Ruang Rindu

"Meski sering larut dengan kenangan pahit masa lalu, dia tak berputus asa dalam mengharap rahmat Allah. Rasa rindu yang sering menyeruak di dada, dia redam dengan tilawah Al-Quran atau ikut kajian."


Oleh : Afiyah Rasyad
( Kontributor NarasiPost.Com )

NarasiPost.Com-Duhai, indah nian pelangi yang terukir di ujung timur, mengantar matahari ke peraduannya. Lisan secara otomatis menderas kalimat thoyyibah dengan fasih. Hati diselimuti rasa senang tiada terkira. Fenomena langka itu bisa disaksikan dengan netra telanjang di hamparan langit yang luas.

Tetesan air dari langit kiranya masih enggan menemani lalu lalang orang yang sedang perjalanan. Namun, Meza begitu menikmati bayang-bayang roda yang terus berputar. Netranya tak lepas dari pelangi yang telah melengkung sempurna. Sudah berapa tahun tak melihat pelangi, kini hampir lima belas menit perjalanannya ditemani warna-warna cantik di balik rinai. Sesekali dia menanggapi obrolan Amol.

Lolongan sirine pabrik kayu telah terdengar. Pasukan berseragam coklat seperti pramuka berhamburan memadati jalan raya. Amol mengurangi laju kuda besinya. Sementara Meza duduk gelisah sambil menatap pabrik kayu. Di belakang pabrik itu pelangi terhampar, entah masih ada atau tidak.

"Ada apa?" Amol penasaran dengan Meza.

"Oh, macet. Pelanginya keburu pergi."

"He-um."

Amol kembali fokus menatap ke depan. Kelihaiannya meliuk di antara dereran kendaraan lainnya tak perlu diragukan lagi. Tanpa bunyi klakson dia bisa segera meninggalkan pabrik kayu beberapa ratus meter di belakang. Amol menepi di bawah pohon akasia, membiarkan Meza puas memandang pelangi yang mulai pudar.

Angan Meza direngkuh masa lalu. Ada rasa sakit yang menyelinap di relung hati yang terdalam. Kelopak matanya melebar. Memorinya menghadirkan momen saat Daddy dan kawannya dibekuk polisi Portugal. Masa remajanya suram, sangat suram. Usia sebelas tahun dia sudah dijadikan agen kriminal kelas kakap oleh ayah biologisnya yang lebih cocok jadi kakaknya. Sejak Grandma meninggal, dia ke Portugal ikut Daddy, panggilannya pada sang ayah.

Tak perlu waktu lama, Meza begitu mudah menyalin semua strategi dan taktik mengelabuhi petugas formal saat bertransaksi barang haram. Daddy menjadi cermin yang terpampang di masa belianya. Hidupnya berlumur keharaman. Beruntung dia bisa kabur dari polisi Portugal yang berhasil menangkap sindikat bandar narkoba di sana. Saat itu, ia hendak turun dari taksi saat melihat Daddy sudah dibekuk polisi di salah satu kapal pesiar miliknya.

Tanpa pikir panjang, Meza minta putar balik ke arah bandara. Akalnya masih berfungsi dengan baik. Tak mungkin dia berkeliaran di sekitar dermaga yang dijejeri police line. Dia segera membeli tiket ke Indonesia menggunakan visa dan paspor rekan Daddy yang tadi dia ambil di hotel karena tertinggal sebelum rencana pelayaran itu. Nasib baik mengiringinya. Saat itu ada penerbangan tercepat ke Jakarta. Lima belas menit kemudian dia sudah terbang dengan nama passanger Ahmad Wildan.

"Sudah lihat pelanginya?"

Amol sudah ada di samping Meza, mengembalikan kesadarannya. Mata birunya tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang kembali mendera. Dia menyisir rambut pirangnya yang sejak tadi disapa angin.

"Jika ingin berbagi, bagilah!" senyum Amol membius Meza.

Tanpa sungkan, Meza mengisahkan apa yang baru saja ia kenang. Ia pun menuturkan kerinduannya pada Daddy. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar.

"I miss him, bagaimanapun dia ayahku. Tujuh belas tahun aku bersamanya. Usia kami hanya terpaut lima belas tahun. Namun, kelam sekali kenangan kami."

Amol memperhatikan Meza dengan seksama. Dia tak menyangka bahwa Meza bukan kerabat Ustadz Wildan.

"Lalu, kamu bisa bertemu Ustaz Wildan bagaimana? Bukan Ustaz Wildan kan rekan Daddymu?"

"Iya beliau. Saat itu beliau tidak sedang di dermaga. Beliau ada di kedutaan sedang ceramah. Meskipun Daddy penjahat, Daddy sangat menghargai tokoh-tokoh agama, termasuk Ustaz Wildan yang beragama Islam. Selama di Portugal, Daddy dan aku menemani Ustaz Wildan di hotel. Saat beliau ceramah, Daddy pun ada transaksi. Aku di hotel. Ustaz meminta Daddy mengambilkan passpor dan visanya yang tertinggal, maka aku yang di hotel membawakannya pada Daddy."

Meza menatap sekeliling yang mulai gelap. Pandangan Amol mengekor netra Meza.

"Naas, saat taksiku tiba di gerbang dermaga, aku lihat Daddy ditangkap polisi. Sopir taksi menawarkanku putar balik karena tidak masuk dermaga. Maka, aku langsung setuju dan memintanya ke bandara. Setiba di Indonesia, aku ke alamat di paspor itu, ke pondok dan bilang bahwa aku kerabat Ustaz Wildan dari portugal."

"Ya Allah, tenang sekali kau, Sobat!" Amol kagum.

"Aku sering dihantui rasa takut karena dosaku dulu. Beruntung Ustaz Wildan tak dendam padaku. Malah aku diajak tinggal di pondok. Beliau urus semua berkas data diriku di kedutaan hingga akhirnya menjadi penduduk asli negeri ini."

Meza menjadi muallaf setelah tiga bulan menetap di pondok Ustaz Wildan. Meza, pemuda yang cerdas dan open minded. Dia bisa menerima dan menguasai ilmu pesantren dengan cepat. Pemikirannya mampu mengalahkan teman sebayanya yang sudah menjadi muslim sejak lahir. Meza bersungguh-sungguh mengkaji Islam pada para ustaz di pondok. Dia ikut berdakwah ke masyarakat luas bukan semata karena program pondok, akan tetapi dia laksanakan dengan sepenuh hati demi meraih rida Allah.

Meza tak ingin kaum muslim terlarut dalam arus kapitalisme global. Dia memahami bahwa problematika kehidupan terjadi karena menjauhi tuntunan syariat Islam. Dia berdakwah tak kenal lelah dan terus berjuang menegakkan Islam kafah untuk melanjutkan kehidupan Islam.

Keyakinannya begitu kuat bahwa Islam adalah solusi semua persoalan. Meza menjadi sosok disegani dan paling banyak diminati. Meski sering larut dengan kenangan pahit masa lalu, dia tak berputus asa dalam mengharap rahmat Allah. Rasa rindu yang sering menyeruak di dada, dia redam dengan tilawah Al-Quran atau ikut kajian.

Amol dan Meza menunaikan salat Maghrib. Pelangi itu sudah lama hilang dari pandangan, tatkala Meza menuturkan kisahnya pada Amol. Pelangi itu semakin melebarkan ruang rindu di hatinya pada Daddy. Harapannya makin besar dan berlipat. Dia berharap Daddy juga masuk Islam suatu saat.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Palestina Kita, Tanggung Jawab Kita
Next
Berkecukupan atau Bersabar, Mana yang Lebih Baik?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram