Gunung Api dan Budak Malang

"Mahira dan Samira mencapai penjara di Benteng Nasau akibat pertikaian para perkenier di area perkebunan. Kedua gadis itu disangka menggelapkan pala bundar dan pala panjang lalu menjualnya kepada para pedagang Inggris dan pedagang lainnya di Banda. Dengan dakwaan yang sepihak dan mengada- ada itu, mereka akhirnya dijebloskan ke penjara."

Oleh. Rosmiati
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com- Semilir angin laut pagi membelai mesra wajah Mahira yang kusam. Udara yang mengalir dari kawasan timur Nusantara itu masuk melalui celah batu yang disusun oleh serdadu Eropa.

"Apa yang kau lihat di luar, Samira? Adakah kau melihat sesuatu?" tanya Mahira penasaran dengan hasil usaha rekannya sedari pagi.

"Aku tak melihat apa- apa selain tembok- tembok hitam yang tinggi ini," jawab Samira sembari menoleh ke arah sahabatnya. Wanita yang memiliki rambut hitam sebahu itu kembali mengangkat wajah dan kepalanya. Sesekali jari- jari kaki dijinjitnya demi mencapai sebuah lubang persegi sebagai tempat keluar masuk oksigen. Di sana, kedua bola mata gadis malang itu akan melihat suasana sekitar. Sayang, usaha itu masih belum membuahkan hasil.

"Tamatlah sudah kita di ruangan sempit ini! Entah kapan takdir bisa membawa kira keluar," ketus Mahira putus asa. Gadis dengan pakaian lusuh itu meratapi nasibnya yang malang.

"Hus!!! Tahan kata-katamu. Apa kau kini selemah itu. Ke mana nasihat guru- guru kita dahulu?" sosor Samira tak terima dengan ucapan sahabatnya yang mudah menyerah dengan nasib mereka saat itu.

"Entahlah, aku bahkan sudah mulai melupakannya ketika melihat jalan hidupku seperti ini."

"Jangan berbicara begitu. Kita tak boleh berputus asa. Itu sikap yang amat dibenci Allah. Sama saja kita tak percaya dengan kemahakuasaan-Nya …" tekan Samira. Sejenak suasana ruang menjadi tenang. Sahabat Mahira yang tak pantang menyerah itu kembali mencari celah agar pandangannya dapat sampai ke luar tembok.

"Kita masih memiliki Allah Swt. Dia lebih segalanya … bahkan dari tentara- tentara biadab itu," bisiknya pelan.

Mahira menggelengkan kepalanya sembari memukul- mukul kain sarung yang membalut tubuhnya. Gadis itu benar- benar sudah ingin menyerah saja.


Demikianlah percakapan dua wanita asal Lontor yang harus menjadi tawanan penguasa Belanda di Kepulauan Banda. Mereka adalah dua sahabat yang selamat dari pengejaran tentara VOC. Tapi, kembali tertangkap kala jalan yang mereka pilih juga dilintasi oleh kompi- kompi serdadu yang ditugaskan untuk mengejar warga Banda ke gunung- gunung.


Jauh hari sebelum keduanya meringkuk di balik jeruji besi, baik Mahira maupun Samira sama- sama menghabiskan waktu sebagai budak bagi pemilik perkenier di Banda. Mereka bekerja siang dan malam.

Siang hari mereka akan mengurusi lahan perkebunan pala milik para tuan Belanda. Sedang malam hari, keduanya harus berjibaku dengan segudang pekerjaan di rumah nyonya mereka. Sungguh tiada waktu badan beristirahat. Meski begitu, Mahira dan Samira masih mengucap syukur sebab kedua gadis belia itu dikaruniai tubuh yang sehat dan juga kuat. Bila tidak, tentulah mereka sudah lama akan bernasib tragis layaknya para budak lain yang harus mati karena serangan penyakit akibat kelelahan dan tak terurus oleh tuan mereka.https://narasipost.com/2021/12/28/si-budak-di-negeri-bangsawan/

Ya, para budak di Banda benar- benar memiliki nasib yang amat prihatin. Mereka bekerja tiada henti. Tapi, hanya diberi jatah makan sagu dan singkong saja. Sangat sulit untuk bisa makan nasi, sayuran, ataupun ikan. Terkait kebersihan dan kesehatan badan. Para budak hanya diberi pakaian satu dalam setahun. Maka, wajar bila banyak budak yang terserang penyakit hingga meninggal dunia.


Mahira dan Samira mencapai penjara di Benteng Nasau akibat pertikaian para perkenier di area perkebunan. Kedua gadis itu disangka menggelapkan pala bundar dan pala panjang lalu menjualnya kepada para pedagang Inggris dan pedagang lainnya di Banda. Dengan dakwaan yang sepihak dan mengada- ada itu, mereka akhirnya dijebloskan ke penjara.


"Duduklah!!! Kau sedari tadi berdiri," ketus Mahira. Ia mulai resah melihat Samira.

Namun, sahabatnya itu tak menghiraukan. Wanita yang gagal menikah akibat pendudukan VOC Belanda itu terus mencari celah dan lubang kecil agar pandangannya dapat tembus keluar. Tapi, nahas bangunan benteng itu memang amat kukuh. Susunan material penyusunnya amat padat dan rapat. Belanda tentu sengaja membuatnya agar mampu menjadi basis pertahanannya bila sewaktu- waktu ada serangan dari pihak musuh.

Gadis dengan kulit kecoklatan itu mulai merasakan kelelahan. Keningnya mulai mengucurkan buliran cairan tiada henti. Lambungnya pun mulai mengirim sinyal untuk diisi. Kedua kakinya mulai bergoyang. Wanita 23 tahun itu menepi tepat di sisi sahabatnya.

Ia sesekali melihat ke arah Mahira yang terpaku.

"Tanda apa ini, Mahira?" tanya Samira dengan heran kala melihat sebuah cap aneh di salah satu bagian tubuh sahabatnya itu. Sontak, rasa lelahnya hilang seketika.

Mahira gadis malang yang harus kehilangan seluruh anggota keluarganya itu, segera menutupnya dengan sehelai kain.

"Tu—tunggu. Biarkan aku melihatnya," desak Samira.

Tanpa sepatah kata, Mahira kembali membungkus bagian tubuhnya yang bercap tersebut.

Samira memaksa. Terjadilah keributan di antara keduanya.

"Jaaangaaaan!!!" teriak Mahira penuh histeris. Tubuh yang kini semakin ringkih itu tampak nian sedang menyimpan luka yang mendalam.

Mendengar teriakan dari dalam tahanan. Beberapa serdadu yang bertugas segera berlari menuju tempat datangnya suara.

"Diam!!!" bentak salah seorang tentara Jepang. Dikiranya Mahira dan Samira akan melakukan perlawanan terhadap mereka.

"Apa yang kalian lakukan dengan sebuah cap di bagian tubuh sahabat saya?" ucap Samira yang tak gentar dengan wajah bengis di depannya.

"Tak hanya dia bahkan kau pun juga, Nona," sambung seseorang yang baru masuk dari balik pintu.

"Apa maksud, Tuan?" selidik Samira menyeka air mata.

"Apa kalian berdua tidak mendambakan hidup yang enak?! Tidur di kasur yang empuk. Jalan- jalan ke Eropa dengan kereta terbaik dan … hidup normal layaknya wanita kami di Amsterdam!" sahut lelaki yang merupakan pimpinan dari para serdadu yang berjaga dengan pongah itu.

"Cuih!!!!" Samira berdiri dengan berani.

"Biarlah kami membusuk di tempat pengap dan hina bagimu ini. Daripada diri harus menghamba pada kaum seperti kalian. Dasar tidak tahu malu! Datang mencu—"

"Apa kau bilang?!!!"
"Prakkk!!!"

"Samira!!!!"

Teriak Mahira kala melihat tubuh sahabatnya terpental ke dinding tahanan. Tuan Alfons yang berbadan tinggi besar itu tak terima dengan hardikkan perempuan Lontor itu. Ia pun lantas melayangkan pukulan keras kepadanya.

Mahira bergegas ke arah sahabatnya. Samira tak berdaya. Cairan kental merah pekat keluar dari pelipisnya.

"Awasi kedua budak ini. Jangan biarkan mereka keluar dari tempat ini! Dan … kau, budak tak berharga! Bila kau masih ingin selamat. Menikahlah denganku. Tapi sebelumnya kau harus menjadi pengikut kristus terlebih dahulu, paham?!!!"

"Hahaha …. hahaha … hahahaha" terdengar sahut- sahutan tawa dari para tentara.

Mahira menutup kedua indera pendengarannya. Ia seolah tak ingin mendengar apa pun yang keluar dari lisan lelaki di sekitarnya itu.

Dengan langkah penuh angkuh dan sombong lelaki yang rata- rata berasal dari Batavia itu meninggalkan ruangan. Tinggallah, Mahira yang menatap tubuh ringkih sahabatnya. Sesekali angin pagi itu membawa isakan tangis itu keluar ruangan.


Waktu yang ditunggu pun tiba. Para budak yang sudah diberi cap akan dibaptis. Tuan Alfons yang tergila- gila dengan paras cantik Mahira walau tak begitu terlihat lagi akibat terus berjemur di bawah terik mentari, sudah bersiap menyambut para budak malang itu keluar. Lelaki yang baru beberapa bulan tiba di Banda itu berniat memperistri kawan Samira.

Hanya saja tentu tak semudah itu. Hukum Belanda yang berlaku di Banda saat itu tak membolehkan mereka menikahi penduduk lokal. Apalagi seorang budak yang mereka sudah tahu bagaimana kondisi kesehatannya. Maka, demi untuk memperoleh restu, Alfons lelaki 43 tahun itu harus memurtadkan Mahira terlebih dulu.

Mahira semakin tak tenang. Gadis itu kembali berdiri dan berputar- putar sembari memikirkan cara untuk melarikan diri. Tapi, ia juga tak kuasa meninggalkan Samira yang kondisinya masih belum membaik.
Mahira pun di ujung kebimbangan.

Tak lama, kala keputusasaan itu nyaris menyapa, suara besar membelah angkasa menggelegar. Mahira terperanjat. Gadis sebatang kara itu mulai berdiri. Tak berselang lama, gendang telinganya menerima teriakan histeris penduduk kota yang terdengar hingga ke dalam benteng tahanan. Hawa panas pun mulai terasa hingga ke tempat Mahira. Sejumlah serdadu yang tadi berjaga kini lari tunggang langgang. Pintu- pintu penjara ditinggalkan tanpa penjaga.

Mahira coba melihat keluar. Beberapa kali tubuh itu terjatuh akibat guncangan yang terjadi.

"Ayo, ini kesempatan kita untuk lari dari sini!!! Gunung api sedang meletus …" teriak salah seorang tahanan kepada Mahira.

Sontak, wanita malang itu berlari kembali ke tahanan dan memboyong tubuh lemas sahabatnya, Samira.

"Ayo, kita lari ke pantai di sana ada beberapa perahu yang diselundupkan warga Seram. Kita akan melarikan diri dengan itu!!!" papar salah seorang tahanan.

Dengan bersusah payah para budak berhasil keluar dan melarikan diri. Walau harus bersembunyi di hutan dekat pantai sebelum akhirnya mereka menyebrang ke Kei dan Seram. Para wanita malang itu mengucap syukur tiada terkira.

Gempa yang disebabkan oleh hadirnya gunung api di depan Benteng Nasau itu Allah takdirkan ada. Sebab, itu caranya untuk menyelamatkan para hamba- hamba-Nya yang kukuh dalam iman dari keburukan- keburukan penjajah Belanda. Banyak para budak yang enggan murtad akhirnya melarikan diri saat tragedi gunung api terjadi.

Selesai[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Rosmiati,S.Si Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Gigi Sehat Sejak Usia Dini, Hindari Kebiasaan Buruk yang Merusak Posisi
Next
Sistem Riba Hancurkan Sri Lanka
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yuli Juharini
Yuli Juharini
2 years ago

Bagus ceritanya

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram