"Firman tak dapat mengelak, dia hanya mampu menelan ludah dan memalingkan wajahnya dari sorot tajam Bude Nila. Rasa berdebar di jantungnya manakala ujung matanya melihat ke sosok wanita berjilbab rapi yang tampak kewalahan dalam melayani pembeli di saat anak kecil yang sedang diayun mulai menangis kencang. Naluri kelaki-lakiannya berontak untuk bisa membantu dan menenangkannya, tetapi apa daya, langkahnya tertahan oleh keadaan."
Oleh. Irma Ismail
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Firman masih saja menatap lurus ke arah jalan. Sesekali ia menghela napas panjang, ada rona kegelisahan dan kerisauan di wajahnya. Hingga ketika sosok yang ditunggu tiba, dengan sigap Firman berlari dan menghampirinya untuk kemudian melakukan hal yang sama seperti hari- hari sebelumnya, membantu mendorong gerobaknya. Setelah tuntas, Firman pun duduk dan sudah bisa kembali tersenyum sambil menyeruput secangkir teh hangat buatan Bude Nila.
"Fir … sebaiknya kamu jaga jarak dan sikap, Bude tahu kamu kasihan, kamu enggak tega, tetapi orang-orang sudah mulai berbisik nih, meskipun berbisik penuh harapan ….” jelas Bude Nila sambil merapikan toples-toples permen yang ada di hadapannya.
“ Iya, Bude, aku tahu kok. Seandainya bukan dia dan itu orang lain, aku juga pasti menolongnya, tapi berbisik penuh harapan bagaimana Bude?” tanya Firman.
“ Ya ada sih, tapi udahlah, yang pasti Bude lihat itu, semakin ke sini kamu menolong dia bukan karena sebagai sesama manusia yang saling tolong-menolong saja, tetapi lebih dari itu. Naluri kelaki-lakianmu yang berbicara, ini sudah antara laki-laki dan perempuan. Bude tahu, rasa kasihanmu, rasa ibamu sudah menjadi cinta … iya kan, Fir?” selidik Bude Nila.
Firman tak dapat mengelak, dia hanya mampu menelan ludah dan memalingkan wajahnya dari sorot tajam Bude Nila. Rasa berdebar di jantungnya manakala ujung matanya melihat ke sosok wanita berjilbab rapi yang tampak kewalahan dalam melayani pembeli di saat anak kecil yang sedang diayun mulai menangis kencang. Naluri kelaki-lakiannya berontak untuk bisa membantu dan menenangkannya, tetapi apa daya, langkahnya tertahan oleh keadaan. Dan suara si kecil pun bertambah nyaring.
Dengan sigap Bude Nila segera beranjak untuk membantu menggendong anak kecil itu, seketika anak itu diam dan mulai tertawa bermain dengan Bude Nila.
“Kasihan anak ini, pagi-pagi sudah dibawa ke pasar untuk berjualan, apalagi kondisi ibunya juga sedang hamil. Pulang dari pasar, malamnya menyiapkan untuk jualan besoknya. Bersyukurnya anak ini banyak yang menyayanginya di pasar. Bude sudah menduga jika begini yang akan terjadi … penderitaannya semakin panjang," iba Bude Nila.
Malam semakin larut, dan ini adalah malam terakhir Firman berada di tempat dia dilahirkan. Libur kenaikan kelas telah usai, Firman harus kembali bergelut dengan rumus-rumus matematika, bertemu murid-murid yang ramai dan kocak, santai tapi tetap serius. Pikirannya masih mengembara, ucapan Bude Nila masih terus berada dalam benaknya. Ya, Firman harus jujur bahwa rasa yang ada ini adalah perasaan sayang dan ingin melindungi serta menjaga wanita tersebut. Wanita yang dua pekan ini dia bantu untuk mendorong gerobaknya naik ke jembatan di pasar pagi. Berawal dari rasa kasihan melihatnya bersusah payah mendorong gerobak di pagi buta saat ibu rumah tangga lainnya bersiap-siap di dapur, tetapi Kemuning—nama wanita itu—sudah berjalan menuju pasar.
Kemuning adalah teman sekelas Firman dari ibtidaiah hingga aliah, anak yang cerdas dan pemalu, sangat irit berbicara dengan lawan jenis. Tidak ada hal istimewa lainnya bagi Firman, hingga dia mendengar bahwa Kemuning menikah dengan Usman, kakak kelas mereka dan anak juragan mie kuning di kampung mereka.
“Bude sudah sering ingatkan. Bukan hanya menahan pandangan mata, tapi juga hati dan pikiranmu. Apalagi kamu tahu status dia itu siapa. Jangan menyakiti dirimu sendiri dengan mimpi yang kau bangun. Dia itu perempuan normal, cerdas, jelas dia tahu dan paham apa yang ada di pikiranmu. Keadaan telah membuatnya berada pada kondisi yang siapa pun akan iba dan terharu. Hampir tak ada orang di pasar yang tidak kasihan dengan dia, meskipun dia tidak pernah bercerita tentang kondisinya. Tapi ini di kampung, bahkan jika kamu tidur mendengkur saja, maka orang sekampung pasti tahu."
"Kemarin, ketika tahu kamu pulang lebih dahulu, dia datang dan meminta satu hal ke Bude, dia sengaja tidak kirim surat atau mengirim pesan kepadamu, Fir … dia khawatir akan meninggalkan jejak yang akan tetap kau kenang. Dia meminta maaf dan jika ini hanya perasaannya saja, tapi dia mencoba berpikir realistis, dia minta untuk tidak dibantu lagi atau jangan menampakkan diri. Karena inilah tempat dia mencari nafkah untuk menyambung hidup, biarkan dia seperti dulu mendorong gerobaknya. Dia menangis, Fir. Ketika sempat tebersit jika saja kamu adalah suaminya, maka pasti ada perasaan tenang di hatinya."
"Tetapi dia segera menyadarinya dan menyesal telah berpikir seperti itu, ini adalah derita bagi dia. Perasaan menyesal ini telah menambah beban hidupnya. Bagaimanapun sikap dan kelakuan Usman, itu tidak mengubah keadaan bahwa Usman adalah suaminya, meskipun pernikahan terjadi karena perjodohan dan utang budi dari orang tuanya kepada orang tua Usman. Memang ada keinginan jika nanti selepas persalinan, dia akan meminta cerai dari Usman dan ini bukan karena kamu, Fir, tetapi memang sudah cukup penderitaannya selama tiga tahun ini.” jelas Bude Nila panjang lebar.
"Aku tidak pernah berbicara dengan dia, tidak pernah chat apalagi meneleponnya. Akupun tidak tahu berapa nomor telepon dia. Aku tidak tega saja, bagaimana beratnya mendorong gerobak itu. Tapi lambat laun rasa kasihanku berubah dan aku menikmati debaran di hatiku kala membantunya … Astagfirullah, aku salah, Bude. Tapi jujur, aku tidak tahan melihat keadaannya. Setiap malam aku berdoa tentang perasaanku ini, Bude. Salahkah aku, Bude?" Firman tak mampu lagi membendung air matanya.
"Betul, kamu tidak meneleponnya atau berbicara dengannya. Tetapi tidak sadarkah kamu bahwa perhatianmu telah meruntuhkan dinding kebekuan di hatinya? Caramu berlari dan mendorong gerobaknya hingga membantu menyiapkan semuanya, tidakkah terjadi tatapan yang tidak disengaja, Fir? Sekarang Bude tanya, kamu memang mencintai dia kan? Apa pun latar belakangnya kenapa perasaanmu muncul, tetapi itulah faktanya. Satu hal yang Bude minta, istigfar dan berdoalah kepada Allah untuk memberikan yang terbaik bagi dia dan dirimu, jika jodoh maka tak akan ke mana," dengan lembut Bude Nila mengusap air matanya.
“Bude tahu, kesungguhanmu mencintai dia karena Allah, kamu tetap menjaga sikap, maka karena Allah juga … lupakan dan serahkan semua kepada Allah, semoga Allah berikan yang terbaik untuk semuanya," pinta Bude Nila.
Tidak terasa tiga bulan berlalu sejak peristiwa itu dan ketika sebuah pesan singkat dari Bude Nila telah membuat jantungnya berdegup kencang .
[Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Fir, Usman meninggal ditikam orang setelah sebelumnya mereka terlibat duel di kompleks lokalisasi dan saat bersamaan Kemuning melahirkan, alhamdulillah sehat semua.]
Dengan dada yang bergemuruh, Firman segera membalasnya. [Innallahi wa innailaihi rojiun. Bude, sampaikan pada Kemuning, jika masa idahnya selesai aku akan datang untuk meminangnya, aku akan segera menikahinya, Bude. Aku akan menunggu sampai Kemuning siap]
Hari yang ditunggu pun tiba, setelah ujian tengah semester, saatnya bagi Firman untuk pulang sejenak menjemput impiannya. Setelah beberapa jam ditempuh melalui pesawat dan perjalanan darat, tibalah Firman di tempat Bude Nila, kakak pertama dari Bapaknya yang selama ini mengasuh dan mendidiknya semenjak orang tuanya meninggal karena kecelakan pesawat di saat usianya masih lima tahun. Ada rona bahagia terpancar dari wajahnya hingga sebuah berita dari Bude Nila cukup mengejutkannya.
“Fir, kabar Usman meninggal disambut orang-orang dengan bahagia, aneh dan lucu saja, tapi begitulah keadaan saat itu. Akhir hidup yang tragis dari jagoan dan preman kampung, dan awal bahagia untuk Kemuning, begitu harapan orang-orang. Tetapi setelah melahirkan beberapa hari di bidan kampung, Kemuning dan bayinya demam tinggi. Setelah melalui pemeriksaan, Kemuning dan bayinya dinyatakan positif HIV/Aids, dan kemungkinan besar tertular dari almarhum suaminya yang pecandu narkoba dan pergaulan bebas."
"Sekarang kondisi Kemuning drop dan berada dalam perawatan, sementara bayinya di ruang PICU. Tidak ada yang tidak menangis ketika mendengar semua ini. Sumpah serapah dialamatkan ke almarhum suaminya. Tidak cukup menyakiti di saat hidup, bahkan saat dia meninggal pun, dia wariskan penyakit. Bude minta maaf tidak memberitahumu karena menunggu saat yang tepat, tetapi kamu datang mendadak begini. Kamu yang sabar ya, Fir, doakan selalu untuk kebaikan dan kesembuhan mereka," ungkap Bude Nila dengan mimik serius.
Lemas sudah jiwa dan raga Firman, tak ada kata yang mampu diucapkan selain terus beristigfar untuk mendamaikan hatinya yang bergemuruh. Beristigfar atas salah dan khilaf yang telah dia perbuat. Kini, hati dan pikirannya mencoba untuk tetap bertahan pada janji Allah bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar, bahwa di balik kesukaran bersamanya ada kemudahan. Ingin sekali raganya untuk bisa masuk ke ruangan itu, tapi dia bukanlah siapa-siapa bagi Kemuning. Firman pun mengambil air wudu, beningnya air bercampur dengan air mata yang masih saja mengalir. Manusia memang berencana, tetapi tetap saja Allah jua yang akan memutuskan yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya.
Allah tidak pernah salah dalam memberikan ujian, bahkan ujian harusnya semakin mendekatkan diri kepada Allah. Apa yang terbaik dari Allah pastilah yang terbaik untuk hambanya dan selalu ada hikmah dalam semua rangkaian kisah hidup anak manusia.[]
Photo : Pintererest
Keren