Lenyapnya Pesona Seiko

"Harta itu harus diletakkan di tangan, jangan di hati. Sementara ilmu itu harus menjadi cahaya yang terpancar dari akal dan hati. Kalian ke sini niat menuntut tsaqafah Islam. Hukumnya fardhu ain mengkaji Islam"


Oleh: Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Aku kedinginan, Ci! Ayo, tarik aku keluar dari sumur ini!"

Keringat dingin bercucuran. Wajah Uci pucat memikirkan Apay alias Afaf di dalam sumur itu. Suasana sepi semakin membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Bagaskara sayup-sayup sudah pamitan. Sinarnya kian redup menuju peraduan.

"Sabar, Pay!" Uci mencoba mencari bala bantuan.

Uci bingung mau minta bantuan pada siapa. Ke dalem Bu Nyai, bukan pilihan tepat. Rasa takut menguasai dirinya. Pondok pesantren putri sudah liburan. Hanya tinggal tiga orang saja, dirinya, Apay, dan Mbak Habiba. Kalau minta tolong Mbak Habiba juga tidak bisa. Jam segini dia pasti mengajar di ponpes dusun tetangga.

Tangan Uci gemetar. "Kriek … kriek … kriek …." Suara gerendel menambah kegugupan Uci. Sementara suara Apay sudah tak terdengar lagi. Batin Uci meronta. Dia sudah berusaha sekuat tenaga menggerek Apay dari sumur itu. Namun, tenaga tiga belas tahunnya tak cukup kuat mengangkat Apay yang lebih gempal. Apalagi, karet penggerek sumur begitu licin.

"Uciii …" suara Apay kian parau. Terdengar gigilan dalam setiap gema suara Apay. Akhirnya Uci memutuskan ke rumah tetangga lewat pintu belakang. Padahal, pintu itu merupakan pintu keramat. Barang siapa yang ketahuan membukanya, siap-siap ta'zir akan menderanya.

Gerendel yang berkarat itu sudah berpindah posisi. Sedikit lagi, pintu kayu jati berukiran Jepara akan terbuka.

"Ada apa, Ci?" Suara khas Mbak Habiba hampir membuat jantung Uci melompat keluar.

Keringat dingin berparade. Bulir bening itu meluncur dari setiap pori-pori Uci. Tanpa dikomando, semakin membasahi baju Uci. Bibirnya terkatup rapat, membuat Mbak Habiba semakin curiga.

"Kamu janjian sama ikhwan, ya?" tanya Mbak Habiba penuh selidik.

"Aku mau minta tolong Lek Sukres, Mbak. Apay di dalam sumur, Mbak!" jawab Uci terbata.

"Astaghfirullah, ayo segera bantu keluarkan!"

Mereka segera menuju sumur. Sekilas tampak raut wajah penuh tanda tanya Mbak Habiba saat netranya menangkap kesemrawutan kitchen wear. Namun, tangannya segera meraih penggerek.

"Apay, naik ke timba, silangkan kakimu agar tidak lepas. Ambil kain ini, ikatkan ke karetnya. Kamu pegang kainnya." Mbak Habiba sibuk mengomando.

"Uci, kaulilit karet yang telah kugerek sekuat mungkin ke tiang itu!" Arah tangan Mbak Habiba diikuti pandangan Uci.

"Bismillah, Allahu Akbar."

Tak sampai lima menit, Apay sudah ada di bibir sumur. Tenaga Mbak Habiba dikerahkan sekuat tenaga agar Apay tertolong dan tak perlu Lek Sukres yang menolong. Wajah Apay memutih penuh kerutan. Tangannya terlebih lagi. Dengan sigap, Mbak Habiba memapah tubuhnya yang menggigil dahsyat. Getaran badannya mengalahkan jam weker yang sedang menyala. Handuk dan pakaian ganti langsung disodorkan Mbak Habiba.

"Uci, bawa Apay ke kamarku. Aku mau buat teh panas."

Uci belum sempat menjawab, Mbak Habiba telah hilang dari pandangan. Uci mengigit bibir jeri. Dia menatap sendu sahabat barunya yang selamat dari sumur itu. Dia menatap Seiko yang telah kering di bawah taburan gemintang yang menyongsong azan Maghrib.

Lepas salat Isya, Bu Nyai memanggil tiga orang yang berkutat di sumur kala senja tadi. Hanya Mbak Habiba yang enjoy dengan suasana itu. Sementara, Uci dan Apay kikuk bukan main. Rasa takut jauh lebih mencekam saat tragedi sumur tadi. Kengerian terbayang, Uci bakal dikeluarkan dari pondok.

"Tes …." Air mata tanpa permisi jatuh di sela ruas jari Uci.

"Kenapa tadi Mbak Afaf turun ke sumur?" Pertanyaan kenapa yang sederhana mencambuk hati Uci dan Apay.

"Jam saya jatuh ke sumur, Bu Nyai. Saya minta tolong Apay untuk mengambilnya." Uci segera menjelaskan duduk perkaranya.

"Kenapa kaumau disuruh masuk sumur, Mbak Afaf?"

"Saya tidak disuruh, Bu Nyai. Saya sendiri yang inisiatif turun karena pakai magnet dari atas tak kuat untuk mencari Seiko." Apay menunduk dalam.

"Pangapunten, Bu Nyai. Saya salah, tidak izin sama ajunan terlebih dahulu untuk masuk ke sumur. Sungguh, lemah hati saya saat melihat Uci tiap malam di bibir sumur sambil mengulurkan magnet mencari Seikonya."

Penjelasan Apay semakin membuat Uci merasa bersalah, semakin besar rasa sayangnya pada Apay. Rasa syukur menyeruak di dada karena dia dipertemukan dengan sahabat yang rela bersusah payah demi dirinya. Apay tak tahu status Uci anak siapa, tetapi dia tanpa pamrih menolongnya. Sementara, selama ini banyak temannya yang perhatian karena tahu latar belakangnya.

"Kamu itu masih sama, Mbak Afaf, seperti dulu. Selalu perhatian sama teman-temanmu. Coba ceritakan, apa jamnya sudah ketemu?" Bu Nyai bertanya antusias sambil menyunggingkan senyum.

Dengan lancar, Apay merapalkan seluruh kegiatannya. Dia memulai cerita proses turun ke sumur ba'da Asar. Timba seng meluncurkan tubuhnya ke dalam sumur begitu cepat dan "byur" jatuh sempurna. Ekspedisi dimulai berbekal dua magnet di tangan. Segala alat perabot dapur dan ember ditarik Uci ke atas agar tak banyak rintangan. Hingga satu jam, Apay hanya sibuk menaikkan segala pernik barang yang menghuni sumur karena terjatuh ataupun dijatuhkan.

Baru di menit ke-78, Seiko itu menempel di magnet. Sinar hijau menyala di pinggirannya. Sementara kacanya yang buram karena uap air memantulkan sinar ungu dan biru. Segera Seiko dimasukkan ke timba dan diterima Uci dengan bahagia. Sayang sejuta sayang, susah payah Apay bergelantungan agar tak merosot. Baru jarak 100 cm, tubuhnya merosot kembali, "byur" jatuh sempurna. Tenaga Uci tak imbang dengan berat Apay.

"Alhamdulillah, kamu selamat, Mbak," Bu Nyai bersyukur.

"Sumur itu memang lama tak dikuras, sekitar 6 tahun. Terakhir dikuras tahun 95. Biar besok sekalian dikuras Pak Sukres." Bu Nyai meletakkan tasbihnya.

"Mbak Uci tahu jam itu mahal? Kenapa dibawa ke pondok? Meski itu bukan kategori emas, tetapi harganya juga menyaingi emas. Kalau Mbak Uci pulang dan balik ke pondok, jangan dibawa, ya! Harta itu harus diletakkan di tangan, jangan di hati. Sementara ilmu itu harus menjadi cahaya yang terpancar dari akal dan hati. Kalian ke sini niat menuntut tsaqafah Islam. Hukumnya fardhu ain mengkaji Islam. Jadi, tinggalkan harta berharga kalian di rumah." Bu Nyai menjelaskan dengan santun.

"Untuk Mbak Afaf, menolong itu wajib memang. Tapi harus dilihat, taawun yang bagaimana? Taawunnya harus dalam kebaikan dan ketakwaan. Meski niatnya baik, masuk ke sumur itu tidak baik, Mbak. Kenapa? Karena kalian sembunyi-sembunyi dan membahayakan diri sendiri. Allah melarang kita memahayakan diri sendiri, apalagi orang lain. Lain kali, jika ada masalah apa pun, silakan disampaikan pada saya." Petuah Bu Nyai "nyes", masuk ke hati Apay dan Uci.

Bu Nyai juga mengingatkan mereka terkait urgensi ilmu agama. Dengan ilmu Islam, manusia bisa meraih dunia sekaligus akhirat. Betapa berharganya ilmu. Bu Nyai juga meminta mereka bersabar dengan kesabaran indah dalam menuntut ilmu. Kelak, siapa saja yang bersabar menuntut ilmu, mereka tak akan menanggung beratnya kebodohan.

Bagi Uci, Seiko itu sekarang tak berarti. Lenyap sudah pesonanya. Jika jam itu hilang, masih banyak di toko, bisa dibeli lagi. Kini, Apay jauh lebih berharga. Doa yang terbaik tersemat di hatinya untuk Apay. Uci berazzam akan selalu menjadi sahabat baik Apay. Bu Nyai Hajah juga begitu bijaksana, petuahnya tak ternilai harganya. Dia bersyukur memiliki pengasuh sekaligus guru yang sabar membimbingnya.

"Berapa tadi ghanimah yang diperoleh, Mbak Habiba?" Bu Nyai berseloroh.

"Ada 26 ember kondisi bagus, 8 pecah. Ada 13 panci, sendoknya 6 lusin lebih, piring dan gelas belum dihitung." Mbak Habiba menjawab sambil tersenyum.

"Cakap juga kerjamu, Mbak Afaf."

Afaf dan Uci terkekeh mengingat kehebohan mereka mengeluarkan barang-barang itu dari dalam sumur. Pengalaman sore itu menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Uci dan Apay. Taawun yang benar sesuai nash Al-Qur'an kini mereka peroleh langsung dari Bu Nyai.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Agar Pertolongan Allah Datang
Next
Syiar Islam Tercegat PPKM Darurat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram