"Fatimah masih mencoba tersenyum, meskipun tidak tahu apakah senyumannya dilihat atau tidak, tulus ataukah getir. Rasa percaya diri yang selama ini dibangunnya telah hancur dalam satu kalimat yang sering didengar, tetapi ini menjadi berbeda ketika kalimat itu benar-benar tertuju padanya."
Oleh. Irma Ismail
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Nak Fatimah, terima kasih atas pengertiannya. Ibu minta maaf jika ini menyakiti hatimu, tetapi ibu memang harus berterus terang bahwa bibit itu harus jelas …” lontaran kalimat yang lemah lembut keibuan meskipun ada getaran dalam kalimatnya begitu tajam menghujam. Bu Broto menjelaskan maksudnya dan segera beranjak dari kursi cokelat seraya menatap Fatimah dengan pandangan berjuta makna.
“Oya, kalau nanti Nadia ke sini dan membahas masalah ini, tolong Nak Fatimah menolaknya, ya. Yah dengan alasan apa saja lah …” kalimat terakhir yang keluar sebelum Bu Broto memasuki mobil mewah berwarna silver.
Fatimah masih mencoba tersenyum, meskipun tidak tahu apakah senyumannya dilihat atau tidak, tulus ataukah getir. Rasa percaya diri yang selama ini dibangunnya telah hancur dalam satu kalimat yang sering didengar, tetapi ini menjadi berbeda ketika kalimat itu benar-benar tertuju padanya. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya tak bisa dibendung lagi, jatuh berderai bersamaan dengan petir yang menggelegar.
"Aku harus bangkit dan tetap semangat, ada puluhan anak-anak yang membutuhkanku …” ucap Fatimah dalam hati sambil terus untuk menguatkan diri.
“Assalamualaikum, Mbak Fatimah … Nadia mau minta tolong, bisa gak?” suara renyah di ujung telepon terdengar riang dan sesekali terdengar suara-suara yang cukup ramai.
“Waalaikumsalam … insyaallah, tergantung minta tolong apa dulu nih? Semoga Mbak bisa ya," jawab Fatimah.
“Nadia kan buka kajian untuk anak-anak remaja di sekitar tempat Nadia KKN dulu yang pernah Nad ceritakan ke Mbak itu, lho. Alhamdulillah ini masih berjalan. Nah pekan kemarin ketika Nad ngisi kajian di sana, Bu Lurah mendatangi Nad dan minta Nad mengisi kajian untuk ibu-ibu pekan ini dan maunya juga rutin. Kata Bu Lurah, Nad bisa gantian dengan teman Nad. Untuk perdana ini Mbak Fatimah yang isi, ya … temanya tentang peran ibu dalam menjaga anak di masa sekarang."
“Emang enggak ada yang lain kah? Mbak kan masih single nih, masih ada Ustazah Dewi, Ustazah Faiqoh, atau Mbak Sandra yang jelas sudah mempunyai anak," ujar Fatimah.
“Iya, Mbak masih single, tapi faktanya … Mbak mempunyai anak-anak dari bayi hingga remaja dan itu enggak satu, lho, tapi banyak, artinya ada banyak karakter dan penanganan. Kan Mbak sendiri pernah bilang, tidak harus punya banyak anak untuk paham bahwa menjaga, mendidik, dan mengawasi anak-anak itu butuh ilmu dan kesabaran. Mbak bisa ya … please deh, Mbak," rayuan maut mulai dilancarkan Nadia, mahasiswa semester akhir yang dalam beberapa tahun terakhir ini rutin mengunjungi Panti Asuhan Al-Hidayah, tempat Fatimah diberi amanah untuk menjadi pengasuhnya, tepatnya membantu Bu Sapta yang telah berusia lanjut.
“Iya deh … Insyaallah ya, Nadia. Mbak kalah nih dengan rayuan manjamu, hehehe. Manja yang tepat sasaran. Minta alamatnya ya, dan Mbak mau pamit dulu ini, soalnya ada tamu yang datang. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh," Fatimah menutup teleponnya setelah terdengar jawaban atas salamnya.
Nadia, gadis manis yang lincah dari keluarga terpandang di kota ini. Siapa yang tidak kenal dengan dr. H. Broto Pusponegoro Sp.PD., seorang dokter internis yang cukup senior, dermawan, dan dikenal ramah serta santun, khususnya kepada kaum duafa. Ia menjadi salah satu donator tetap di Panti Asuhan Al-Hidayah dan Nadia-lah yang rutin mewakili Pak Broto, suami dari Bu Broto dalam menyalurkan donasinya. Inilah awal perkenalan dan persahabatan antara Nadia dan Fatimah yang berbeda usia lima tahun yang membuat mereka dekat bagai kakak beradik.https://narasipost.com/2021/07/31/belajarlah-dari-kisah-cinta-ali-dan-fatimah/
Tetapi kejadian kemarin, pertemuannya dengan Bu Broto setidaknya masih saja mengiris relung hatinya yang paling dalam, manakala melihat bayi-bayi dan anak-anak tak berdosa ini yang ada di sekelilingnya. Sungguh, manusia tak bisa memilih siapa orang tua dan di mana dia akan dilahirkan.
“Alhamdulillah, tidak terasa sudah satu jam lebih nih, senang rasanya bisa bersama ibu-ibu hebat, ibu-ibu luar biasa yang menyediakan waktu istimewanya untuk hadir di sini, setelah berkutat dengan urusan dapur dan satu jam agenda ini berlangsung masih tetap semangat ya … jika ada yang ingin ditanyakan dan didiskusikan, dipersilakan ya, Bu. Insyaallah Ustazah Fatimah akan menjawabnya,” suara renyah dan sangat familier dari Nadia yang menjadi host membuat suasana taklim menjadi lebih hidup, di samping penjelasan Fatimah sebagai pemateri memang cukup jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat umum.
“Ustazah, saya mau bertanya, dari pergaulan bebas itu kan banyak bayi-bayi yang lahir di luar pernikahan lalu di buang dan ada yang hidup. Terus bagaimana ya nasib bayi-bayi ini? Apakah bayi-bayi ini kelak akan seperti orang tuanya dulu? Matur nuwun, Ustazah," pertanyaan yang singkat tapi cukup menghujam dada Fatimah.
“Monggo Ustazah Fatimah, langsung dijawab saja ya," ujar Nadia mempersilakan.
“Subhanallah, memang pergaulan bebas hingga perzinaan sekarang ini semakin luar biasa, bukan hanya para remaja, tapi ada pula orang tua yang sudah cukup umur melakukannya. Dan sebelum saya menjawabnya, saya akan berkisah sedikit tentang panti asuhan di mana saya dipercaya menjadi pengasuh dari anak-anak yang kurang mampu hingga anak-anak yang dibuang sedari lahir, dan semoga ini menjadi fakta yang bisa dipahami," Fatimah mengawali dengan menarik napas dalam-dalam.
“Dari sekian banyak anak-anak yang ada sejak berdirinya panti asuhan ini hingga sekarang, tak kurang dari lima puluh anak-anak yang dari bayi dibuang dan dititipkan, entah dibuang di pasar, tempat sampah, atau ditaruh di depan rumah warga hingga di teras masjid. Dari penyelidikan kepolisian, mungkin lima atau enam kasus yang akhirnya berhasil menemukan sang ibu yang nekat membuang bayinya karena malu hamil di luar nikah. Kemudian ada dua korban penculikan, orang tuanya dibunuh dan anaknya diculik tetapi alhamdulillah terungkap. Sementara sisanya adalah bayi-bayi malang yang hingga mereka dewasa, keberadaan orang tuanya tidak diketahui. Jangankan wajah kedua orang tuanya, bahkan namanya pun mereka tidak tahu," terasa berat ketika Fatimah menyelesaikan kalimat ini, butiran bening kini mengalir perlahan di pipinya.
"Dan saya Fatimah, adalah salah satu dari bayi-bayi malang itu, tidak pernah mengetahui silsilah keluarga, tidak pernah tahu wajah ibu dan bapak saya, apalagi nama mereka berdua," sekuat tenaga Fatimah menahan guncangan hatinya, suara tangisan dari jemaah pun ikut terdengar.
“Cap sebagai anak pezina dan anak haram sama sekali tidak bisa kami hindari, dan itu bukan perkara mudah. Sampai-sampai saya membenci orang tua saya, tetapi harus ke mana saya arahkan amarah ini? Hingga saya belajar lebih jauh tentang Islam. Alhamdulillah, Allah menguatkan saya. Saya mulai berdamai dengan hati dan perasaan, lalu saya mencoba berpikir positif. Toh pada akhirnya saya juga tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, biarlah Allah yang menetapkan apakah selamanya saya tidak tahu dan menunggu di akhirat saja kebenaran itu akan dibuka."
"Saya tanamkan di pikiran saya, bukan kehendak diri ada di dunia, karena ini memang kehendak Allah. Berharap bahwa mungkin saya adalah korban penculikan dan orang tua saya adalah pejuang Islam yang dibunuh atau memang sengaja dijauhkan saja. Bait doa pun saya panjatkan meski hanya ada tulisan ibu dan bapak dalam benak saya, tanpa saya mampu menghadirkan wajah mereka. Semoga saya dipertemukan di surga-Nya Allah nanti, amin," lirih suara Fatimah tertahan oleh debaran jantungnya yang berdetak kencang, membayangkan akan bertemu kedua orang tuanya.
"Menjadi anak manusia yang tidak tahu asal usulnya adalah beban yang sudah cukup berat, maka hendaknya jangan ditambah lagi dengan stempel bahwa mereka akan seperti kedua orang tuanya. Memang, sekarang ini perzinaan begitu luar biasa, kalaupun memang anak hasil perzinaan, tidak bisakah masyarakat memisahkan bahwa ini perbuatan orang tuanya yang berdosa sementara anaknya hanyalah insan yang suci yang tidak tahu apa-apa? Nasihati ibu dan bapaknya, ajarkan tentang Islam. Kemudian pandanglah bahwa anak-anak ini juga mempunyai peluang dan bisa berkontribusi bagi kemajuan Islam, asal anak-anak ini diberi kesempatan dan diperlakukan layaknya anak-anak yang lain. Sebagaimana ada juga anak-anak dari keluarga utuh tetapi menjadi pembenci Islam, kelakukannya juga jauh dari Islam.” Suara Fatimah mulai kembali normal meski masih ada genangan di pelupuk matanya.
“Kita memang butuh negara, Ibu-ibu. Negara yang akan menerapkan hukum sesuai dengan hukum Islam, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang tak berdosa yang terus menanggung kemaksiatan atas perbuatan ibu bapaknya. Hukum rajam atau jilid dan diasingkan bagi pelaku zina yang belum menikah. Beginilah kondisi generasi muda sekarang ini, yang jauh dari Islam bahkan tidak malu-malu lagi mengunggah perbuatan dosa mereka di medsos. Ditambah masyarakat yang juga mulai berpikir bahwa ini urusan pribadi, jadi tidak usah ikut campur," panjang lebar Fatimah menjabarkan, ditambah ibu-ibu yang semakin bersemangat untuk mau kembali hadir dalam kajian. Tanya jawab pun terus berlanjut hingga tak terasa waktu sudah mendekati waktu salat asar.
Di depan pintu gerbang masjid, tampak perempuan baya berpakaian rapi yang sejak awal pengajian tampak serius mendengarkan hingga tak kuasa juga menahan air mata tatkala mendengarkan apa yang telah disampaikan. Kedua tangannya menutupi wajahnya yang masih saja menangis tersedu-sedu, higga panggilan lembut membuatnya terkejut.
“Mama … sejak kapan Mama di sini?" tanya Nadia
“Assalamualaikum, Mbak. Mama masuk rumah sakit, Mbak. Sepanjang jalan tadi meminta Mbak untuk segera ke rumah sakit. Apakah Mbak Fatimah bisa? Setidaknya Mbak bisa mendoakan Mama," penuh harap suara Nadia yang terisak-isak.
Kini Fatimah berada tepat di samping tempat tidur Bu Broto, wajahnya yang tampak tua dan lelah karena napasnya yang masih dibantu oksigen membuat rasa iba di dalam diri Fatimah. Mengetahui kedatangan Fatimah, sontak tangan Bu Broto menggenggam erat tangannya. Ada genangan air dari sudut matanya yang tampak keriput. Di seberang tempat tidur ada Pak Broto, Nadia, dan Dimas.
"Maafkan Ibu … maafkan. Ibu baru menyadarinya, Ibu menyesal. Ibu salah. Ibu baru tahu bagaimana sakitnya dirimu. Maafkan Ibu, ternyata begitu berat beban yang kau tanggung, berat sekali …" terengah-engah suara Bu Broto bercampur tangisan.
“Nak Fatimah, izinkan Ibu untuk memintamu menjadi menantu Ibu, menjadi istrinya Dimas, kakaknya Nadia ya. Izinkan Ibu menjadi ibumu."
Diam tak bersuara, ada banyak guncangan di dada Fatimah. Ada banyak kata yang tak mampu untuk dia katakan. Diam tak bersuara, kecuali tangisannya yang mulai pecah. Dengan lemah, tangan Bu Broto menarik tangan dan badan Fatimah untuk segera didekap di dadanya. Mereka menangis bersama untuk sebuah harapan yang lebih baik, untuk sebuah kerinduan yang tertunda.[]