"Allah pun tak harus dilihat oleh mata telanjang manusia. Cukup kebesaran Allah yang menjadi bukti bahwa Dia ada. Dia nyata. Rabb itulah yang menciptakan alam semesta, manusia, dan kehidupan."
Oleh: Choirin Fitri
NarasiPost.Com-Malam ini, netraku sulit terpejam. Meski kupaksakan, tetap tak mau terpejam barang sejenak. Ragaku rebah, tetapi angkanku melayang.
Pertanyaan demi pertanyaan dari kakak tingkat yang kutemui setelah salat Zuhur di kampus terngiang kembali. Pertanyaan itu belum pernah kutemui sebelumnya. Pertanyaan yang mendobrak imanku, yang selama ini ada.
"Kamu muslim? Kenapa muslim?"
Kujawab enteng saja, "Iya … karena orang tuaku muslim. Wajar dong, aku muslim." Ia pun tersenyum.
"Yakin, Allah Tuhanmu? Seberapa yakin?"
Kujawab dengan cengengesan pertanyaannya yang makin aneh. Sambil garuk-garuk kepala yang nggak gatal.
"Yakin, sih. Tapi nggak seratus persen. Semacam … ada keraguan. Kadang merasa emang Allah itu ada. Kadang merasa Allah itu nggak tahu ada atau enggak."
Kini aku menutup mukaku, merasa bodoh tadi memberikan jawaban semacam itu. Dan, rasanya ingin sembunyi di balik selimut agar tak ada yang tahu. Aaaaah … sebelum kulakukan, kata-kata kakak tingkatku terngiang kembali.
Ia menunjuk tempat sampah dan bertanya, siapa yang meletakkan. Lalu, berganti menunjuk tembok kampus, siapa yang mengecat. Lanjut, menunjuk karpet masjid tempat kami duduk, siapa yang membersihkan.
"Nah, pasti ada yang meletakkan tempat sampah di situ. Pasti tembok itu juga ada yang ngecat. Dan, tentunya ada yang membersihkan karpet ini. Meski kita tidak tahu siapa yang melakukannya."
"Apalagi kalau kamu bisa melihat gunung menjulang di sana. Langit biru yang membentang tanpa penyangga. Bumi yang luas tanpa batas. Pasti ada yang menciptakan. Masak iya, yang menciptakan patung?"
Pertanyaan itu berdenyut-denyut di kepalaku. Selama ini, aku tak pernah memikirkannya. Aku muslim, tahu kalau Allah yang harus kusembah. Finish.
Tapi, bertemu dengan gadis manis berkacamata nan cerdas ini, membuatku mati gaya. Aku diajaknya berpikir. Berpikir tentang Rabb, Tuhan.
"Sekarang coba, deh, telapak tangan hadapkan ke wajah! Tiup dengan kuat! Lalu, tangkap!"
Aku mencoba mengulangi apa yang disampaikannya tadi siang dengan badan terlentang. Nyatanya, udara yang kutiupkan ke tanganku tak mampu kulihat dan kutangkap.
"Ini menunjukkan bahwa yang tidak terlihat belum tentu tidak ada. Iya kan?" Wajah manisnya saat bertanya padaku berkelebat.
Aku mulai mencerna kembali caranya mengajakku memikirkan Rabb yang selama ini kuimani dengan keimanan atas nama keturunan. Ia membuatku tersadar bahwa alam semesta ini pasti ada yang menciptakan. Dan pasti penciptanya Maha Hebat, tidak diciptakan oleh yang lain, wajib adanya, dan bersifat abadi.
"Nah, yang memiliki kriteria ini hanya satu Rabb, yakni Allah Swt."
Kata-kata itu menghanyutkanku untuk mengiyakan. Tak bisa kusangkal bahwa benar hanya Allah saja yang mampu melakukannya. Manusia yang tak sempurna macam kita takkkan mampu.
Allah pun tak harus dilihat oleh mata telanjang manusia. Cukup kebesaran Allah yang menjadi bukti bahwa Dia ada. Dia nyata. Rabb itulah yang menciptakan alam semesta, manusia, dan kehidupan.
Kakak tingkatku tak hanya membiarkanku menyadari Allah sebagai pencipta. Ia pun melanjutkan mengajak nalarku berselancar memperhatikan bagian-bagian tubuh. Diawali dengan rambut.
"Bayangkan, andai bulu yang ada di kulit kita bisa tumbuh panjang. Apa kita tidak seperti monyet? Alis mata, bulu mata, dan bulu hidung, kenapa tidak bisa cepat panjang seperti rambut? Bayangkan seandainya itu terjadi, seperti apa rupa kita?"
Sungguh, aku bergidik, terhanyut pada afirmasi yang diucapkannya. Aku menjadi sadar bahwa kalau Allah tak menciptakan dan mengatur bulu atau rambut di badan ini, tentu manusia tak layak disebut manusia. Mungkin akan menjadi monster yang menakutkan.
"Buatan manusia yang remeh saja, semisal pensil kayu ada aturannya. Benda itu harus diraut. Jika tulisan pensil salah, cukup pakai penghapus karet, tak perlu Tipe-X. Apalagi ketika Allah menciptakan alam semesta, manusia, dan kehidupan, tentu ada aturannya."
"Allah itu Al-Khaliq, Pencipta. Tak cukup mencipta, tetapi Allah juga Al-Mudabbir, Pengatur."
Kutegakkan ragaku. Aku menangis, menyadari betapa selama ini imanku belumlah sempurna. Aku hanya ikut-ikutan atau sekadar menjalankan kewajiban karena terlahir dari keluarga muslim. Ada banyak hal yang tak kutahu. Bahkan, mungkin aku tak mau tahu.
"Astaghfirullah … Astaghfirullah … Astaghfirullah …" Bibir ini kubasahi dengan permohonan ampun.
Apalagi saat mengingat kembali ayat yang tadi dibacakannya, seakan terpampang di hadapan. Surat Yusuf:105-106
وَكَاَيِّنْ مِّنْ اٰيَةٍ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ يَمُرُّوْنَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُوْنَ
Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, namun mereka berpaling daripadanya.(QS.Yusuf 105 )
وَمَا يُؤْمِنُ اَكْثَرُهُمْ بِاللّٰهِ اِلَّا وَهُمْ مُّشْرِكُوْنَ
Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka mempersekutukan-Nya.(QS.Yusuf 106 )
Rasanya, ayat ini memberikan tamparan keras padaku bahwa aku tak boleh terus lalai. Aku harus bangkit untuk memahami Rabbku, memahami bahwa Dia adalah Al-Khaliq Al-Mudabbir, Pencipta dan Pengatur.
"Aturan Allah itu banyak, Dek. Kalau kamu mau, kita bisa janjian untuk mengkajinya." Senyum tulus tampak di wajah manisnya. Tadi siang aku mengacuhkan ajakannya. Kini, aku terpuruk menyesali.
Batu, 13 Juli 2021[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]