Kejamnya Sistem Kapitalisme

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa’: 29-30)

Oleh: Solehah Suwandi

NarasiPost.Com-Sejak pandemi menimpa negerinya, kehidupan Sunarsih dan keluarga semakin sulit saja. Berapa bulan terakhir, keluarga kecil ini hanya makan sekali dalam sehari. Selebihnya mereka mengganjal perut dengan air minum.

“Bu, besok kita makan apa?” tanya Rifa, putri bungsu Sunarsih.

Ibu muda itu menghela napas tak menjawab. Kemudian putri sulungnya pun datang menghampiri. Malam-malam begini, ia tidak bisa tertidur nyenyak karena lapar. Ia berniat mengambil air minum. Namun, melihat ibu dan saudarinya duduk termangu di dapur, ia ikut duduk juga.

“Bu, kapan sih bapak pulang? Kalau ada bapak kita enggak akan kelaparan,” kata Rita.

Iya Bu, kita kan sudah kangen,” timpal Rifa.

Sunarsih menarik napas lagi. Dadanya semakin sesak saja rasanya.

“Jangan tanyakan bapakmu lagi. Dia sudah lupa pada kita!” suaranya meninggi. Ia meninggalkan kedua putrinya.

Rita kembali lesu. Ia ingin ayahnya segera pulang dan memperbaiki kondisi ekonominya. Lima bulan lalu, ayahnya pergi dari rumah setelah bertengkar dengan Sunarsih. Lagi-lagi karena ekonomi. Lalu ayahnya memutuskan untuk keluar rumah dengan alasan mencari pekerjaan. Namun, hingga detik ini tak kunjung pulang dan tidak ada kabar keberadaannya.

Rita dan Rifa sudah beberapa bulan ini tidak sekolah. Smartphone satu-satunya yang biasa ia gunakan untuk sekolah online, akhirnya dijual juga untuk menyambung hidup.
Sebelum diterapkan kebijakan terbaru dalam menangani penyebaran wabah, biasanya Sunarsih dan kedua putrinya berjualan keliling. Mereka menjual sisa-sisa dagangan sembako di rumah.

Akan tetapi, sekarang mereka tidak bisa karena jika keluar rumah, bisa kena tilang, bahkan sampai dirusak dagangannya.

Kadang Sunarsih jengkel dengan tingkah aparat yang tak beradab, juga para pejabat yang menerapkan aturan tak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Namun, dia bisa apa? Ia hanya rakyat kecil. Mereka hanya dibutuhkan suaranya saat pilkada dan pilpres saja.

Sunarsih menitikan air mata. Mau mengeluh, tetapi pada siapa? Dia sudah tak percaya pada siapa pun, yermasuk pada Tuhan.

Para tetangga yang biasa ia minta pertolongan pun, kini sama-sama merasa sulit, akibat dampak dari pandemi. Hanya saja, mereka lebih beruntung jika masih ada kerabat yang memiliki gajih tetap sehingga bisa menyuplai kebutuhan kerabat yang lain.
Sedangkan Sunarsih?

Di kota ini, ia hanya memiliki keluarga kecilnya saja. Sebenarnya ia ingin pulang kampung. Namun, jangankan untuk pulang, makan sehari-hari saja susah minta ampun.

Malam semakin larut. Matanya masih enggan terpejam. Otaknya sedang berpikir keras, untuk besok akan makan apa. Ia tidak tega melihat kondisi anak-anaknya yang semakin terlihat kurus.
Sunarsih menghela napas. Ia bangkit dari duduknya, lalu pergi ke kamar kedua putrinya. Mereka sudah tertidur.

Ia berjalan menuju dapur. Sudah tidak ada beras. Uang bantuan dari pemerintah hanya cukup untuk makan beberapa hari saja dengan lauk seadanya. Uang bantuan diberikan hanya 300 ribu per bulan. Jangan harap bisa makan makanan yang bernutrisi. Uang tersebut bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan saja sudah bersyukur, mengingat harga kebutuhan pokok serba mahal. Jangan harap bisa membeli masker, atau vitamin C, kadang sayuran saja tidak terbeli.

Bagaimana mau menjaga imun tubuh, jika kebutuhan perut tidak terpenuhi? Sunarsih geram, apalagi ketika melihat ketimpangan terjadi antara penguasa dengan rakyat jelata. Sunarsih kembali menangis.

Tak terasa, waktu cepat bergerak. Ia baru saja terlelap di atas meja makan di dapur, trtapi azan telah berkumandang. Sunarsih masih mencari-cari barang di rumahnya yang bisa dijual, tetapi tidak ada. Ia melihat-lihat meteran listrik di rumahnya. Ketika matahari sudah meninggi, ia bergegas menemui salah satu tetangganya yang kondisi ekonominya paling baik di komplek tempat ia tinggal.

Sunarsih mengetuk pintu untuk kesekian kalinya dalam beberapa bulan terakhir, saking seringnya ke rumah ini.

“Eh, kamu Sun, ada apa pagi-pagi ke sini?” tanya pemilik rumah sangat ramah.

“Itu Mbak, saya minta tolong sekali lagi. Beli meteran listrik punya saya, ya. Dari pada anak-anak gak bisa makan,” jawab Sunarsih dengan mata berkaca-kaca.
Selama ini, Sunarsih menjual perkakas yang masih layak kepada tetangganya ini.

“Waduh, nanti kamu gelap-gelapan, Sun, rumahnya. Kalau meteran, kami belum butuh Sun. Untuk makan, sebentar ….”

Pemilik rumah bergegas ke dalam mengambil sesuatu.

“Ini, untuk kamu. Meteran rumah jangan dijual ya.”

Wanita di depannya itu memberikan uang satu lembar ratusan ribu. Sunarsih gamang menerimanya. Akan tetapi, ia terpaksa. Akhirnya ia mengambil uang tersebut. Setelah itu ia pamit, lalu segera ke warung sembako. Ia membeli beras dan garam.

Ia segera menanak nasi. Namun sayang, pulsa listrik habis. Mana mampu ia membeli token listrik. Akhirnya ia menghidupkan tungku.
Ia sedikit tenang, melihat kedua putrinya bisa makan. Ia sendiri rela hanya makan sedikit saja, agar beras menjadi awet.

**
Azan kembali berkumandang. Rita, salah satu putri Sunarsih bangun untuk buang air kecil. Ia menghidupkan senter yang sudah mulai redup. Karena aliran listrik sudah terputus, jadi rumah gelap gulita. Namun, begitu sampai di dapur, ia dikejutkan oleh sesuatu.
Tubuhnya ambruk melihat pemandangan di depannya.

“Ibu!!” Ia menjerit histeris.

“Ibuuu … huuuhuuhuu … Ibu!!!”

Ibu satu-satunya yang ia miliki di dunia ini, tergantung di pintu dapur dengan lidah sudah menjulur dan mata melotot.

Mendengar itu, Rifa saudarinya terbangun. Begitu melihat kondisi ibunya, ia berlari keluar rumah untuk mencari pertolongan, sedangkan Rita tidak bisa berjalan. Ia hanya menangis dan memandangi tubuh ibunya.

Beberapa menit kemudian, para tetangga berdatangan. Kedua gadis malang itu hanya menangis ketika warga telah berhasil menurunkan tubuh ibunya yang telah tiada.
Seorang warga menemukan secarik surat dari Sunarsih yang berisi, ketidakuatan ia menahan semua penderitaan akibat ekonomi.

Siapa yang bertanggung jawab atas kematian Sunarsih?

Seorang RT setempat, terduduk di kursi ketika membaca surat itu. Ia merasa bertanggung jawab atas kematian Sunarsih karena ia adalah pemimpin yang abai terhadap rakyatnya.

Pak RT menangis tersedu. Ia yakin, kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Jauh dari pada ini, kesulitan-kesulitan yang menimpa negeri ini, maupun rakyat miskin, semua ini akibat dari penerapan sistem kapitalisme yang tidak ada adilnya.

Sedangkan kematian akibat bunuh diri, adalah hal yang dibenci oleh Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An Nisa’: 29-30).[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Solehah Suwandi Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Gelombang Kedua Covid-19 ke Luar Jawa
Next
Sengkarut Harga Tes PCR, Bukti Kuatnya Aroma Bisnis dalam Sistem Kapitalis
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram