"Rasa syukur selalu memenuhi ruang hati Burhan. Dia senang bukan kepalang saat bisa menginsafi masa lalunya. Dia kini sudah memahami makna hidupnya. Hakikat hidup yang sejati dia dapatkan dari pengajaran Datuk Sholih saat mendongeng. Dia sudah bisa merelakan kematian Alif dan bunda dari kisah-kisah ulama saleh yang dijadikan topik oleh datuk."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Awan pekat berarak dengan kompak. Suara gemuruh menyapa tiap sudut desa. Suara tukang kaba mulai melemah entah ke mana. Kesibukan dusun mulai menepi dan sunyi. Gemercik aliran sungai tak mau ketinggalan menyapa ratusan pasang telinga. Angin kian mengoyak keteguhan hati para pekerja. Pusaran lak tawon begitu panjang dan cepat, menyapu apa saja dan siapa saja yang dilewatinya. Lak tawon datang tanpa permisi lagi. Namun, kehadirannya selalu diketahui para penduduk dusun.
Sengitnya petir dan lak tawon membuat hati penduduk dusun ciut. Rombongan tukang kaba yang berteduh di gardu memamerkan wajah pucat pasi. Tubuh mereka gemetaran seirama rintik hujan yang deras menimpa tanah. Aliran air kian meninggi menyapa betis siapa saja yang berdiri. Kalimat tayyibah mengangkasa. Datuk Sholih dan timnya melangitkan doa meminta keselamatan. Suara 'kriek kriek' turut bersenandung di tengah kekhawatiran Burhan, salah satu tukang kaba.
Pusaran angin yang membubung tinggi dan semakin gendut menyeret ingatannya pada masa kelam. Masa di mana keasyikannya berdansa dengan pembangkangan terhadap bunda. Hatinya getir tatkala mengingat kematian adiknya. Burhan merasa sangat bersalah. Dia merasa dialah yang menyebabkan adiknya meninggal. Adiknya saat itu baru kelas 9, Burhan mengajaknya menjelajahi Pegunungan Argopuro untuk mendaki ke Gunung Semeru. Sayang sejuta sayang, ajal menjumpai adiknya di tengah penjelajahan. Burhan ketakutan setengah mati, bahkan dia hendak mengakhiri hidupnya juga. Namun, teman-temannya memotivasi dan membesarkan hatinya. Mereka segera mencari pertolongan dengan mendatangi pos Perhutani terdekat.
Burhan tak sanggup mengingat kala bundanya menjerit histeris melihat jenazah Alif, adiknya. Sejak itu, sang bunda seakan hidup segan mati tak mau. Bahkan, sebelum mengalami kecelakaan, bundanya masih menatap kosong dan tak mau makan. Hingga ajal menjemput bunda di hari kesepuluh kematian Alif, bunda sama sekali tak menyapanya, tatapannya selalu kosong. Nyeri sekali Burhan mengingat semua itu.
Burhan bernasib baik. Dia direkrut dan dibina oleh Datuk Sholih. Burhan tahu siapa datuk, seorang yang bersujana tinggi. Anak-anak bahagia di dekatnya, anak muda dan orang tua menaruh hormat padanya. Namun, datuk sangat santun dan sujana. Tutur katanya lembut, tak satu kata jelek pun keluar dari lisannya. Banyak orang yang meminta nasihatnya.
Burhan sangat kagum dan menaruh hormat pada datuk. Sejak kematian bundanya, Burhan luntang-lantung ke tiap-tiap dusun di kampungnya. Dia seorang pemuda yang sangat labil dan putus asa atas kematian adik dan bundanya. Perjumpaannya dengan Datuk Sholih menjadikannya seperti seorang pemuda yang baru lahir.
Lak tawon menjauh dari tempat Burhan berteduh. Lafaz hamdalah terus terucap dari lisan tukang kaba. Burhan juga berucap syukur. Namun, mereka masih terjebak hujan yang teramat lebat. Mata Burhan menerawang entah ke mana. Kerinduannya pada Alif dan bunda membuncah tiada tara. Kesadarannya sudah sempurna setelah lima belas purnama bergelut dengan duka dan penyesalan.
Rasa syukur selalu dilangitkan oleh Burhan. Dia bersyukur berjumpa orang yang saleh. Dia pun bersyukur telah direkrut menjadi salah satu tim tukang kaba. Tukang kaba bukan sebatas mata pencaharian baginya, namun lautan pengetahuan dan jalinan ukhuah yang sangat indah.
Sejak berjumpa Datuk Sholih, dia menjadi pemegang marakas. Dirinya takjub dengan Datuk Sholih dan putranya, Lora Shomad, yang memiliki segudang ide kreatif. Tak sekadar dongeng biasa, Burhan menikmati perannya sebagai pemegang marakas untuk mengimbangi tabuhan rebana saat mengiringi Datuk Sholih mendongeng. Lelaki sepuh itu begitu sujana dalam menapaki kehidupan. Wawasannya luas penuh pelajaran. Sebisa mungkin Burhan ingin mengabdi dengan baik pada datuk dan akan meneladaninya.
Rasa syukur selalu memenuhi ruang hati Burhan. Dia senang bukan kepalang saat bisa menginsafi masa lalunya. Dia kini sudah memahami makna hidupnya. Hakikat hidup yang sejati dia dapatkan dari pengajaran Datuk Sholih saat mendongeng. Dia sudah bisa merelakan kematian Alif dan bunda dari kisah-kisah ulama saleh yang dijadikan topik oleh datuk. Ada sehelai kesedihan yang bergelayut di netranya.
Dia hendak pulang untuk ziarah ke makam wanita mulia yang telah melahirkannya. Dia juga akan ziarah ke makam ayah dan adiknya. Dia telah belajar banyak dari Datuk Sholih yang sujana. Dia mengerti akhlak mulia adalah kewajiban karena Allah memerintahkannya. Meski akhlak adalah hubungan dengan diri sendiri, namun semua harus bernilai ibadah di hadapan Allah agar mendapat pahala.
Selain mendengarkan sirah nabawiah dan dongeng hikmah dari datuk yang sujana itu, Burhan rutin ikut kajian bersama Shomad. Shomad hidupnya tak kalah sederhana dan sujana dari sang ayah. Darinya, Burhan juga memahami arti berbakti pada orang tua. Tak heran, saat ingatannya pulih, asa bersua ayah dan bunda begitu besar dan kuat.
Lak tawon sudah tak tampak sama sekali. Rinai hujan juga mulai reda. Namun, rasa sedih masih menempati ruang hati Burhan yang bernostalgia dengan masa lalu yang sudah diinsafinya. Tangan kokoh menyentuh pundak Burhan. Tatapannya mentransfer energi positif agar Burhan tak selalu terpuruk dengan keadaan. Senyum merekah di wajah Burhan saat Datuk Sholih memberikan petuah tentang area yang tak bisa dikuasai seperti kematian adik dan bundanya. Burhan kembali memupuk rasa syukur dan ikhlas agar mampu menapaki kehidupan sesuai aturan agama yang telah dianutnya sejak lahir ke dunia, Islam. Dia berjanji akan hidup dengan membaktikan diri pada orang tuanya, terutama pada bunda dengan jalan mengkaji, menerapkan, dan mendakwahkan Islam secara kafah.