"Bukan tentang beban yang sekarang harus dipikul, tapi rasa kehilangan yang membuat mereka begitu terpukul. Tak ada orang yang benar-benar siap kehilangan orang tersayang. Meski ikhlas, tetap saja ada rasa pilu yang bersarang. Itulah yang kini Atuk, Ikhsan, dan keluarga rasakan. Belajar menerima ketetapan Allah Sang Pemilik kehidupan."
Oleh. Ulfatun Ni'mah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- "Tumben sekarang kamu ngopi, San?" Mendengar pertanyaan itu, Ikhsan menghentikan gerakan tangannya. Tersadar dengan keanehan yang sudah sepekan ini ia lakukan. Matanya menatap dinding yang baru dua bulan lalu ia cat bersama sang ayah.
Sudah menjadi rutinitas di pagi hari bagi Ikhsan menyeduh secangkir kopi untuk lelaki kebanggaannya. Biasanya sang ayah akan meminum kopi buatannya sembari menunggunya berkemas untuk berangkat sekolah. Kata sang ayah, kopi buatannya begitu nikmat.
"Nak, ayahmu sering bilang kopi buatanmu begitu nikmat. Ibu jadi penasaran. Senikmat apa sih sampai-sampai ayahmu tak pernah meminta Ibu membuatkannya kopi lagi?" Mengerti akan perasaan sang anak, wanita 35 tahun itu mengambil alih gelas berisi cairan hitam pekat lalu menghirup aromanya yang khas.
"Masyaallah, nikmat sekali. Pantas saja ayahmu begitu menyukainya," ujar ibu Ikhsan setelah menyeruput kopi yang masih mengepulkan asapnya. Pandangannya menerawang, mengingat bagaimana cara sang suami menikmati minuman kesukaannya.
"Besok tolong buatkan lagi, ya. Sepertinya ini akan menjadi kebiasaan baru bagi Ibu." Ikhsan menatap wajah sang ibu lekat, lalu mengangguk seraya tersenyum.
"Bu, Ikhsan mau bantu Atuk ke kebun, ya!" izin Ikhsan.
"Boleh, asalkan tugas sekolahmu sudah beres." Hati ibu menghangat melihat putra sulungnya mau membantu sang kakek. Hal yang selalu ayah Ikhsan lakukan setiap hari.
"San, antar Ibu ke toko dulu, ya. Sudah sepekan lebih toko tidak buka. Kita harus kembali memulai kehidupan seperti biasa." Ikhsan mengangguk lalu bersiap mengantarkan ibu. Tak lupa adiknya, Nafa ikut serta menemani sang ibu menjaga toko.
"Buahnya kematangan, Le, makanya banyak jadi brondolan," ujar Atuk sembari membetulkan posisi karung yang hampir penuh oleh brondolan kelapa sawit. Harusnya buah dipanen seminggu lalu. Namun karena ayah Ikhsan tak dapat lagi memanen, buah pun dibiarkan saja hingga akhirnya banyak yang mbrondol (tanggal dari tandannya).
"Tuk, biar Ikhsan saja yang dorong angkong." Remaja berusia 15 tahun itu sigap mengambil alih angkong yang sudah berisi dua karung brondolan dari tangan sang Atuk.
"Memang kamu kuat, San?" tanya Atuk ragu. Pasalnya, selama ini cucu laki-laki satu-satunya itu tak pernah membantu pekerjaan di ladang. Bukan tak mau, tapi sang ayah yang selalu melarangnya. Kata ayah, Ikhsan harus fokus belajar.
"Insyaallah kuat, Tuk. Ikhsan pasti bisa seperti Ayah." Mantap Ikhsan berujar. Seketika pikirannya terbang pada masa lalu. Saat ayah menjadi satu-satunya tempat ia belajar selain sang ibu.
"San, jadi anak laki-laki harus kuat. Harus bisa memberikan kebahagiaan dan kebanggaan untuk keluarga. Salat harus dijaga, rajin belajar agar Allah mudahkan menggapai cita-cita dan jadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dalam hidup. Insyaallah hidupmu akan bahagia," ujar ayah sembari mendorong angkong yang penuh dengan buah kelapa sawit. Saat itu, mengangkut buah masih menggunakan angkong. Tidak seperti sekarang, orang lebih memilih memakai sepeda motor karena lebih mudah dan cepat. Ikhsan yang saat itu masih berusia lima tahun mengangguk membenarkan ucapan sang ayah.
"Ayah, Ikhsan mau coba dorong angkong, boleh?" Kesekian kalinya Ikhsan meminta hal yang sama. Ingin mencoba mendorong barang yang menurutnya luar biasa. Tangan mungilnya mencoba meraih pegangan angkong. Namun tanpa menjawab, sang ayah malah mendudukkan tubuhnya ke dalam angkong yang kini sudah kosong.
"Ini tugas Ayah, Nak. Belum saatnya kamu belajar memegang benda ini. Bersiap ya, satu … dua … tiga …." Ayah berlari mendorong angkong sambil menirukan suara mobil berjalan. Ikhsan menikmatinya sambil berteriak girang. Sesederhana itu ayah menciptakan rasa bahagia. Masa yang begitu indah terpahat dalam ingatan.
"Malah ngelamun." Tepukan di bahu menyadarkan Ikhsan dari lamunan.
"Ikhsan teringat masa kecil, Tuk. Dulu Ayah sering mengajak Ikhsan ke ladang. Senang sekali bisa ikut Ayah. Apalagi saat Ayah jadikan angkong sebagai mobil-mobilan yang menyenangkan," Ikhsan bercerita.
"Jangan bilang kamu pengen mengulangnya. Atuk tidak kuat kalau harus ngangkong kamu, San." Kelakar Atuk berhasil mengukir tawa di wajah Ikhsan.
"Jika Atuk mau, Ikhsan kuat ngangkong Atuk sekarang." Keduanya kembali tertawa.
"Biasanya ayahmu selalu bantu Atuk mengelola kebun kelapa sawit. Ia yang selalu telaten mengurus semua yang berkaitan dengan kebun. Atuk tinggal terima beres saja selama ini." Atuk menghela napas dalam-dalam.
"Atuk merasa kewalahan sekarang, San." Tampak guratan kerinduan di wajah keriput Atuk. Selama ini ia memang begitu dekat dengan putra bungsunya. Sedangkan kedua anaknya yang lain tinggal di luar kota. Hampir setiap kesulitannya selalu ada ayah Ikhsan yang membantu.
"Ikhsan akan belajar seperti Ayah, Tuk. Kita harus belajar membiasakan diri tanpa beliau." Meskipun tak yakin pada kalimatnya sendiri, Ikhsan berharap ucapannya dapat memberikan sedikit kelegaan untuk Atuk.
Bukan tentang beban yang sekarang harus dipikul, tapi rasa kehilangan yang membuat mereka begitu terpukul. Tak ada orang yang benar-benar siap kehilangan orang tersayang. Meski ikhlas, tetap saja ada rasa pilu yang bersarang. Itulah yang kini Atuk, Ikhsan, dan keluarga rasakan. Belajar menerima ketetapan Allah Sang Pemilik kehidupan.
"Iya, Le. Kita harus membiasakan diri tanpanya. Dia anak Atuk yang baik. Atuk sangat bahagia memiliki ayahmu. Atuk pun ingin ia bahagia dengan belajar mengikhlaskannya." Kini embun bening menghiasi bola mata Atuk.
"Ikhsan juga. Bahagia dan bangga memilikinya. Ajari Ikhsan agar dapat menjadi seperti Ayah, Tuk." Keduanya berpelukan untuk saling menguatkan.
"Nanti sore temani Atuk ziarah ya, Le. Atuk rindu ayahmu," pinta Atuk.
"Baik, Tuk." Keduanya melangkah bersama menuju motor butut peninggalan ayah Ikhsan.
Kehidupan harus tetap berjalan dengan atau tanpa ia yang begitu kita sayang. Kehilangan adalah fase kita belajar keikhlasan dan kesabaran. Membuka kembali pelajaran bab qada dan kadar Allah yang harus kita terapkan dalam kehidupan.[]