Netra Mancung menangkap semacam gelembung kain di antara gulungan besar ombak. Ada lambaian tangan yang sangat lemah terguling ombak. Lambaian tangan itu timbul dan tenggelam. Gelembung kain itu makin mendekati bibir pantai, tetapi lama sekali tiba di pinggiran pantai. Jiwa Mancung terpanggil untuk segera mengecek gelembung tersebut.
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Deburan ombak sedikit membuat hati para pengunjung ciut. Suaranya sangat keras dan terkesan menggema di telinga. Siang ini, laut memang sedang pasang dan ombak menggulung sangat besar. Perahu-perahu kecil yang terparkir rapi sudah tak tinggal dengan tenang. Badan perahu terseret ombak ke sana ke mari.
"Perhatian kepada para pengunjung agar menjaga jarak dengan bibir pantai. Jaga jarak aman enam meter!"
Peringatan secara berulang menyapa pengunjung di sepanjang pantai wisata itu. Penjaga pantai berkeliaran untuk menyapu seluruh ruas bibir pantai agar aman dari pengunjung. Jembatan bakau juga menyajikan pemandangan menegangkan. Hantaman ombak ke arah muara membuat jembatan yang sedikit tertanam itu bergoyang.
Handy Talky sibuk dengan suara riuh rendah para petugas dan penjaga pantai. Pintu gerbang pantai sudah ditutup dan tidak menerima pengunjung. Ketegangan tampak nyata dalam raut wajah para petugas itu, tak terkecuali wajah Mancung. Mimik muka Mancung yang terbiasa full senyum dan selalu ceria kini tampak datar saja. Handy Talkie-nya terus membawa gelombang suara yang tak mengenakkan dada.
Ada beberapa pengunjung yang berhasil diusir alias diminta pulang dengan halus. Itu menjadi tugas Mancung untuk mensterilkan pantai tersebut. Rasa cinta Mancung kepada tanah kelahirannya membuatnya tak pernah beranjak dari desa pesisir itu. Dia selalu menikmati setiap kondisi yang ada. Semangatnya membara tatkala mantan atlet PON tahun 70-an, Pak Dinu, membersihkan pantai di tempat tinggalnya. Rasa memiliki dan pengorbanan melebur menjadi satu. Dia turut andil dalam menjadikan pantai desanya menjadi salah satu pantai wisata.
Langkahnya sangat cepat mendatangi tiap pengunjung. Lisannya sangat fasih memberikan informasi dan instruksi agar para pengunjung pulang karena kondisi dan cuaca laut sedang ekstrem. Sepanjang masa baktinya di pantai ini, baru satu kali itu dia merasakan ketegangan teramat sangat. Handy Talkie masih terus mengantar pesan dengan setia. Mancung menerimanya dengan penuh kepatuhan.https://narasipost.com/traveling/11/2020/regatta/
Kabar buruk sedang menyelimuti pantainya. Semua petugas dan penjaga pantai bersiaga sembari menunggu Tim Sar. Ombak masih menggulung tinggi dan besar. Netra Mancung menangkap semacam gelembung kain di antara gulungan besar ombak. Ada lambaian tangan yang sangat lemah terguling ombak. Lambaian tangan itu timbul dan tenggelam. Gelembung kain itu makin mendekati bibir pantai, tetapi lama sekali tiba di pinggiran pantai. Jiwa Mancung terpanggil untuk segera mengecek gelembung tersebut.
"Mancung, jangan gila! Ini ombaknya besar dan ganas sekali, melebihi gelombang sebelum-sebelumnya. Kita tidak punya savety tools yang memadai."
Peringatan dari teman sejawat Mancung tak mengubah keputusannya. Langkah seribu telah melintas di hadapan beberapa petugas pantai yang masih terbengong. Nasib baik memihak Mancung. Keterampilan renangnya patut diacungi jempol. Dia berenang seperti ikan lumba-lumba yang melompat-lompat ke atas permukaan laut. Badannya seakan bersahabat dengan ombak.
Belum usai rasa heran para petugas pantai atas kelihaian Mancung yang berenang dengan cepat, rasa takjub kembali menyapa mereka. Betapa tidak, Mancung membawa sesosok perempuan dengan satu tangan. Sementara badan mereka seperti berselancar di atas gulungan ombak.
Penduduk asli pantai itu sudah tak meragukan keahlian Mancung. Mereka semua tahu Mancung ahli renang dan menangkap ikan besar. Bahkan saat kecil, dia beberapa kali berhasil menyelamatkan nelayan yang perahunya dibalik oleh ombak. Dia juga pernah menyelamatkan beberapa teman dan gurunya yang terseret ombak besar saat mandi di pantai.
Mancung meletakkan sosok perempuan berhijab dengan hati-hati. Tangannya lincah menutupi seluruh tubuh sosok tubuh berwajah oval itu. Penjaga pantai wanita segera mengambil alih tugas Mancung. Nasib baik berpihak pada mereka, tim medis siaga di pantai sejak satu jam lalu, saat ada informasi satu orang penumpang perahu "Ole Olang" tercebur ke laut dan terseret ombak ke arah timur laut di Selat Madura.
Rute Pegagan-Kalibuntu memang menjadi alternatif perjalanan ke Pulau Madura. Selain rutenya yang lebih ringkas sekitar empat jam perjalanan, biayanya juga jauh lebih terjangkau. Meski para penumpang harus bertahan dengan aroma sapi-sapi di dek bawah, mereka rela membelah Selat Madura dengan perahu itu.
Angin ribut dan ombak besar mengiringi perahu "Ole Olang" yang kurang menjaga keselamatan. Muatan yang melebihi kapasitas tidak dipedulikan. Jika ada satu kepala di perahu tersebut maka ada Rp50.000,00 yang siap masuk kantong. Hal itu "ceperan" alias tip tambahan bagi perahu yang seharusnya hanya mengangkut sapi. Tragis, perahu itu hampir tenggelam dan beberapa muatan terlempar ke laut, termasuk Cempaka, nama gadis berhijab yang diselamatkan Mancung.
Napas tersengal dan muntahan air cukup banyak keluar dari mulut Cempaka. Tim Sar dan tim medis segera membawanya ke rumah sakit begitu ambulans datang. Wartawan lokal banyak berdatangan di pantai tempat Cempaka ditemukan. Para wartawan itu mewawancarai beberapa petugas pantai. Namun, mereka tidak menemukan Mancung, sang penyelamat Cempaka dari amukan ombak yang ganas.
Adapun Mancung telah berganti kostum. Dia sudah memakai pakaian kering dan sedang mengendarai kuda besinya menuju Dinas Perhubungan di wilayah Pantai Kalibuntu, sekitar 50 km dari tempat tinggalnya. Jiwa kemanusiaan Mancung meronta saat tahu perahu sapi masih saja membawa penumpang dan muatan lain.
Dengan tenang, Mancung menghadap kepala pos pantau Pantai Kalibuntu. Dia menumpahkan segala resah yang menerpa jiwanya. Kenapa bisa perahu khusus sapi memuat penumpang dan kendaraan roda dua. Bagaimana dengan keselamatan penumpang, sementara dek atas hanya ruang terbuka tanpa pagar samping yang kokoh.
"Mereka sudah sering diperingatkan dan diberi sanksi," jawab kepala pos pantau.
"Cukupkah, Pak, dengan peringatan dan sanksi ala kadarnya?"
"Kamu tidak tahu, Anak Muda. Mereka itu tambeng dan sedikit diingatkan mengajak carok."
Jawaban yang sukses membuat dahi Mancung mengernyit sempurna. Bagaimana mungkin pos pantau yang bertanggung jawab atas transportasi dan perhubungan menjawab dengan lelucon. Jengkel dan gemas beradu tak menentu dalam altar nalarnya. Beragam asumsi menari di ranah pemikiran Mancung.
"Kalau memang begitu, kenapa Bapak tidak mencoba memberikan pelayanan lebih mudah dan harga terjangkau dengan membuka rute Kalibuntu-Pegagan khusus penumpang? Bukankah hal itu sesuatu yang sangat biasa dan mudah bagi Bapak dan tim? Pak, tugas negara itu menjadi pelayan rakyat. Bapak menjadi bagian dari pelayan itu. Jangan sampai kecelakaan laut seperti tadi terulang. Silakan Bapak evaluasi. Cuaca sekarang memang ekstrem, tetapi ini ada di area yang bisa kita kuasai, Pak."
Mancung meluapkan segala unek-uneknya. Ucapan Mancung berhasil mengetuk pikiran dan jiwa lelaki paruh baya itu. Apa yang disampaikan Mancung memang bagian dari tugasnya dalam melayani masyarakat dan memudah mereka dalam hal mobilisasi.
Punggung Mancung semakin jauh dari pos pantau. Mancung telah pulang. Beberapa wartawan masih setia menunggunya. Dia dicecar berbagai pertanyaan tentang aksi heroiknya, aksi penyelamatan Cempaka.
Mancung menjabarkan bagaimana seharusnya coast guard itu menjaga pantai. Dia pun memberikan pernyataan yang cukup mencengangkan bahwa negara wajib menjaga nyawa rakyat, harus menjadi pelayan bagi rakyat. Deras dan ganasnya ombak harusnya sudah bisa diprediksi dan perahu itu untuk sementara bisa ditahan di pelabuhan. Negara harus serius mengelola mekanisme transportasi laut dengan pelayaran yang nyaman dan aman bagi penumpang, sekalipun itu sapi.
"Kalau terkait menolong, itu manusiawi, siapa pun bisa membantu. Apalagi kita muslim, kita wajib taawun dalam kebaikan dan ketakwaan. Kalau ditanya motivasi, ya karena saya muslim, maka wajib menolong siapa pun sebisa mungkin. Apalagi itu nyawa. Kita pun harus mengoreksi para pemangku kebijakan agar tak terjadi hal serupa."
Bagi teman sejawatnya, Mancung yang sempat dijauhi karena mengkaji Islam, ternyata semakin cerdas. Dia tetap low profile dan masih suka menolong sesama tanpa melihat siapa yang ditolong. Dia tetap Mancung yang dahulu sebelum mengaji. Keceriaannya justru semakin memesona. Justru, Mancung sekarang lebih dewasa cara berpikirnya. Dia mampu berpikir solutif.[]
Mbak Afiyah memang ratunya cerpen. Idenya luas apa aja bisa dijadikan alur cerpen.
Semoga akan ada banyak mancing untuk kedepannya. Adapun negara, memang seharusnya berperan sebagai pelayan, bukan beralibi ini dan itu
Orang seperti Mancung sudah langka, kebanyakan egois sesuai paham kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan semata. Saatnya membangun jiwa agar banyak Mancung -Mancung yang lain.
Karya yang keren nih
Si mancung keren banget dah, apalagi yang nulis. Ada saja idenya
Lanjut, cikgu ❤️
Masih pengen baca
Barakallah ❤️
dikira hidungnya tetap mancung... ternyata.. 🙂
Oo, ternyata Mancung itu nama orang, to.
Wah, si Mancung penjaga pantai ini bikin salfok. Awalnya tak pikir yang mancung hidungnya, ternyata namanya.