"Anak-anak tak berdosa itu sebenarnya masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi di negeri yang mereka tinggali. Sejatinya, mereka hanya ingin hidup selayaknya anak-anak di penjuru dunia lainnya, yang bisa menikmati masa kanak-kanak dengan tertawa riang dan bermain bersama teman-teman lainnya. Itulah harapan mereka yang sederhana."
Oleh. Lestari Umar
NarasiPost.Com-Suara bom menderu bertubi-tubi dijatuhkan oleh sekelompok tentara zionis tepat di jantung kota Gaza. Bom kali ini menyasar bangunan gedung yang temboknya masih terlihat berdiri kokoh di antara gedung-gedung lain yang telah hancur lebur. Gaza sungguh sudah tak mau mereka berikan ketenangan walau sedikit. Mereka terus merongrong, bahkan di waktu anak-anak sedang melakukan aktivitas menuntut ilmu demi harapan masa depan yang lebih baik.
Hingga Mei 2021, tercatat sudah lebih dari lima ratus gedung sekolah yang hancur di sana. Kini, di saat ada kesepakatan gencatan senjata pun, penghancuran sisa-sisa gedung yang digunakan untuk melakukan proses belajar mengajar masih terus saja terjadi.
Wajah-wajah lugu itu nampak ketakutan mendengar dentuman-dentuman keras yang mampu memekakkan gendang telinga siapa saja yang mendengar. Anak-anak tak berdosa itu sebenarnya masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi di negeri yang mereka tinggali. Sejatinya, mereka hanya ingin hidup selayaknya anak-anak di penjuru dunia lainnya, yang bisa menikmati masa kanak-kanak dengan tertawa riang dan bermain bersama teman-teman lainnya. Itulah harapan mereka yang sederhana.
Akan tetapi justru sebaliknya, apa yang terjadi pagi itu sungguh menyesakkan dada. Seorang Ayah memeluk jasad anak laki-lakinya dengan erat sambil terisak menyebut namanya. Anak laki-laki tampan bernama Hasan itu seharusnya berada dalam ruang kelas jika saja tidak ada rudal yang menyasar masuk ke sekolahnya pagi tadi.
"Yaa Hasan … bangunlah, Nak. Hasan … Hasan sayang," bisiknya pada sisi telinga anaknya yang sudah membiru.
Orang tua itu tak henti-henti memanggil nama buah hatinya di tengah genangan air mata yang sudah sangat deras membasahi pelupuk mata.
Shafiyyah, sang istri hanya bisa pasrah melihat kenyataan di hadapannya. Anak yang tujuh tahun lalu dikandungnya selama sembilan bulan penuh itu, harus wafat dengan begitu cepatnya di tangan manusia-manusia durjana penjajah bumi Palestina. Penjajah yang tak pernah punya hati untuk menahan ambisi keserakahan dan arogansinya atas tanah yang telah dijajah puluhan tahun lamanya. Penjajah yang tak pernah memandang lagi siapa target serangan mereka. Apa pun ingin mereka musnahkan dengan rudal-rudal penghancur, meskipun harus menghilangkan nyawa anak-anak tak berdosa.
Jasad Hasan berada di antara jasad-jasad temannya yang lain. Para malaikat saat ini pasti sedang memeluk mereka dengan lembut hingga wajah anak-anak itu seolah nampak damai dalam tidur lelap mereka.
"Surga menantimu, Nak", bisik Shafiyyah sang ibunda. Ia mulai mendekat pada jasad anak itu. Dengan lembut, diusapnya kening mungil yang pagi tadi ia kecup saat anak itu berpamitan untuk pergi ke sekolah seperti biasa.
Langit biru terhampar luas dan bersih tak bernoda. Pagi itu, Shaffiyah sedang memanaskan roti gandum pemberian dari saudara muslim yang berkeliling mengetuk tiap-tiap pintu rumah penduduk di sekitar tempat tinggalnya.
"Umi buat apa?" tanya Hasan saat menghampiri Shafiyyah pagi ini. Ibundanya itu sedang duduk di tepian kayu pada salah satu sudut rumah yang tidak beratap.
"Ini, ada roti pemberian dari saudara yang biasa berkeliling mengantarkan makanan. Hasan sudah siap berangkat ke sekolah?"
"Iya, Umi."
"Alhamdulillah. Mari sini, duduk anakku. Umi mau dengar hafalan Qur'anmu dulu."
"Baik, Umi. Auzubillahi minasyaitonirroziim. Inamaa yuwaffashaabiruuna ajrohum bighoiri hisaab (in) …"
Hasan mulai membacakan ayat suci Al-Qur'an yang sedang dihafalnya. Ia melantunkan ayat ke sepuluh surah Az-Zumar dengan fasih dan terdengar merdu di telinga.
Shafiyyah, ibundanya yang sedang khusyuk mendengarkan, dibuat terkagum-kagum oleh bacaan anak itu. Ia memeluk dan mendekap Hasan dengan penuh cinta. Lantunan ayat suci yang baru saja dibacakan itu kembali mengingatkan mereka tentang arti kesabaran dan perjuangan.
Mungkin tak banyak yang bisa memahami makna ayat tersebut. Akan tetapi, bagi keluarga Shafiyyah dan keluarga lainnya di sana, kesabaran dan perjuangan adalah dua kata yang sangat melekat di keseharian mereka. Mereka bersabar atas penderitaan hidup di tengah todongan senjata dan tekanan demi tekanan akibat perang yang tak berkesudahan, dan perjuangan untuk tetap bisa bertahan di tanah kelahiran yang terpaksa mereka bagi dengan orang-orang asing yang hendak merebutnya.
Entah berapa banyak darah dan air mata yang sudah tertumpah di hadapannya. Yang jelas, hingga detik ini, semua itu belum menunjukkan tanda-tanda kapan akan berakhir.
Dunia hanya diam menyaksikan kekejian itu. Kalaupun bereaksi, itu jika tejadi serangan brutal oleh rezim Zionis. Yang biasa mereka lakukan hanya mengecam, mengutuk. Namun, tak pernah lebih dari itu. Padahal, yang dibutuhkan oleh rakyat Palestina adalah dukungan nyata, dukungan yang nantinya bisa membebaskan mereka dari impitan hidup dan keterasingan di negeri mereka sendiri. Terlalu banyak hak-hak mereka yang telah direnggut paksa. Jika selamanya hanya kecaman saja yang diberikan, rasanya belum cukup untuk bisa mengembalikan mereka ke keadaan semula.
Shafiyyah menghela napas. Perjalanan itu sungguh masih jauh. Saat ini, yang bisa ia lakukan hanya bertahan, bertahan, dan bertahan, di samping harus tetap tegar, hadir di tengah anak-anak tercintanya yang harus ia didik menjadi pribadi-pribadi tangguh penerus tongkat estafet perjuangan pembebasan negerinya.
Hasan menyelesaikan muraja'ah setelah sepuluh kali mengulang lima ayat yang baru dia hafal. Shafiyyah meraih tangan Hasan dan menciumnya.
"Bagaimana hafalanku Umi?" tanyanya.
"Alhamdulillah anakku. Hafalanmu baik, akhlakmu juga baik. Semoga Allah selalu melindungimu dan memberikan keberkahan dalam hidupmu," ucap shafiyyah sambil mencium kening Hasan dengan lembut.
Hasan tersenyum riang. Ia balik mencium kedua pipi ibundanya kemudian kembali bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Ia menyimpan buku-buku pelajaran dengan rapi di dalam tas usang yang biasa ia bawa. Ia juga memasukkan satu mushaf Al-Qur'an kesayangan ke dalamnya.
"Umi, di mana Ayah?" tanya Hasan saat ingin berpamitan kepada kedua orang tuanya.
"Ayah sedang mengantre air bersih untuk keperluan kita. Mari, Umi antar Hasan keluar rumah dan menemui Ayah."
"Baik, Umi. Tapi, sebentar dulu."
Hasan menghentikan langkahnya sejenak. Anak laki-laki berambut pirang itu berjalan menghampiri sebuah foto yang tergantung pada dinding rumahnya. Ternyata ia juga ingin berpamitan dengan sosok yang ada di dalam foto tersebut dan mengucapkan salam padanya.
"Assalamualaikum, Ka Ahmad. Aku sangat merindukanmu. Tadi malam aku bermimpi bertemu denganmu, Kakak."
Hasan seperti berbicara dengan sosok pemuda yang ada dalam foto tersebut. Pemuda itu adalah Ahmad, Kakak Hasan yang meninggal satu tahun lalu saat terjadi bentrok antara polisi Zionis dan warga Palestina di kompleks masjid Al-Aqsa saat warga setempat sedang melakukan salat Jumat. Padahal, saat itu sudah ada kesepakatan untuk gencatan senjata sebelumnya, tetapi tuntutan masyarakat agar Israel menghentikan kekerasannya di wilayah tersebut sepertinya tidak diindahkan.
Shafiyyah mendengarkan perkataan Hasan dengan haru. Kerinduan yang dirasakan oleh Hasan begitu besar hingga sampai memimpikan Kakak tercintanya, sama seperti dirinya yang merindukan Ahmad, putra pertamanya itu. Tak hanya mengingat sosoknya, bahkan masih sangat tergambar jelas dalam ingatan Shafiyyah, saat hari di mana Ahmad menjadi salah satu korban meninggal saat bentrokan itu terjadi.
Bersambung[]