala.
Sayang seribu sayang, Sam dan teman-temannya harus menelan pil pahit. Mereka diminta balik ke sekolah oleh Pak Har. Mereka heran bisa ketahuan keberadaannya, padahal mereka sudah mencari posisi paling sepi. Dengan berat hati, mereka melangkah dari tempat persembunyian. Sekolah Luar Biasa yang terletak di sebelah selatan lapangan itu menatap wajah sendu para remaja belia.
Segala prasangka berkecamuk dalam benak mereka. Sam sebagai kepala rombongan merasa bertanggung jawab atas kejadian ini. Ada beban moral bergelayut di hatinya. Apalagi, mereka kini digiring ke arah ruang wakil kepala sekolah. Mereka saling melempar pandangan tatkala dipersilakan duduk di ruangan ber-AC itu. Mungkin kalau mereka sedang dipanggil bukan karena pelanggaran, mereka akan berbahagia bisa duduk di ruangan itu. Tapi ini lain cerita. Sam semakin menggigil hatinya, begitu pun dengan yang lain.
Netra Cici mulai berkuah. Kepalanya tertunduk dalam. Dia tak menyangka idenya akan menyeret teman-temannya pada pelanggaran fatal. Dia sungguh merasa bersalah. Keringat dingin sudah membasahi tiap pori-pori tubuhnya. Dia tak mampu menatap Sam dan teman-teman yang lain barang sebentar. Sementara, mereka yang menyaksikan Cici tertunduk dalam, bertambah gusar.
"Assalamu'alaikum." Pak Wafa memecah keheningan.
Jantung mereka seakan hendak melompat dari singgasananya. Tak ada yang berani menatap Pak Wafa walau sekilas. Sam saja menunduk ke arah lantai berbentuk heksagonal.
"Saya dapat telpon dari Pak Pos. Beliau menyampaikan ada tujuh siswi yang numpang kipas di kantor pos. Apa benar?" tanya Pak Wafa pelan.
Anggukan kepala kompak menjawab pertanyaan Pak Wafa. Mereka menyadari, Pak Wafa pasti marah dan kecewa.
"Sebenarnya saya enggan tahu wajah kalian agar tidak kecewa. Tapi, saya tak ingin egois membiarkan kalian larut dalam kesalahan. Perihal apa yang mendorong kalian ke luar sekolah tanpa izin, coba jelaskan!" Pak Wafa mempersilakan dengan nada lembut.
Dengan gemetar, Sam menjelaskan ihwal kaburnya mereka. Mereka sekadar ingin memberikan semangat dan menyaksikan pertandingan.
Bersambung…[]