Belenggu Rindu

"Jika Abang memang hendak pulang, pulanglah! Tunggu aku di sana! Bawalah belenggu rinduku ke hadapan Allah. Sehingga, kita akan membukanya bersama kelak."


Oleh :Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Semoga kau tak salah memilihku sebagai suamimu." Suara Jalal terdengar serak.

Kalimat itu sempat diucapkan Jalal sebelum lelaki itu koma. Kuntum menatap wajah Jalal dalam-dalam. Dia meremas tangan suaminya lebih erat. Bulir air mata lolos tanpa hambatan. Betapa remuknya hati Kuntum mendengar suara berat Jalal.

Jalal lelaki yang baik, sulit sekali membuatnya marah. Lelaki berhidung bangir itu akan sensitif jika topik pembahasan seputar anak. Kuntum sudah mafhum. Berapa banyak anak sungai yang telah disinggahi tetesan bening suaminya itu. Sajadahnya sering kali basah karena begitu khusyuknya Jalal mengadukan kelemahannya pada Sang Khalik.

Lorong ruang ICU begitu sepi. Hawa dingin menusuk tulang-belulang. Kuntum menata hati dan jiwanya agar dikuatkan dengan ujian yang begitu besar. Semoga apa yang disampaikan musrifahnya benar. Ujian ini untuk menggugurkan dosa dan menaikkan maqomnya. Angan Kuntum berdansa dalam heningnya cipta. Aroma obat menusuk indera penciumannya. Sesekali, netranya menatap sekujur tubuh Jalal yang terbaring lemah di balik kaca itu. Sudah tiga bulan Kuntum harus bolak-balik ke ruang ICU.

Malam ini giliran Kuntum sendiri yang menjaga suaminya. Biasanya jam 21.00 WIB dia diganti sahabat-sahabat Jalal. Beruntung sekali Kuntum dan Jalal bergabung dalam jemaah dakwah yang sahih. Hubungan mereka terikat oleh akidah Islam, sehingga taawun lillah terlaksana tanpa komando. Setiap hari pasti ada yang mengantar makanan bergantian, berjaga, dan bahkan siap antre untuk ekperluan medis suaminya secara bergantian. Sampai dokter heran dengan kesolidan itu. Bahkan, dokter mengira saudara Jalal banyak.

Malam ini, bintang-gemintang bertabur dengan leluasa. Tak ada sedikit pun awan yang menghalangi. Kuntum mengerjapkan kelopak mata sambil membaca hasbalah. Angin berdesir lembut membawa ingatan Kuntum pada momen dua belas tahun silam.

"Qobiltu nikahaha watzwiyu jaha bilmadzhur 'asyara graman halan."

Kala itu, hati Kuntum diliputi rasa grogi, bahagia, malu, takut, dan senang. Semua rasa campur aduk menjadi satu. Terlebih, saat Jalal mengulurkan tangannya. Gemetar tangan Kuntum menerima uluran ikhwan yang telah sah menjadi suaminya. Kecupan hangat dan asing menyapu keningnya.

Sejak itu, bahtera rumah tangga diarungi bersama Jalal, suami tercinta. Detik demi detik tak lepas dari ingatannya. Senang, susah, suka, duka dalam simfoni keharmonisan membuat Kuntum nyaman dan terhibur. Selama dua belas tahun lebih mereka menanti momongan, tetapi Allah belum memberi mereka kesempatan, sampai Jalal terbaring koma karena kecelakaan yang menimpa.

Selain kalimat thoyyibah, Jalal hanya berbicara dua hal sebelum koma, "Aku minta maaf tidak bisa berbuat baik" atau "Semoga kau tak salah memilihku sebagai suamimu."

Apa yang dikatakan Jalal menyayat hati Kuntum dan siapa pun yang mendengar. Jalal lelaki sabar dan saleh, tak pernah bermain tangan padanya.

Setiap tahun, mereka merajut resolusi. Program hamil tak pernah libur dari deretan daftar resolusi yang terukir dalam buku sakral mereka. Penantian mereka akan kehadiran momongan tak pernah luntur. Kesabaran dan ketabahan selalu terhias dalam diri mereka. Hanya saja, Jalal agak sensitif jika ada yang komentar berlebihan. Namun, setelah itu gemuruh amarahnya akan segera reda.

Degup jantung Kuntum berpacu tatkala ingatannya tertambat pada pertemuan kajian siang tadi. Musyrifahnya menyampaikan agar dia senantiasa tabah dan ikhlash. Dia diminta mengikhlaskan suaminya juga jika Allah berkehendak lain dari harapan.

"Kita tidak tahu skenario Allah itu seperti apa. Kau dan Jalal telah berusaha di jalan taat selama ini. Aku yakin, kau pun paham setiap kita akan menjumpai malaikat maut. Orang sakit itu lebih dekat dengan kematian, maka mulailah belajar mengikhlaskan suamimu. Khawatirnya dia butuh ucapan tegas darimu, Dek."

Tak ada suara, hanya bunyi jam berdetik. Kuntum kaget dengan apa yang disampaikan Mbak Dewi. Musrifahnya itu memang selalu to the point saat memberi wejangan.

"Memang berat berpisah dengan orang yang dicintai, Dek. Apalagi dengan segala pengorbanan kalian selama ini yang begitu kompak dan harmonis. Bukan hanya urusan promil kalian kompak, bahkan dakwah pun kalian selalu kompak. Kalian selalu meluangkan waktu untuk urusan dakwah, bukan berdakwah di waktu luang." Senyum Mbak Dewi memberi aliran energi positif pada Kuntum.

"Apa pun rencana dan harapan kita, tuliskan saja, minta pada Yang Kuasa. Namun, hasilnya biar Allah saja yang menentukan. Ikhlaskanlah kondisi Jalal. Semoga masih ada harapan." Mbak Dewi menutup wejangannya.

Suara dentingan jam mengembalikan Kuntum di ruang ICU. Dia rapikan mukenah, lalu ke dokter jaga, mohon izin masuk ke ruangan Jalal. Hatinya sudah larut dalam suasana tenang. Rasa tegar sudah menyelimuti jiwanya. Apa pun yang Allah tentukan, dia rida.

"Assalamu'alaikum, Abang! Terimakasih sudah mau jadi suamiku, padahal aku bawel. Abang sangat sabar dan santun. Kasih sayang Abang manjadi belenggu rinduku saat ini. Aku bersyukur masih Allah beri kesempatan menemani Abang. Maafkan kesalahaku, ya!" Kuntum mencium punggung tangan suaminya.

"Jika Abang memang hendak pulang, pulanglah! Tunggu aku di sana! Bawalah belenggu rinduku ke hadapan Allah. Sehingga, kita akan membukanya bersama kelak."

Plong rasanya setelah menyampaikan seluruh ucapan itu. Meski tak ada reaksi dari Jalal, Kuntum sudah benar-benar legowo. Dia berharap, kelak mereka akan berada dalam satu mahligai di surga.[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Komersialisasi Vaksin, Tunda atau Batal?
Next
Kale, Ratunya Sayuran
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

seolah nyata.. sedih..

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram