Pemuda Berjaket Hoodie

"Seketika aku menyadari bahwa pandanganku tentang pemuda itu salah. Ia adalah pemuda tunawicara yang tidak pandai bersosialisasi. Ia terlihat tak acuh terhadap ibunya, padahal ia hanya tak percaya diri akan kekurangannya."

Oleh. Banisa Erma Oktavia, S.AP.
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Malam itu fisikku lelah sekali, tapi aku masih bersemangat melihat-lihat isi beranda Instagramku. Ternyata, banyak teman-teman sebayaku yang sudah memasuki fase baru dalam hidupnya. Ada yang baru menikah, baru dilamar, bahkan dikaruniai buah hati. Ah, bagaimana ya rasanya? Pasti bahagia sekali, pikirku. Sejenak aku terdiam. Tanpa aba-aba air mataku menetes. Aku ingin sekali menjadi salah satu dari mereka, lirihku.

Hari Selasa sepulang kantor, aku bergegas pulang untuk mengantar ibu menjalani terapi di rumah sakit. Seperti biasa, untuk menjalani terapi, aku harus menandatangani beberapa form di bagian pendaftaran.

Tiba-tiba, ada seorang wanita berumur enam puluh tahun tergopoh-gopoh dengan raut wajah sendu. Ia bertanya lirih kepada petugas pendaftaran.

“Mbak, sewa ambulans berapa? Suami saya meninggal," katanya tanpa sempat duduk di kursi, hanya berdiri menghadap petugas. Petugas pendaftaran pun segera melayani dan memberikan arahan kepadanya.

Aku tertegun. Ingin rasanya segera membantu sang ibu yang sedang merasakan kesedihan, setidaknya untuk membantunya ke sana ke mari mengurus administrasi rumah sakit. Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena di sampingku ibuku pun sedang menungguku.

Kejadian sekilas yang membuat hatiku tersayat. Bagaimana jika aku ada di posisi wanita itu? Ia kehilangan seseorang yang amat dicintainya, yang paling dekat dengannya, namun ia harus tetap tegar, setidaknya untuk mengurus keperluan ini itu sendirian. Di samping kananku duduk seorang wanita tua yang beberapa waktu ini kesehatannya mulai terganggu. Rasanya baru kemarin ia menggendongku penuh kasih sayang, mengantar aku sekolah, berjualan ini dan itu untuk membiayaiku sekolah, bahkan pernah meminjam sejumlah uang kepada tetangga demi membelikanku sepatu baru. Di masa itu, rasanya baru kemarin. Bagaimana jika aku kehilangan? Sambil tetap berfokus, ku usahakan tiada air mata yang menetes, dan lekas menggandeng tangan ibuku yang jari kanannya sudah kaku.

Aku biasa menunggu ibu di luar ruang terapi. Di depannya tersedia kursi empuk yang menghadap utara dan di sebelah kiri tersedia pula sofa yang memanjang sejajar dengan lorong. Aku duduk di depan ruangan terapi sambil memainkan jariku di atas keyboard laptop. Aku juga selalu membawa jurnal pribadiku, sebuah binder dengan clear cover dan beberapa stiker yang sengaja aku tempel untuk menambah kesan estetik yang selalu kuisi dengan tulisan pelajaran-pelajaran hidup yang aku dapatkan setiap harinya. Hal itu kulakukan sekadar pengingat untuk selalu bersyukur.

Seperti pemandangan biasanya, ada beberapa orang yang berlalu-lalang, tak terkecuali pasien terapi yang keluar masuk. Aku mendapati sepasang ibu dan anak, mungkin sekitar umur tujuh belas tahun bersama seorang wanita berumur sekitar lima puluh tahun. Pemuda itu hobi sekali menyendiri, pernah sekali saat ia hendak duduk di area depan ruangan terapi, namun setelah melihat ada aku di sana, ia justru berbalik arah dan duduk di lorong sebelah kiri.

Aku mudah mengingatnya sebab si ibu berjalan bongkok dan sang anak yang selalu mengenakan hoodie berwarna hitam. Aku sering kali memperhatikan mereka. Pernah aku mendapati saat mereka menunggu untuk mengambil obat, ibunyalah yang mengurusnya, menyebutkan tanggal lahirnya dengan terbata. Pernah juga kulihat ibunya yang sering berbicara kepada si terapis, seolah-olah anaknya tak ingin tahu kondisi ibunya. Aku pun mengeluarkan jurnalku dari tas dan menuliskan sebuah kalimat pelajaran yang kudapat hari itu.

[Mengapa kita menganggap orang tua sebagai beban? Sedangkan mereka begitu bahagia saat kita lahir ke dunia, sekalipun terlahir dengan sejuta kekurangan]

Refleks kutuliskan kalimat itu di halaman pertama yang sebelumnya sengaja kukosongkan, lalu menutupnya kembali dan menyimpannya di samping tempatku duduk. Setengah jam berlalu, ibuku sudah selesai menjalani terapi. Aku bergegas menyelesaikan aktivitasku dengan laptop dan menyimpannya ke dalam tas.

Esoknya, aku mendapati pesan dari teman lamaku. Namanya Nina, salah satu penghuni beranda Instagramku yang sering kali kulihat potret bahagia bersama suami dan anaknya yang lucu. Aku pun membaca isi chat-nya dan saling berbalas pesan.

[Ca, gue butuh banget bantuan lo. Orang tua gue kelilit utang, Ca]

[Astagfirullah, Nin. Kok bisa, Nin? Mungkin gue bisa bantu, ya tapi gak bisa banyak, Nin]

[Makasih, Ca. Ortu tadinya minjem buat usaha, tapi malah rugi, bunganya gak main-main, Ca]

Pikiranku melayang. Temanku yang aku kira hidupnya sempurna, ternyata sedang diuji masalah finansial. Aku pun hendak mengambil jurnalku di dalam tas, namun setelah kucari, tiada kutemukan jurnal itu. Aku ingat, terakhir kugunakan saat menunggu ibu terapi semalam. Mungkin tertinggal di sana, akan kutanyakan nanti, pikirku.

Terkadang, aku ingin sekali berpuasa sosial media. Terlalu banyak peluang bagiku untuk membandingkan hidupku sendiri dengan orang lain. Padahal, apa yang terlihat di layar ponsel tidak selalu sama seperti apa yang kita lihat dengan mata kepala sendiri. Sebagian orang bersikap apa adanya, sebagian lagi justru menutupi kesedihannya, atau bahkan berpura-pura terlihat bahagia.

Hari Sabtu, aku mengantar ibu terapi lagi. Aku berniat seusai terapi nanti, aku akan menanyakan jurnalku yang hilang. Aku menunggu di lorong sebelah kiri sambil fokus dengan laptopku. Tanpa disadari, pemuda berjaket hoodie yang tempo hari mengantar ibunya terapi tiba-tiba datang menghampiriku. Tak sempat aku bicara, ia segera memberikan sebuah binder. Ternyata binder itu adalah jurnalku yang hilang. Aku pun menerima jurnal itu dan berterima kasih padanya. Lalu Ia mengatakan sesuatu dengan bahasa isyarat yang kukira artinya ialah terima kasih kembali. Tanpa sempat aku menanyakan beberapa hal, pemuda itu segera melangkah pergi.

Aku hanya berdiri sambil tertegun menatapnya dari jauh hingga ia menghilang dari pandangan. Lalu terdengar suara Mas Agung, salah satu terapis yang bertugas hari itu.

“Namanya Mas Arya. Dia udah tiga kali ke sini sendiri, mungkin mau ngembaliin bindernya Mbak," ujar Mas Agung.

Mendengar kata-kata Mas Agung barusan, sepertinya Mas Agung melihat pemuda tadi memberikan binder itu kepadaku. Aku pun berbalik dan menghampiri Mas Agung.

“Kenapa gak dititip ke satpam di sini aja ya, Mas?” tanyaku heran.

“Saya gak tau juga, Mbak," katanya cuek sambil kembali ke dalam ruangan terapi.

Aku pun duduk kembali dan membuka jurnalku. Kulihat ada secarik kertas yang sengaja diselipkan yang berisikan tulisan,

[Maaf, saya kira ini catatan rahasia, jadi saya simpan sampai saya bisa mengembalikan ke Kakak. Saya gak sengaja baca tulisan yang ada di paling depan. Terima kasih, itu menjadi nasihat buat saya]

Astagfirullahaladzim. Seketika aku menyadari bahwa pandanganku tentang pemuda itu salah. Ia adalah pemuda tunawicara yang tidak pandai bersosialisasi. Ia terlihat tak acuh terhadap ibunya, padahal ia hanya tak percaya diri akan kekurangannya. Dari pemuda berjaket hoodie itu aku menyadari bahwa apa yang terlihat di pandangan belum tentu benar adanya, dan seharusnya sebagai manusia yang terbatas, kita senantiasa berprasangka baik sambil terus bermuhasabah.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Banisa Erma Oktavia, S.AP Kontributor NarasiPost.Com
Previous
USA, Akankah Menjadi “The New Sick Man”?
Next
Zonasi PPDB yang Berkeadilan, Wacana Semu yang Jauh dari Realitas
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram