Sekeping Hati Nataya

"Dengan tersenyum, ia pun mengetuk pintu lalu mengucapkan salam. Tiba-tiba pintu terbuka, namun terempas menggelegar. Bukannya menjawab salam, wajah yang tampak sangat tidak bersahabat dari dalam rumah justru melihat Nataya dengan penuh kebencian."

Oleh. Bunga Padi
(kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hari ini sudah waktunya bagi Nataya untuk pulang ke rumahnya yang berada di sudut Kota Borneo, setelah hampir satu bulan lamanya ia mudik ke rumah orang tuanya di Desa Sumber Jaya. 

Masa menenangkan diri dari permasalahan dengan suaminya telah selesai. Mereka berdua berusaha berdamai dengan konflik yang dihadapi dan saling memaafkan. Bagi Nataya, suaminya tetap yang terbaik. Rasa sayang kepada sang pujangga hati lebih kuat, hingga rasa sakit dan kecewa yang ditorehkan kepadanya mampu ia redam. Ia memahami bahwa apa yang menimpanya sudah menjadi qada Allah, maka bersabar lebih baik baginya. 

Pagi itu, Nataya diantar papi ke Terminal Lempake untuk pulang ke Kota Borneo. Setelah berpamitan dan mencium punggung tangan papi, Nataya segera masuk ke dalam bus dan menduduki kursi dekat jendela. Nataya melirik ke dalam tas putih miliknya. Ia mengambil telepon genggam dan menghubungi suaminya.

"Assalamualaikum, Mas Bram! Aku sudah di bus, paling tiga jam lagi sudah sampai."

"Mas … tolong jangan telat jemputnya, aku gak kuat bila berlama-lama di terminal," ujar Nataya lagi. Suaminya diberondong dengan sederet permintaan oleh Nataya tanpa sempat menjawab.

Sampailah bus di Terminal Kuala. Di ujung bangku ruang tunggu kedatangan penumpang, ada sepasang mata yang mengawasi dengan tajam di balik kacamata hitam. 

"Masyaallah. Cantiknya istriku," batin Bram.

"Istriku! Aku sudah rindu kopi buatanmu," gumam lelaki berbadan tegap itu sesaat memandang wajah Nataya.

Perasaan rindu membalur sekujur tubuh lelaki berkumis itu. Setelah sekian purnama istrinya tak tampak dari pandangannya, ia merasa separuh jiwanya hilang. Nataya yang sedari tadi sibuk merapikan barang bawaannya tak menyadari tiba-tiba pundaknya disentuh oleh suaminya. 

Tentu saja Nataya kaget bercampur senang. Pipi Nataya tampak berwarna semu kemerah-merahan seraya menundukkan wajahnya seperti menahan rasa malu

"Mas Bram bikin Nataya kaget saja," jerit Nataya sedikit manja. 

Ada sesuatu yang tak biasa pada pertemuan kali ini. Keduanya terlihat canggung. Maklum, keduanya sedang berdamai untuk memperbaiki biduk rumah tangga mereka yang hampir saja karam diterpa badai ujian.Tak akan ada dusta yang menyakiti, sederet perjanjian telah tertulis di dalam kertas ingatan mereka masing-masing.

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, akhirnya mereka sampai di rumah. Bram memarkir mobil di garasi, sedangkan Nataya segera turun dengan perasaan bahagia. Ia sudah rindu dengan aroma khas rumahnya, membuatkan masakan kesukaan suaminya, dan menyiram bunga. 

Dengan tersenyum, ia pun mengetuk pintu lalu mengucapkan salam. Tiba-tiba pintu terbuka, namun terempas menggelegar. Bukannya menjawab salam, wajah yang tampak sangat tidak bersahabat dari dalam rumah justru melihat Nataya dengan penuh kebencian.

Sontak Nataya kaget bukan kepalang. Jantungnya berdegup kencang, perasaannya mulai tak enak. Baru masuk beberapa langkah, tiba-tiba ada suara benda yang dilemparkan diiringi teriakan histeris dan tangisan. 

"Cerai … ceraikan dia!! Aku tak sudi melihatnya!!" pekik wanita paruh baya itu sambil melototkan matanya, wajahnya memerah, dan penuh amarah. Diiringi raungan tangisan, jari telunjuknya terus menunjuk ke arah Nataya.

Mas Bram berusaha menenangkan wanita paruh baya itu sambil menggiringnya ke teras dapur dan mendudukkannya di kursi. Nataya diam terpaku, antara bingung dan syok diperlakukan begitu oleh wanita paruh baya tersebut. Ia pun segera berlalu dan masuk ke bilik peraduannya atas permintaan suaminya.

Wanita itu adalah mertuanya yang selama ini telah mencampuri urusan kehidupan rumah tangganya. Ia selalu membela anaknya karena Mas Bram adalah anak laki-laki kesayangannya, sehingga menutup mata hatinya atas kesalahan yang dilakukannya. Baginya, anak lelakinya tidak mungkin menyakiti hati wanita karena selalu perhatian dan bersikap baik pada ibunya.

Tetapi berbeda dengan perlakuannya kepada sang istri. Selama ini Nataya berusaha menutupi aib-aib suaminya. Hingga suatu hari ia sudah tidak kuat lagi menanggung beban di hati dan meledaklah emosinya, menuntut suaminya agar berhenti menyakitinya dan bertobat.

Suatu hari, suaminya diam-diam menjalin hubungan terlarang  dengan seorang janda yang merupakan rekan bisnisnya, yang mana wanita itu adalah teman Nataya sendiri. Ketika Nataya mengadukan perihal perselingkuhan suaminya kepada ibu mertuanya, bukan dukungan atau kata bijak yang ia dapatkan, melainkan mendapat perilaku buruk dari keluarga suaminya. Hinaan dan fitnah kerap dilontarkan oleh mereka tanpa ada tabayun darinya. 

Rangkaian ujian hadir sejak Nataya hijrah mempelajari Islam kaffah dalam kehidupannya. Sementara suami dan keluarganya tidak menyukai perubahan yang ada padanya yang terikat dengan syariat. Nataya cukup memaklumi, hal itu terjadi akibat minimnya ilmu agama yang mereka ketahui. 

Di bilik peraduan yang beraroma bunga tanjung, Nataya duduk di pinggir jendela sambil menghela napas panjang, matanya menatap langit seraya melambungkan asanya. Nataya sangat mengerti bahwa ibu mertua sama halnya seperti ibu kandung. Ia harus tetap berbakti, memuliakannya, bersikap lemah lembut, berbuat baik, memaafkan kesalahan, dan memaklumi segala kekurangannya, apalagi di usia yang sudah uzur.

Seorang anak harus memahami bahwa ibu memiliki derajat tertinggi di mata Allah Swt. Seperti hadis riwayat Ibnu Hibban yang berbunyi, "Keridaan Allah bergantung dari keridaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah bergantung dari kemurkaan orang tua."

Oleh karenanya, Islam memerintahkan seorang anak agar senantiasa mendoakan dan memintakan ampun bagi orang tuanya kepada Allah. Tiba-tiba air mata Nataya menetes di pipinya. Ada rona kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Tak lama suaminya masuk ke dalam bilik. Lelaki itu menatap lekat wajah istrinya yang baru saja menghapus air mata.

"Nataya, kumohon maafkan aku dan sikap tidak baik keluargaku. Kau orang pilihan yang Allah hadirkan untuk mengajarkan banyak hal di keluarga kami," ujar Mas Bram menunduk seperti menanggung penyesalan yang teramat dalam. 

"Nataya juga meminta maaf kepada Mas Bram, Nataya belum bisa menjadi istri yang baik," bisik Nataya perlahan

Nataya harus ikhlas, sabar dan rida atas segala musibah yang menimpanya. Ia harus menjadi pemaaf bagi orang lain maupun diri sendiri. Sebab, Allah saja Maha Pemaaf kepada hamba-Nya, apalagi dirinya hanyalah seonggok tanah hina dina yang tak luput dari dosa. 

Teringat hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Tirmizi yang berbunyi, "Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka, barang siapa yang rida maka keridaan Allah baginya. Namun jika murka maka kemurkaan Allah baginya."

Betapa indahnya ajaran Islam yang telah menuntun orang beriman agar tetap menahan diri dari emosi yang tak terkendali, serta mampu berlapang hati atas setiap ujian yang ada. Sungguh, balasan terindahnya adalah surga dan kemuliaan di sisi-Nya. Sabar memang mudah diucapkan, terkadang sulit melaksanakannya. Tapi percayalah akan janji Allah bagi mereka yang bersabar. Allah tak pernah mengingkari janji-Nya.

Speaker lantunan merdu ayat suci Al-Qur'an telah berhenti berbunyi. Nataya pun tertidur pulas, seiring itu pula duka lara hatinya pergi meninggalkannya. 

Tamat.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Bunga Padi Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mengakhiri Puzzle Rumit Arah Generasi Kini
Next
Satu Muharam, Hijrah Nabi Ganti Sistem
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Mimy Muthamainnah
Mimy Muthamainnah
1 year ago

Cerpen ini mewakili sedikit kisah asli seseorang. Jazakillah khairan Bu Pemred dan tim NP yg telah memberikan kesempatan pada penulisnya hingga naskah sederhana ini tayang. Semoga bermanfaat dan bisa diambil ibrahnya. Aamiin

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram