Allah Pasti Menolong

Allah pasti menolong

Kematian bapak, semakin membuat aku percaya bahwa yang kita bawa setelah mati, bukan harta yang ditumpuk-tumpuk, bukan popularitas, bukan kendaraan mewah. Tapi amal, ya hanya amal saja.

Oleh. Solehah Suwandi
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Siapa yang tidak khawatir memiliki anak gadis sekolah jauh dari orang tua, dengan kondisi pergaulan remaja yang mengerikan seperti saat ini? Begitulah kira-kira perasaan ibu kepadaku. Setelah keluar dari pondok pesantren, saya diterima di universitas negeri di kota. Dengan berat hati, akhirnya ibu meridai setelah aku berjanji, jika ada pria baik yang datang melamar, maka siap menikah saat itu juga. Sebab, dari ketiga anak perempuan dalam keluarga, aku yang paling diizinkan jauh dari orang tua. Sedangkan kedua saudariku, setelah lulus sekolah langsung menikah.

Singkat cerita, di semester 5 pria yang kini menjadi ayah dari ketiga putraku datang melamar, kami menikah dengan sangat sederhana. Hanya mengundang para tetangga dan kerabat terdekat. Prinsipku, tak perlu mewah yang penting sah dan berkah.

Setelah menikah, kami harus tinggal berjauhan dulu. Sebab aku harus menyelesaikan kuliah, dan suamiku mencari nafkah. Saya pikir, jarang ada pria sepertinya, sebab meski telah menikah, ibunya masih tetap dalam tanggung jawab nafkah darinya. Alhamdulillah, aku tidak masalah dalam hal ini, walau sedikit dan harus dibagi dua.

Tipe suamiku adalah manusia yang tidak suka bekerja dan diatur orang. Sehingga sedang membuka usaha sendiri. Saat itu, dia memiliki usaha air minum asli dari mata air Gunung Rajabasa Kalianda. Tepatnya menanam modal di sana, dan dia ikut membantu dalam memasarkan produknya. Lama-lama ia merasa seperti pekerja, karena baqa-nya terusik, dia merasa seperti tak dihargai. Akhirnya memutuskan untuk keluar dan membuat usaha lain.

Apa pun dia lakukan asal halal. Bekerja mencari mitra yang bisa saling menghargai, berkali-kali membangun bisnis namun gagal dan gagal. Di sisi lain, dia harus membiayai sisa semesterku. Ditambah, aku mengandung anaknya saat semester enam. Karena setelah menikah, dia sudah tahu, tanggung jawab dan konsekuensi menikahi gadis yang masih kuliah. Akhirnya tertumpuk utang di mana-mana. Utang untuk biaya hidup juga modal usaha yang selalu gagal.

Setelah lulus kuliah, suamiku terpaksa kerja serabutan asal bisa menghasilkan uang. Sebab dua tahun pertama, usaha yang ia bangun hanya menyisakan utang, sehingga orang lain tak mempercayainya lagi. Kami terpaksa harus menumpang sana-sini demi bertahan hidup. Tidak sedikit tetangga yang mencemooh suamiku yang terlihat tidak pernah bekerja. Padahal dia selalu berusaha untuk mencari pekerjaan, hanya saja memang sulit sekali untuk mendapat pekerjaan. Sebenarnya tidak mengherankan, sebab hidup dalam sistem kapitalisme sekarang, yang kaya makin kaya yang miskin susah kaya.

Prahara rumah tangga senantiasa silih berganti menghampiri. Hidup kami terasa kacau, tak sedikit pertengkaran terjadi, rasanya sulit sekali menumpang dan masih terus berutang kepada saudara-saudara. Sampai suatu hari, aku pernah menangis di depan kedua orang tuaku. Aku mengeluh di hadapan mereka yang tak pernah membenci kami, walau selama ini merepotkan. Ayah ibuku adalah support system yang luar biasa.

“Wis, siki Koe yakin neng Gusti Allah, pasti Allah nolong Koe. Sing penting siki pada sabar. Bojomu, wis gelem usaha, inshaallah engko ketemu dalane.”

'Sekarang bersabarlah, kamu yakin percaya sama Allah Tuhanmu, pasti Allah menolongmu. Yang terpenting kamu berdua saling bersabar, suamimu sudah mau usaha, insyaallah nanti ketemu jalannya'

Begitulah kata-kata yang dihunjamkan ke dalam hatiku. Aku memegang ucapan ibu bapakku, doa dan usaha tak pernah lepas terpanjat. Kami terus melanjutkan hidup. Saat anak sudah dua, aku mengajak suami untuk keluar dan mandiri dari orang tua masing-masing. Kebetulan saya anak terakhir, dan suami juga anak terakhir.

Pertolongan Allah mulai kami sadari kehadirannya. Ya benar, baru disadari. Selama ini sebenarnya Allah telah menolong, hanya saja kita tak mensyukurinya.

Alhamdulillah ketika memutuskan untuk keluar dari rumah orang tua, kami diberikan tempat tinggal gratis, dengan syarat aku menjadi guru ngaji TPA di sana. Alhamdulillah, sembari suami terus berusaha, aku mulai fokus untuk kembali mendalami Islam dan berdakwah. Sebelumnya, lari-lari sana sini, jadwal halaqoh kadang terbengkalai, aktivitas dakwah yang harusnya terlaksana, kini mandul. Semua terasa kacau.

Sampai suatu hari, Allah benar-benar menegur hidupku yang kurang bersyukur. Setelah kami pindah di Rumah Qur’an, ujian bertubi-tubi datang. Puncaknya, anak keduaku sakit, hingga kejang berkali-kali. Di saat itu, kami tidak memiliki uang sepeser pun, bahkan bawang merah yang biasa untuk jadi bahan baluran di badan anakku yang panas, tidak ada, kondisi kami benar-benar sulit dan tidak ada saat itu. Gajian sebagai guru TPA hanya 250 ribu per bulan. Sedangkan suamiku masih kerja serabutan.

Tapi apa yang terjadi? Kami sebagai orang baru namun tetangga-tetangga datang memberikan pertolongan. Mereka datang membantu kami, ada yang membawa parutan bawang merah, membawa air ruqyah, support mereka membuatku jadi berpikir, Allah pasti menolong.

Aku begitu yakin dengan pertolongan Allah. Sampai suatu hari, kami putuskan untuk fokus pada akhirat. Yaitu halaqoh dan dakwah. Janji Allah dalam Al Qur’an surat Muhammad ayat 7, Allah sudah memberi tahu, jika mau ditolong, maka kita harus menolong agama-Nya.

Dan saat ini, agama Allah hanya menjadi identitas di KTP, pada umumnya, banyak muslim tapi otaknya sekuler, alias memisahkan agama dari kehidupan. Sejak saat itu, aku dan suami mulai memperbaiki hubungan dengan Allah, kemudian fokus menolong agama-Nya. Siapa saja yang mendahulukan akhirat, dunia pasti mengikuti. Dan selama ini, kami terlena hidup susah yang dikejar hanya dunia, jarang melibatkan Allah, jelas akhirat tertinggal jauh.

Dan masyaallah, pertolongan Allah kini benar -benar kami sadari setiap saatnya. Tepatnya, ketika kita fokus pada akhirat. Jika selama ini suami memulai usaha dengan meminjam uang pada orang lain, kali ini berangkat dari pasrah kepada Allah, hanya bermodal ‘lisan’ ia memulai usahanya. Ia mulai membangun lagi kepercayaan orang kepadanya, setelah selama ini ternilai buruk dan tidak dipercaya oleh orang lain. Bahkan kerap disindir saat sedang kajian. Aku hanya bisa menguatkan,

“Allah pasti bantu melunasi utang-utang kita, sebab kita sangat berkeinginan untuk melunasi,” ucapku kala itu.

5 tahun pernikahan, terkumpul utang hingga ratusan juta. Aku mulai membuat bagan utang seperti piramida. Kutulis utang yang paling besar di bagian paling bawah. Kemudian mengerucut ke atas, sampai hutang lima ribu rupiah pun kami tulis. (Dan mohon untuk seseorang yang misal saya memiliki utang, tapi ternyata saya lupa, mohon diingatkan).

Perlahan-lahan usaha suami semakin maju dan berkembang. Dia bergerak di usaha benur (bibit udang) saat ini. Satu persatu utang dari yang paling kecil hingga besar terlunasi. Alhamdulillah membuat aku semakin yakin, Allah Maha Membantu.

Perekonomian kami semakin membaik, Alhamdulillah bisa memberi orang tua yang cukup layak. Bahkan saat kami mengeluarkan uang untuk di jalan Allah atau bersedekah, rezeki yang kami dapatkan justru bertambah berlipat lipat. Lagi-lagi kejadian ini membuat aku semakin malu jika hanya berdiam diri di rumah dan tidak berdakwah. Apa yang bisa kami lakukan untuk memahamkan umat kepada Islam, kami berusaha untuk melakukannya.

Sampai suatu hari, kami meminta kendaraan roda empat kepada Allah. Untuk memudahkan dakwah, juga agar mudah kami bersilaturahmi ke rumah orang tua masing-masing.

Aku sangat bersyukur, dengan mudah Allah mengabulkan. Kami memiliki mobil yang memadai. Tentu, kedua orang tua kami merasa bahagia. Dan tampak sekali di mata ibu dan bapakku kegembiraan itu. Alhamdulillah anak yang dulu nangis-nangis karena kesulitan sekarang mendapatkan kemudahan. Mungkin begitulah kurang lebih yang mereka rasakan. Setiap kami bisa memberi sedikit uang untuk orang tua, doa kebahagiaan melesat bak anak panah dari lisan-lisan mulia itu. Siapa yang tidak bahagia, melihat orang tua bahagia.

Sampai suatu hari, jadwal kami berkunjung ke rumah ibu bapakku berbarengan dengan pasar dadakan. Sebab, di desaku sepekan hanya dua kali pasaran. Ibu sangat senang kami datang, sebab jika pasar, seluruh belanjaan bisa dibawa sekaligus. Kebetulan ibuku mempunyai warung kecil-kecilan di rumah. Biasanya ibu selalu diantar bapak. Menurutku, mereka sangat romantis, dengan umur yang sudah senja, ke mana-mana selalu berdua.

Saat itu, entah mengapa bapak ingin ikut ke pasar bersama kami naik mobil. Meski bapak tidak banyak bicara, tapi terlihat jelas jika bapak bahagia dengan pencapaian menantunya.

“Rama, Biyung, dongakna ya, semoga dewek isa lunga umroh taun iki,” Begitu ucapku kepada ibu bapak ketika bersalaman mau pulang. Kami di kampung hanya dua atau tiga hari. Rasanya berat sekali meninggalkan mereka.

Sepanjang jalan pulang ke kota kami tinggal, aku menangis pengin berlama-lama bersama mereka, ingin menemani masa tua mereka. Namun apa daya, kewajiban istri adalah menaati suami. Sepanjang jalan suamiku hanya diam, melihat aku yang memang cengeng.

Dua pekan setelah itu, waktu sebelum subuh kami mendapat telefon dari kampung. Bahwa bapakku kena struk. Cerita ibuku, biasanya bapak selalu bangun jam 3 dini hari. Tapi sampai jam setengah 4 bapak belum bangun-bangun. Sehingga ibu membangunkan, dan badan bapak sudah kaku separuh, tapi masih bisa berjalan untuk mandi. Hanya saja sudah tidak mau berbicara. Bersyukur anak ibuku yang lain dekat, sehingga ke dua anak laki-lakinya segera membawa bapak ke puskesmas terdekat. Sampai sana, kondisi bapak semakin parah, sehingga harus dibawa ke rumah sakit dalam waktu 1 jam.

Aku hanya bisa menangis di rumah mertuaku, saat itu kebetulan jadwal kami menginap di sana. Pagi harinya kami segera ke rumah sakit kota. Lagi-lagi aku menangis melihat tubuh manusia yang tak pernah menyakiti itu terbujur, tak berdaya. Ya Allah, bapakku, lisanmu yang biasa mendoakan kami, kini kelu akibat penyakit yang engkau derita.

2 hari di rumah sakit, bapak membaik sehingga kami memutuskan untuk membawa pulang. Kami mencari terapis terbaik untuk menerapi bapak. Selama bapak di rumah, hampir setiap hari hingga larut malam, rumah kami dipenuhi orang yang datang menjenguk.

Sekitar 6 hari di rumah, bapak tidak mau makan dan minum. Kondisi memburuk, dan semakin buruk ketika masuk ruang HCU, kemudia dirujuk ke rumah sakit besar.

Tepat setelah magrib, di hari Senin dua hari sebelum puasa Ramadan tahun ini, total selama 21 hari bapak sakit, beliau dinyatakan meninggal dunia. Hidupku seolah hancur, motivator hebatku, penggemar utama novel-novelku, kini telah kembali pada Allah. Aku kehilangan satu keramat yang doa doanya terus terpanjat untuk kami. Bapak meninggal dunia dengan jejak kebaikan-kebaikan yang diakui oleh semua orang, terutama anak-anak dan menantunya.

21 hari, beliau tidak pernah merepotkan kami, padahal kami ingin mengurusinya, tapi beliau selalu meminta kepada Allah, agar tidak menjadi beban bagi anak-anaknya. Allah mengabulkan permintaannya, kami hanya diberi waktu sepekan saat di rumah mengurusi bapak, selebihnya diurusi oleh perawat di rumah sakit.

11 hari terakhir bapak berada di ruang ICCU tidak bisa dilihat, jika aku rindu hanya mengelus dinding rumah sakit, yang di dalamnya ada tubuh bapak. Kerinduan 11 hari terobati dengan melihat jasad tanpa ruh. Wajah itu tampak bersih dan seperti orang tidur saja. “Selamat tinggal kekasih pertamaku. Sungguh setiap yang bernyawa pasti akan kembali kepada Allah.”

Kematian bapak, semakin membuat aku percaya bahwa yang kita bawa setelah mati, bukan harta yang ditumpuk-tumpuk, bukan popularitas, bukan kendaraan mewah. Tapi amal, ya hanya amal saja.

Jika sebelum meninggal, bapak benar-benar telah menyiapkan dengan sebaik-baiknya bekal. Kini saatnya kita yang hidup memikirkan bagaimana mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan abadi di akhirat. Sebab, orang cerdas menurut Rasulullah adalah, ia yang mengingat kematian dan menyiapkan bekal terbaik untuk kehidupan setelah dunia.

Dan salah satu amal terbaik dan utama adalah ikut berjuang menyongsong terterapkannya syariat Islam secara kaffah dalam bingkai negara Khilafah. Memperjuangkannya bagian dari kewajiban, tuntutan dari perintah Allah untuk masuk Islam secara menyeluruh dan Allah menyuruh kita untuk berhukum pada hukum-hukum-Nya, yang ada di Al-Qur’an dan As Sunnah. Yang mana kejayaan Islam sudah menjadi janji Allah dan Rasulullah.

Allah adalah Zat Yang Maha Baik, orang yang bermaksiat saja tetap ditolong oleh Allah, apalagi orang-orang yang berdakwah, menyeru kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran. Allah pasti membantu, menolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Wallahualam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Solehah Suwandi Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Jagalah Salatmu, Nak!
Next
Indonesia Hadapi Gelombang Panas, Siapkah?
1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Novianti
Novianti
4 months ago

MaasyaaAllah, kisah yang mengharukan tentang keyakinan, cinta, dam bakti pada orang tua. Semoga menjadi pahala jariyah buat kedua ortunya.

Last edited 4 months ago by Novianti
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram