Kupendam Rasa, Kugenggam Asa

"Jodoh itu seperti 'Alif Lam Mim' yang artinya hanya Allah yang tahu. Layaknya pertemuan Ayyub dan Ulya yang tidak terpikirkan sebelumnya, yang mereka lakukan adalah yakin bahwa ketetapan Allah pasti yang terbaik dan semua akan indah pada waktunya. Asam di gunung, garam di laut, sesuatu yang telah ditakdirkan bersama walaupun jarak memisahkan, pada akhirnya akan tetap bersama."

Oleh. Hani Qorisha
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasIPost.Com-Tiba-tiba Nisa berteriak memanggil dan memelukku, kulihat rautnya begitu ceria. Pertanda ada kabar bahagia yang akan ia sampaikan.

"Ulya … Aku punya kabar bahagia, baru saja Kak Uci ngasih aku ini," sambil menyodorkan bak kliping bersampul biru.

“Apa ini?" tanyaku singkat dengan nada penasaran.

“Proposal, kata Kak Uci ada yang mau taaruf denganku.” Nisa mencoba menjelaskan.

"Masyaallah … ikut senang dengar kabar baik ini, Nis. Eh… by the way, siapa ikhwan dalam proposal ini?" tanyaku penasaran.

"Buka saja," titah Nisa.

Kubuka CV taaruf itu dengan penuh sukacita. Pada lembar kedua, dada ini serasa sesak, sambil terus kuucapkan subhanallah. “Ya Allah … kenapa hati ini begitu sakit, jiwaku bergejolak. Ingin kutumpahkan semua rasa yang kubungkus ini. Kenapa harus dia? Haruskah aku turut bahagia?" batinku.

Ayyub adalah ikhwan yang kukagumi sejak masuk di bangku kuliah. Ayyub berasal dari tanah Jawa, tepatnya Jawa tengah. Ia adalah kating (kakak tingkat) namun kami berbeda fakultas. Ayyub berada di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kecerdasan Buatan dan Robotika. Ia sudah lulus dengan predikat cum laude. Ayyub pun kini jadi asisten dosen sembari melanjutkan studi S-2.

Aku mengenalnya dari kegiatan-kegiatan kampus. Karena dia memang sosok yang sopan, ramah, agamis, dan juga berprestasi. Banyak akhwat yang kagum bahkan juga menyukainya. Ia figur yang aktif diberbagai kegiatan kampus. Maka tidak heran jika siapa pun akan mengenalnya.

Berbanding terbalik dengan aku yang berkepribadian introvert yang menyukai menghabiskan waktu untuk sendiri. Tidak suka menjadi pusat perhatian, cuek, bahkan dikira sombong. Bergaul pun hanya dalam lingkup kecil. Lebih suka menjadi follower di setiap kegiatan kampus. Mereka yang menjadi sahabatku adalah yang benar-benar kukenal secara mendalam.

Nisa adalah salah satu sahabat dekatku, ia gadis Sunda tulen. Kebetulan aku dan dia berada di satu fakultas yang sama. Kami mengambil Prodi Akuntansi Manajerial. Ia sosok yang cerdas dan aktif di kelas maupun di beberapa organisasi kampus. Selalu tampil rapi, dan ia figur yang berhati-hati dalam segala hal. Tidak jarang, ia memotivasi aku untuk menjadi pengurus dan aktif dalam kegiatan kampus. Menurutnya aku mampu, hanya saja kurang diekspos karena aku pemalu.

Nisa sering bercerita tentang orang tuanya. Ibunya Nisa tidak pernah mengekang anaknya. Bahkan Nisa pernah bercerita kalau ibunya mendukung anaknya untuk nikah muda meskipun belum lulus kuliah, sehingga izin menikah dari orang tua sudah dikantonginya.

"Ulya … Ayyub ngajak ketemuan, kamu ikut nemenin aku yah, please," pinta Nisa.

Hatiku berteriak tidak. "Kan ada Kak Uci yang menemani kamu."

"Yeee … kalau ada kamu 'kan suasananya jadi cair. Lagian aku agak canggung sama Kak Uci," alibi Nisa. Karena aku tidak bisa menolak permintaan Nisa, maka dengan berat hati aku pun mengabulkannya.

Dalam taaruf, jika ingin ke proses selanjutnya setelah izin menikah sudah dikantongi dari orang tua, maka dibolehkan untuk mengenal satu sama lain. Tujuannya untuk berkenalan lebih dekat, namun tidak boleh berkhalwat atau berdua-duaan dalam dunia nyata maupun dunia maya. Jadi, harus ada mahram yang mendampingi. Biasanya ditemani oleh murobbi (guru) yang membina kita dalam kajian intensif atau boleh juga saudara atau sahabat dekat. Pun ketika taaruf dianjurkan untuk tidak disebarluaskan untuk menghindari fitnah. Rahasiakan lamaran umumkan pernikahan.

"Ulya … nanti kita boncengan aja yah ke tamannya. Kata Kak Uci, nanti beliau nyusul. Soalnya lagi ada rapat persiapan kajian bulanan," ucap Nisa.

“Siap, Bos …” sahutku bercanda.

Tempat ketemuan Ayyub dan Nisa disepakati di Taman Aspirasi. Taman mungil yang berada di tengah Kota Batam yang dikelilingi kantor pemerintahan, dekat dengan alun-alun dan masjid raya. Taman ini juga merupakan tempat yang sering dikunjungi oleh mahasiswa untuk rapat terkait kegiatan kampus. Taman mungil ini juga tidak jauh dari Politeknik Batam, tempat mereka menimba ilmu.

“Assalamualaikum …” Ayyub menyambut kedatangan kami dengan salam. Sepertinya ia sudah dari tadi menunggu. Ia juga ditemani oleh mahramnya.

“Waalaikumussalam …” jawab kami bersamaan.

Tampak Kak Uci sudah datang dari kejauhan. Kak Uci memulai pembicaraan dari hal-hal yang ringan terlebih dahulu. Bertanya tentang kabar, tinggal di mana, aktivitas sekarang apa, hingga pertanyaan serius yang memang dianggap penting. Kuperhatikan Nisa yang begitu warak (berhati-hati) dalam menjawab pertanyaan, lugas, dan tegas. Tidak berlebihan dalam berbicara, pun menjaga pandangan. Begitu pun Ayyub, tuturnya sopan serta tidak menatap secara berlebihan. Bahkan, tidak jarang ia mengalihkan arah pandangannya. Masyaallah, betul-betul gadhul bashar (menundukkan, menahan,dan menjaga pandangan).

"Ya, Allah … sesungguhnya Engkaulah Sang Pemilik hati ini, pemilik jiwa ini. Aku tidak ingin rasa ini menyiksa dalam diriku. Jika memang dia bukan jodohku dan itu terbaik untuk hidup dan akhiratku, aku mohon mudahkan hamba untuk mengikhlaskan semua ini.” Doa yang kupanjatkan di sepertiga malam. Tidak terasa gerimis membasahi pipiku. Aku pendam rasa ini, walau sebenarnya hati ini penuh harap. Di sisi lain aku juga berpikir bahwa ini adalah hal yang mustahil.

“Ah … tidak mungkinlah Ayyub akan mau menikah denganku, aku dan dia bagaikan langit dan bumi," batinku malam itu berkecambuk.

“Ul … sepertinya Ayyub setelah pertemuan kemarin terlihat serius dan tidak ingin berlama-lama lagi," curhat Nisa.

“Masyaallah. Barakallah … ikut bahagia, Bestie," kujawab curhatannya dan kuberikan senyum manisku padanya.

“Semoga dimudahkan ya segala sesuatunya, Nis. Nanti … kalau sudah nikah jangan lupa sama sahabatmu ini," candaku sambil tertawa kecil.

Setelah pertemuan dinilai sudah mantap, maka proses selanjutnya adalah berkenalan dengan keluarga masing-masing. Nah, jika keluarga sudah setuju, maka proses selanjutnya adalah mengkhitbah (melamar) dan menyegerakan pernikahan. Jarak antara lamaran dan pernikahan sesuai waktu yang disepakati oleh pihak laki-laki dan perempuan. Alangkah lebih baik jika jarak antara melamar dan menikah tidak lama. Biasanya jarak dari lamaran menuju pernikahan sekitar 3 sampai 6 bulan.

"Ul … hari ini keluarga Ayyub silaturahmi ke rumah, minta doanya semoga dimudahkan segala sesuatunya," curhat Nisa.

“Doa terbaik untukmu, Bestie. Semoga kalian berjodoh, dimudahkan hingga pernikahan," sahutku sambil kugenggam tangannya.

“Syukron, Ulya," jawabnya dengan penuh sukacita.


Malam yang begitu melelahkan untukku yang seharian sibuk di kampus, ditambah lagi banyak tugas yang sudah deadline yang harus segera dikumpulkan. Aku rebahkan tubuhku di kasur di dalam kamar mungil yang menjadi tempatku berkeluh kesah. Jariku menari di gawai, tepatnya di halaman Facebook. Aku scrooll dengan perlahan berandaku hingga jariku berhenti di sebuah postingan. Artikel tesebut berjudul "Menjaga Fitrah Cinta." Tanpa pikir panjang, aku mengeklik link artikel tersebut. Aku tersentak membaca postingan itu yang ditutup dengan sebuah hadis Nabi saw.: "Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim)

“Masyaallah … semua takdir baik dan buruk sudah Allah tetapkan, jika memang ditakdirkan berjodoh, maka pasti dipertemukan.” Spirit dalam jiwaku bersemi.

“Semua kuserahkan kepada Allah, aku ikhlaskan Ayyub walau aku begitu menyukainya, lagian belum tentu apa yang kita sukai berarti baik untuk kita. Apa pun itu, aku yakin bahwa ketetapan terbaik yang akan Allah berikan untuk hamba-Nya. Pokoknya sekarang aku harus memperbaiki diri, memantaskan diri, semoga kelak yang datang adalah laki-laki yang baik. Lagian, bukankah jodoh adalah cerminan diri?" aku berbicara pada diriku sendiri dan mencoba husnuzan pada setiap keaadaan.

“…. perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)….” (TQS. An-Nur: 26)


"Nis, gimana silaturahminya? Berjalan lancar, kan?" tanyaku.

"Alhamdulillah lancar," jawabnya dengan spontan.

"Tapi … ada hal di luar dugaan. Namanya juga manusia yang sifatnya terbatas, kita hanya bisa berencana tapi rencana Allah lebih indah," tambahnya lagi.

Aku jadi bingung melihat Nisa yang tiba-tiba senyum di wajahnya perlahan memudar.

"Gini, Ul … setelah silaturahmi tadi malam, ayahku menolak dengan tegas pernikahan aku dan Ayyub," ucap Nisa.

"Subhanallah … kok bisa, Nis?" tanyaku heran.

"Jadi, selama proses taaruf ini, Ayah mengira Ayyub itu orang Sunda. Kan tahu sendiri kalau ayah masih sangat kental dengan adat istiadat, masih sangat percaya kalau orang Sunda dan orang Jawa menikah, maka pernikahannya tidak akan langgeng atau sering ditimpa masalah. Padahal itu hanya mitos belaka."

“Aku sudah coba menjelaskan bahwa itu hanya kepercayaan yang turun-temurun dan tidak berlandaskan Islam. Tapi mau gimana lagi, ayahku tetap kekeh dengan pendiriannya. Lagian salahku juga, sih … tidak spesifik menginformasikan kepada kedua orang tuaku," jelas Nisa dengan rona sedih.

“Sabar yah, Nis …” aku mencoba menenangkan Nisa. Sungguh, aku pun tak bisa berkata apa-apa. Aku tidak tega melihat Nisa bersedih.

“Insyaallah … aku ikhlas atas semua ketetapan Allah, yang namanya jodoh pasti akan ditakdirkan bersama, begitu pun sebaliknya. Bukan begitu, Ulya?” tutur Nisa.

Aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan apa yang Nisa tuturkan. Dalam hatiku bergumam "Masyaallah … Nisa wanita taat luar biasa, ia begitu ikhlas akan semua ketetapan Allah.”


1 Tahun Kemudian

“Saya terima nikah dan kawinnya, Ulya Qorisha binti Mahmud Husein dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Ayyub mengucapkan dengan satu tarikan napas. Para saksi dengan spontan mengucapkan kata sah. Kemudian diikuti oleh teriakan haru para jemaah, ”Sah, sah, sah.”

Pertemuanku dan Ayyub dengan cara yang tidak terduga. Ayyub menyerahkan kepada orang tuanya untuk mencarikan pendamping hidup. Orang tua Ayyub mencari informasi dari rekan-rekannya siapa yang punya anak gadis yang siap untuk menikah. Tanpa diduga, ada ibu pengajian yang mengusulkan untuk menemui Ibu Hayati yang tiada lain adalah ibuku.

Jodoh itu seperti 'Alif Lam Mim' yang artinya hanya Allah yang tahu. Layaknya pertemuanku dengan Ayyub yang tidak terpikirkan sebelumnya, yang kami lakukan adalah yakin bahwa ketetapan Allah pasti yang terbaik dan semua akan indah pada waktunya. Asam di gunung, garam di laut, sesuatu yang telah ditakdirkan bersama walaupun jarak memisahkan, pada akhirnya akan tetap bersama.

“Ruh-ruh itu diibaratkan seperti tentara yang saling berpasangan, yang saling mengenal sebelumnya akan menyatu dan yang saling mengingkari akan berselisih.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wallahu’alam bishshawab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hani Qorisha Kontributor NarasiPost.Com
Previous
ACT ‘Digebuk’, Lembaga Amal di Ujung Tanduk
Next
Kasus Pencabulan di Pesantren, Bukti Sekularisme adalah Bahaya Laten
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram