Aku Bukanlah Cinderella

"Jika kebaikan hanya diukur dengan segaris senyuman di atas riasan cantik yang dilempar ke arah dewan juri, dan kecantikan hanya bernilai selembar pakaian dalam, maka menurutku itu sama sekali tak masuk akal. Bahkan aku merasa hanya seperti gadis murahan yang sedang ditawar untuk diperdagangkan."

Oleh. Mi'ratul Lailiyah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-11 Januari 2015
Leherku seperti kaku, tak berani menatap lurus ke depan, kecuali hanya tertunduk tersipu memandang lantai yang tertutup karpet dan taburan kembang. Dadaku berdebar sesak. Bukan karena sedang kesulitan atau penyakitan. Tapi tentu karena efek malu.

Sebuah sentuhan tangan lembut tiba-tiba mendarat tepat di daguku dan mengangkat kepalaku yang tertunduk berat karena malu. Tentu semua itu membuatku semakin salah tingkah, namun tetap tak berani banyak polah. Tak satu pun kata meluncur, kecuali lembaran-lembaran senyum bahagia yang kusajikan untuknya, suamiku.

Ya, hari ini memang hari pernikahanku. Ijab kabul baru saja digelar, dan aku hanya mendengarnya dari dalam bilik kamar. Sebab sejak tadi, aku hanya diam tanpa boleh keluar karena riasan manis menghiasi wajahku sebagai sambutan istimewa khusus bagi mahram baruku itu.

Dia tersenyum memandangku, “Kamu cantik … terima kasih sudah mau berdandan untukku.”

Masyaallah, beginikah rasanya pujian yang halal? Sentuhan dan rayuan yang membawa rahmat, bukan hanya sekadar maksiat. Aku memang sudah sering berdandan untuk dipuji banyak orang. Tapi, untuk yang satu ini sangat berbeda. Bukan hanya karena pujian itu meluncur dari bibir suamiku, tapi tentu lebih dari itu. Pujiannya adalah pujian tulus dan halal, sedangkan riasanku kali ini adalah bukti kesetiaan.

Allah, inikah rasanya cinta? Cinta asli yang Engkau ridai? Allah, sungguh Engkau Mahakuasa, dan hanya Engkau yang sanggup memberi kejutan istimewa. Selama ini aku tak pernah berhenti menyakiti-Mu dengan berbagai macam dosa. Namun, sekali saja aku memohon ampun dan berusaha keluar dari lumpur hina ini, dengan segera Engkau mengulurkan nikmat tobat dan rizki tiada henti. Meski puing-puing maksiat hitam kadang masih tak bisa tercuci, Engkau tetap tak berhenti mengampuni. Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu Sang Maha Pengasih.


16 Desember 2013

Kupaksa bibirku melempar senyum terindah ke tiap mata yang menyaksikanku malam ini. Aku tak mau sapuan make up manisku terhapus hanya karena tetesan keringat gemetar. Meski memang, aku tak bisa menutupi kegugupanku yang menyeruak keluar.

Namun, sepertinya bukan hanya aku yang merasakan sengatan-sengatan gugup dan gemetar ini. Sofia, rival terberatku dalam kompetisi ini pun juga tampaknya merasakan hal yang sama. Jari jemari dinginnya melingkar menggenggam pergelangan tanganku.

“Dan … di antara dua peserta terbaik yang tersisa menurut para dewan juri … siapakah yang akan menduduki kursi juara selanjutnya?”

Kalimat host acara memanjang membuat penasaran. Dadaku makin sesak menahan gemetar antara berharap menjadi pemenang dan untuk segera mengakhiri beban berat kegugupan. Tapi, host itu sepertinya lebih tahu tentang perasaanku dan Sofia, maka ia pun makin membuat kami salah tingkah. Dia tersenyum mempermainkan kami. Menyebalkan.

“Pemenang … kontes Miss Indonesia 2013 adalaaaah ….”

Aku pun memasukkan helaan-helaan napas mendalam mengisi dada dengan keberanian mendengar kalimat host yang satu ini.

“Alisha Sofhia Renata!”

“Yeah…!” Jeritan bangga penuh suka cita melejit dari bibir para undangan dan pemirsa yang ada di dalam gedung kontes pertunjukkan Jakarta International Convention Center ini. Semua orang bersorak sorai, taburan-taburan bunga jatuh memenuhi perasaan bahagia.

Aku nyaris kehilangan keseimbanganku, rasanya tungkaiku tak mampu lagi menahan beban berat badanku yang tak lebih dari 47 kg. Aku mungkin masih tak menyadari apa yang baru saja terdengar di telingaku, hingga akhirnya Sofia memelukku sambil tersenyum bahagia memberi seuntai ucapan selamat.

Ya, aku … aku, Renata yang memenangkan kontes bergengsi ini. Aku yang mereka tunjuk sebagai perwakilan wanita Indonesia yang bermultitalenta, sebagai penyandang mahkota Miss Indonesia yang menjadi impian hampir semua hawa di negeri khatulistiwa. Senang? Tentu saja. Walau mungkin tetap ada segaris kecewa yang menyakitkan dalam dadaku. Sebab, kebahagiaan ini tidaklah sempurna menghiasi hidupku.

Jika biasanya orang-orang merasakan kesempurnaan bahagia bersama semua keluarganya yang kumpul bersatu, maka bagiku itu sama sekali tak berlaku. Karena meski saat ini aku bisa menyaksikan wajah mama dan papaku tersenyum bangga untukku, tapi tidak dengan Reisha, saudara kembarku. Ia bahkan enggan untuk hadir menyaksikanku. Najis. Baginya, kontes seperti ini bukanlah kontes yang pantas untuk disambut dengan antusias karena tak lebih dari hanya sekadar permainan, promosi mode pakaian, dan pelecehan kehormatan kaum perempuan.

Kecewa? Pastinya. Ia berpikir begitu karena tak mau mengerti sama sekali tentang makna kontes ini. Ia menutup mata tak mau menyadari bahwa justru di sinilah para wanita bisa mengasah diri untuk berekspresi. Justru di sinilah ia memuliakan derajatnya. Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan segala nikmat kecantikan dan keindahan? Maka, bukankah sudah selayaknya untuk menunjukkan keindahan dan kecantikan itu sebagai bentuk rasa syukur? Menurutku gelar cantik, cerdas, serta bersosial tinggi bukan pula hanya sebatas mimpi untuk promosi peningkatan daya jual acara di pasaran, sebab gelar-gelar itu tak secara mudah didapatkan. Harus melalui proses karantina yang panjang dan melelahkan, audisi yang ketat dan penilaian dewan juri yang sangat ahli. Semua itu menunjukkan keseriusan.

Namun sayang, sepertinya Reisha tak mau memahami semuanya. Ia tetap bersikukuh dengan pendapatnya. Sakit. Kecewa.


Tiap gelar tentu bukan hanya sebatas sebutan membanggakan. Semua pasti memiliki konsekuensi yang harus dijalani. Jika seseorang disebut sebagai dokter atau tabib, tentu ia harus mampu mengobati, mengoperasi, dan memberi anjuran-anjuran kesehatan meski tak harus bisa menyembuhkan, karena kesembuhan adalah hak Tuhan.

Maka, begitu pun dengan aku. Gelar sebagai Miss Indonesia tentu saat ini bukanlah hanya sebuah kebanggaan yang kugantung bersama sebutan namaku. Semua memiliki konsekuensi, karena gelar ini menuntutku untuk mampu menunjukkan identitasku sebagai gadis negeri yang memiliki moral dan sosialitas tinggi untuk dibagi-bagi.

Gelar ini bukan hanya sekadar untuk lamer body, kecantikan, rekreasi, jalan-jalan mencari pengalaman, memamerkan baju baru di atas panggung pertunjukkan, bahkan mungkin juga alasan-alasan lain yang lebih mirip dongeng khayali. Aku rasa tidak melulu harus begitu karena tujuanku sejak awal bukan hanya untuk mencari batu loncatan menuju tiang kepopuleran atau untuk mencari jodoh masa depan yang mapan, serta siap mengulurkan berbagai kenyamanan kehidupan. Namun, mencari jalan mengulurkan kepedulian yang lebih mendalam.

Jika selama ini masyarakat menjerit kesakitan dan kelaparan pada penguasa, tapi tak pernah sekalipun dihiraukan. Bahkan mereka dipaksa disiplin membayar pajak di tiap langkah hidup mereka, namun tetap tak merasakan hasil dari keringat dan kekayaan negeri ini. Maka, mungkin inilah salah satu cara terbaik untuk memberikan pada masyarakat hak yang seharusnya mereka genggam. Walau mungkin tak seberapa, aku tak mau mengecewakan mereka yang telah memilihku. Aku ingin memberi mereka perhatian dan kasih sayang dengan program-program sosial yang memang kususun khusus nan istimewa untuk mereka.

“Hmm … Bu, tali tembaganya dililitkan dulu yah supaya kuat dan rapi," ujarku sambil memberi contoh pembuatan kerajinan tangan dari tali tembaga.

Ya, hari ini memang aku sedang mengisi acara pelatihan kerja mandiri bagi para ibu rumah tangga sebagai salah satu agenda sosialku. Maklum saja, di era serba sulit seperti sekarang ini, kebutuhan hidup melangit dan ekonomi sempit, gaji para suami tetap tak ada tanda-tanda akan naik. Sehingga pilihan terbaik yang masih bisa dilirik adalah turut bergeraknya para istri mencari jalan rizki.

“Matur Nuwun. Nggeh, Neng," ujar salah seorang ibu.
Dan aku hanya membalasnya dengan anggukan senyum, karena meski aku tahu maksud kalimatnya adalah sebagai ungkapan terima kasih, aku sama sekali tak bisa membalasnya dengan gaya bahasa yang sama.


“Assalamualaikum. Ren … kamu di dalam?” Sebuah kalimat tanya terdengar meminta izin untuk masuk ke dalam bilik kamarku, yang menyadarkanku dari lamunan panjang.

Sepertinya itu suara Reisha. Aku bisa mengenalnya tentu saja. “Ya, aku didalam, masuk aja!” jawabku.

Nah, sudah kuduga itu memang suara Reisha. Tubuhnya berdiri di ambang pintu kamarku yang ia buka pelan-pelan, menundukkan wajah memandang lantai dan hanya sesekali mengamatiku yang lesu.

“Ke sini aja, Rei. Ngapain berdiri kayak patung di situ?” tawarku berusaha bersikap ramah padanya, walau sebenarnya aku sangat malas jika harus menanggapi celotehannya lagi. Tapi mau bagaimana lagi, risiko jadi putri negeri ini membuatku harus tetap bersikap baik meski sedang berhadapan dengan penentangnya.

Hubungan kami memang sempat memuncak panas beberapa bulan ini sejak ia tahu aku mengikuti audisi kontes itu hingga aku berhasil masuk babak final. Kami sempat bertengkar hebat dan saling beradu pendapat. Bahkan beberapa hari ini kami pun perang dingin, enggan berbicara dan malas menyapa. Bosan, sebab percuma saja, tak ada yang mau mengalah.

"Ren, aku lakuin semua ini karena aku sayang kamu. Kamu saudaraku, aku enggak mau kamu nyesel nantinya.”

"Ini hidupku. Dan aku berhak untuk melakukan apa pun di dalamnya, Rei,” sergahku dengan cepat memotong celotehan panjangnya. Kurasa cadangan kesabaranku sudah mulai habis. Reisha tak mau berhenti dengan semua pendapatnya yang ia paksakan untuk kuterima.

“Ya. Tapi, Ren, coba kamu pikir, meski kamu berhak atas hidup kamu, bukankah kamu juga punya kewajiban untuk membuatnya berjalan dengan baik?"

"Mana sih bagian yang kamu anggap enggak baik dari semua ini? Kamu enggak senang lihat saudaramu ini sukses? Lagi pula, bukannya ini adalah agenda sosial yang besar dan bisa membuat semua orang terbantu? Ya paling enggak sebagian besar di antara mereka terangkat derajatnya,” sergahku lagi.

Reisha menarik napas dalam-dalam, membuat dadanya terangkat dan aku tahu sepertinya ia bersiap membantahku.

"Ren, kalau kamu pikir mengangkat derajat masyarakat itu bisa dilakukan dengan agenda-agenda mempertahankan budaya primitif semacam itu, kamu salah besar,“ sanggahnya sambil melirik foto-foto suku pedalaman Papua yang terpampang di dalam slide-slide presentasiku.

“Ren, bukannya akan jauh lebih kasihan jika mereka kamu biarkan hidup tanpa busana dan tetap dengan pemikiran primitif mereka tanpa pernah mengenal pengetahuan? Kalau kamu bersikeras tetap mempertahankan semua itu atas nama kekayaan budaya, bukankah itu berarti melecehkan mereka dengan tak memberikan mereka hak berpendidikan dan hak kehidupan sebagai manusia? Apa itu, Ren, yang kamu mau?”

Sejenak aku diam, berpikir bahwa apa yang Reisha katakan memang benar. Tapi ….

“Dan yang lebih penting dari itu semua, Ren, please sadarlah bahwa kita adalah para perempuan muslimah yang tak sepantasnya bertingkah begini. Allah pencipta kita, Dia Tuhan dan juragan kita. Sedangkan kita hanyalah makhluk biasa. Hanya budak-Nya yang tak memiliki hak apa pun dihadapan-Nya. Jika Allah sudah menetapkan aturan hukum-Nya, maka kewajiban kitalah untuk menaati-Nya,” Reisha kembali menambah alasannya, namun kini dengan suara yang pelan, melembut sambil memegang kedua pergelangan tanganku dan memandangku dengan pandangan hangat.

“Ren, kewajiban kita sebagai perempuan ini adalah menutup aurat, bukan mengumbarnya dengan gratis untuk siapa pun. Maaf, Ren, bukankah akan jauh lebih bernilai jika sebuah benda dibungkus rapat daripada benda yang dibiarkan terbuka dan bebas disentuh siapa saja?”

“Tapi, Rei, bukankah Tuhan juga menakdirkan kita sebagai makhluk berderajat tinggi dan memiliki keindahan? Sehingga wajar bila kita tunjukkan keindahan itu sebagai bentuk syukur, 'kan?” kataku berusaha mengelak dari sanggahan Reisha meski dalam hati kecilku, aku membenarkan semua alasannya itu.

Reisha menggeleng. “Bersyukur memang sebuah kewajiban, tapi ketaatan adalah tanda keimanan. Bukankah bersedekah juga merupakan kebaikan? Tapi apakah masih bisa disebut kebaikan jika seorang budak memberikan harta majikannya pada orang lain tanpa seizin majikannya itu?”

Aku tertunduk menggeleng lesu.

"Ren, akan lebih bermartabat dan berkelas jika seseorang menampakkan aurat dan membuka kehidupan pribadinya hanya di depan orang-orang tertentu, seperti mahram yang bisa melindungi mereka.”

Reisha diam sejenak sebelum melanjutkan penjelasannya, "Kamu percaya jika Allah Maha Mengetahui dan Dia lebih tahu apa yang terbaik buat umatnya, 'kan?”

Aku mengangguk pelan, menggigit bibirku. Sekarang aku tak bisa menolak semua pernyataan Reisha. Aku membenarkannya. Tapi … aku masih bingung, apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku kembali? Sedangkan gelar itu sudah terikat sebagai janji yang harus dipenuhi.


11 Juni 2014

“One, two, three … go!” Tepat pada hitungan ketiga, koreografer itu memberiku instruksi agar aku kembali berlatih tari daerah yang akan kubawakan nanti saat mewakili negeri ini dalam kontes kecantikan internasional dua bulan mendatang.

“Ayo, Ren … semangat! Jangan sampai lupa terus gerakannya!” katanya menyemangatiku.

Sejak tadi aku memang selalu melakukan kesalahan. Ada saja gerakan keliru yang kulakukan. Entahlah, aku seperti tak mampu berkonsentrasi. Pikiranku jauh melayang dan bertanya-tanya tak seperti biasanya. Aku mulai ragu dengan semua aktivitasku ini. Diskusi terakhirku dengan Reisha kemarin masih terus terekam dalam ingatanku.

Dia mungkin benar, kecantikan fisik adalah hal yang objektif. Tak sepantasnya ia menjadi standar penilaian kebaikan. Toh, kebaikan itu juga bukan hal yang pantas untuk diperlombakan. Kebaikan adalah urusan batin dan keimanan, setiap orang tentu berbeda kadar perlakuannya. Sedangkan yang tahu tentang nilai kesempurnaan kebaikan itu hanyalah Allah yang Maha Mengetahui.

“Ayo, Ren … kenapa berhenti? Ini belum selesai, 'kan?”

Aku terdiam, tak menjawab pertanyaan koreograferku itu. Bukan tak mendengar atau tak menghiraukannya. Namun, aku masih sibuk menata urutan-urutan napasku yang lelah karena seharian ini berlatih tari bersamanya.

“Kenapa kita harus berlatih kayak beginian, sih?” tanyaku.

Anton, si koreograferku itu mengernyitkan dahinya. Ia sepertinya merasa aneh mendengar pertanyaanku. “Ya, lo gimana sih! Mau menang, gak?”

“Ya mau, sih … tapi kan gak nyambung aja antara menilai kebaikan dan kecerdasan seseorang dengan tampilan-tampilan tari, gaya berbusana, gaya berdandan atau bentuk wajah. Aneh, 'kan?”

“Ah, ribet lo. Apa pun itu yang penting bisa menang aja, Ren. Bisa mengharumkan nama bangsa. Titik,” jawabnya tanpa kejelasan yang pasti dan memuaskanku. Aku diam menatapnya tajam.

“Ah, udah deh, latihan lagi aja, yuk!”

Aku masih diam, malas sekali rasanya melakukan hal yang sama sekali tak bisa membuat hatiku merasa nyaman dan tenang. Untunglah, Ibu Siswanto, salah satu anggota promotor acara datang. Ya, kuharap ia bisa memberiku kejelasan yang lebih memuaskan.

“Ah, syukur deh Ibu datang. Nih, si Renata lagi mogok latihan. Dari tadi tanya-tanya melulu!” kata Anton pada Ibu Siswanto.

“Oh ya? Emang tanya-tanya apa, Ren?” kata Ibu Siswanto sambil menatap ke arahku.

Aku tersenyum tipis sebelum menjawabnya. "Ya, saya cuma tanya kenapa kita harus berlatih tari, gaya jalan, atau semacamnya sih, Bu?”

“Lho, kamu ini gimana sih, Ren? Kamu kan juga tahu tampilan-tampilan seperti itu jadi penilaian penting dalam kontes nanti?”

“Iya, Bu, saya tahu. Tapi maaf, saya hanya merasa kurang ‘pas’, tidak ada kaitannya antara kecantikan, gaya berdandan, atau tarian dengan kebaikan serta kecerdasan seseorang, 'kan?”

Ibu Siswanto mengaitkan ujung-ujung alisnya, berpikir keras mencari alasan yang bisa kuterima. “Ren, saya mengerti, memang tak ada wujud sempurna dalam diri manusia, tapi pasti ada keistimewaan yang tak setiap orang miliki. Dan kontes ini adalah ajang untuk mencari sosok-sosok istimewa itu. Ya, gambarannya semacam Cinderella. Dia adalah sosok istimewa yang pangeran cari karena selain cantik dan berbakat, ia juga memiliki kebaikan hati yang tinggi ….”

“Ta … tapi, Bu … saya rasa Cinderella hanyalah seorang tokoh dongeng yang tak bernilai nyata sedikit pun. Tidak sepantasnya kita menjadikannya standar untuk kehidupan kita,” sergahku dengan segera. Aku merasa semakin aneh dan konyol dengan jawaban itu.

“Ya, Ren, maksud saya tadi hanyalah perumpamaan, karena kecantikan itu memang tak akan lengkap tanpa nilai kebaikan hati. Dan untuk itulah kontes ini ada. Kamu mengerti 'kan sekarang?”

Aku menggeleng lesu. Aku semakin bingung, tak mengerti dengan semua ini. “Maaf, Bu. Saya bukanlah Cinderella. Dan jika kontes ini mencari sosok-sosok Cinderella dalam dunia nyata, saya rasa bukan saya orangnya."


11 Januari 2015

Semua mata kembali tertuju padaku saat ini. Banyak media memberitakanku dan banyak pula orang yang membicarakanku. Tapi bukan karena hal yang sama seperti dua tahun lalu, saat banyak orang terkejut dengan keputusanku untuk mundur dari kontes kecantikan internasional paling bergengsi itu. Termasuk juga orang tuaku, yang kala itu marah besar karena anaknya mundur dari puncak popularitas dan kesuksesan yang hampir saja diraihnya.

Ya, aku bisa memahami semua kebingungan mereka. Tapi aku juga tak akan bisa melanjutkan langkah ke arah yang sama sekali tak kupercaya lagi. Jika kebaikan hanya diukur dengan segaris senyuman di atas riasan cantik yang dilempar ke arah dewan juri, dan kecantikan hanya bernilai selembar pakaian dalam, maka menurutku itu sama sekali tak masuk akal. Bahkan aku merasa hanya seperti gadis murahan yang sedang ditawar untuk diperdagangkan.

Namun, alhamdulillah, berita yang kulukis hari ini adalah berita bahagia. Sebab, hari ini adalah hari pernikahanku, di mana aku mengakhiri masa lajangku. Menjalin tali suci dengan lelaki baik hati, beriman dan fakih, yang insyaallah bisa menjadi imamku, pelindungku serta anak-anakku kelak.

Ya, Allah … terima kasih Engkau telah menjawab semua doaku. Aku yang dahulu hampir saja menjual derajatku, kini telah Engkau angkat kembali bersama uluran tangan seorang adam yang telah Engkau siapkan untuk menjadi imamku. Alhamdulillah.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Mi'ratul Lailiyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Sat Set Nikah Bawa Berkah
Next
RUU KIA, Solusi atau Justru Petaka?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Yuli Juharini
Yuli Juharini
2 years ago

Aku pernah kenal keluarga yg punya anak kembar perempuan, yg satu berhijab syar'i sementara satunya lagi berpakaian seksi. Tapi yg seksi bkn miss Indonesia, tapi bekerja di kantor. Sampai hari ini blm ada perubahan, masih sama, hanya saja yg berpakaian syar'i sudah menikah.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram