"Mawar, Lilis, dan Sonia menganggukkan kepala kompak. Terjawab sudah pertanyaan Lilis dan Mawar atas perubahan Sonia yang jadi agak pendiam dan suka cemberut. Ternyata sisir kirmizi penyebabnya."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dersik angin membelai keheningan di ruang berukuran enam kali delapan meter persegi. Cahaya sang surya menerobos di antara celah kawat di jendela kamar berwarna peach. Tiga pasang mata sibuk memindai lafaz-lafaz dalam kitab. Sementara tangan kanan mereka lincah menari-nari dengan pensil yang kian memendek. Keseriusan membingkai wajah imut mereka.
Tugas berdatangan dengan mesra dan tanpa jeda. Belaian angin bermain dengan tetes keringat dingin yang keluar dari pori-pori tubuh mereka. Tiga gadis memamerkan wajah serius dan bingung tanpa diminta. Hal itu menjadi pertanda bahwa tugas yang dihadapinya tak bisa selesai dengan dua kali kerlingan mata.
Begitulah hidup di pesantren, jauh dari orang tua. Segala tugas harus diperlakukan secara mesra tanpa bantuan siapa pun. Embusan napas berat terdengar. Sonia merapikan kerudungnya yang sudah mencong empat puluh lima derajat. Voal segi empat yang membingkai wajah ovalnya sudah tak karuan.
Lilis dan Mawar menatap Sonia bersamaan, tampak cemberut dan kacau. Terlukis wajah putus asa. Hamparan kejengkelan tampak pada kerutan di antara alis yang seperti semut berbaris. Pandangan Mawar menangkap kertas yang tak kalah kusut dari wajah dan kerudung yang dikenakan Sonia.
"Minum dulu, Nia. Biar agak tenang," saran Lilis.
Sonia bergeming dengan suara-suara di sekitar. Sementara bola-bola kertas sudah semakin menggunung di mangkok bekas mi instan yang telah tandas. Tangan kanannya lincah menyusun huruf hijaiah dari kanan ke kiri. Mawar dan Lilis kembali menyelesaikan tugasnya masing-masing saat melihat Sonia tak ingin diganggu.
Sonia, Mawar, dan Lilis berusaha menyelesaikan tugas lebih awal sebab mereka punya jadwal mencuci, menjemur, menyetrika, dan merapikan baju-baju Gus Ilyas dan keluarga. Mereka memiliki segudang kegiatan yang luar biasa. Selain tahfiz, murajaah, sekolah, mengaji, dan aktivitas pondok lainnya, mereka harus membantu dalem Gus. Seperti tadi, mereka harus segera menyetrika dan melipat jemuran sebelum menyelesaikan tugas dari Ustazah Faza.
"Ting … ting …," jam berdenting dua kali. Lafaz hamdalah keluar dari lisan Mawar dan Lilis. Sementara Sonia merapikan kitab dan bukunya dengan bergegas. Sesaat lagi, mereka akan mengaji dengan Mbak Key. Ada sedikit binar yang terpancar dari manik-manik Sonia. Rasa bahagia bergelantungan di dalam dadanya. Mawar dan Lilis hanya mampu diam saat menyaksikan perubahan sahabat mereka yang ekspresif itu. Mereka semua bahagia jika tiba waktu kajian rutin sepekan sekali dengan Mbak Key.
Dengan Mbak Key atau musrifah yang lain, mereka merasa lebih hidup. Setiap pemikiran dan perasaan tercampur dan terkombinasi dengan pas dalam timbangan syariat Islam. Mereka bisa memahami lezatnya keimanan meski butuh banyak perjuangan dalam melewati onak dan duri. Mereka senantiasa berupaya melibatkan Allah dalam segala aktivitasnya.
Pemikiran dan kecenderungan perasaan yang berkolaborasi dalam timbangan syariat Islam berbuah kepribadian istimewa. Begitulah mereka mengaji Islam untuk membentuk pola pikir dan pola sikap islami. Maka dari itu, semangat membara selalu berkobar untuk mengikuti kajian rutin pekanan bersama Mbak Key. Dari forum itu, mereka bisa belajar Islam secara kaffah. Mulai urusan bangun tidur hingga bangun negara harus idrak sillah billah, yakni menyadari hubungan hamba dengan Allah. Selain itu, mereka bisa curhat segala hal.
Rasa kangen kepada seorang ibu sedikit terobati saat bersua Mbak Key. Dia mengajarkan banyak hal pada mereka. Bagaimana seorang anak harus berbakti pada orang tua meski jauh di mata, bagaimana adab santri pada keluarga Gus, bagaimana adab dalam menuntut ilmu, adab pada Al-Qur'an, adab berteman, sampai adab berdakwah. Nasihat dan wejangannya selalu menenteramkan hati ketiga dara ini. Setiap ada permasalahan, apakah itu pribadi, keluarga, atau apa pun, maka Mbak Key akan menyarankan untuk menyelesaikannya sesuai syariat Islam.
Salam Mbak Key sudah menyapa teman-teman mereka di depan. Suara khas sang musrifah begitu akrab di telinga mereka. Sambutan hangat penuh sukacita digelar untuk musrifah tercinta. Tak ada lagi wajah kusut dan berkerut. Pekan ini, Mbak Key membahas seputar hubungan manusia dengan manusia yang lain, yakni ibadah pada dimensi hablum minannas.
"Banyak hal yang harus kita perhatikan, lo. Meski dalam pendidikan kita boleh berinteraksi dengan lawan jenis, misal kiai, gus, atau ustaz, tetap seorang muslimah harus menjaga ifah. Masih ingat 'kan? Apa saja tuh? Coba sebutkan!" kata Mbak Key menghidupkan suasana.
"Tetap ghodul basar," jawab Mawar.
"Tidak khalwat dan tidak tabaruj," Sisil menimpali.
"Hmm … aku tahu. Jangan mendayu-dayu kalau ngomong, sok manja gitu," Sonia berpendapat.
"Betul semua, kalian memang cerdas. Selain itu, tidak berbicara berlebihan, seperlunya saja. Misal, ustaz suka warna apa? Tanggal lahirnya berapa? Boleh sebenarnya mencari informasi untuk kenal dengan beliau or keluarga beliau. E … tetapi, 'kan bisa tanya sama ibu pengasuh. Hehe," ucap Mbak Key disambut tawa.
"Kalau misal pinjam barang pada teman laki-laki atau ustaz boleh gak, Mbak?" tanya Sonia dengan raut wajah yang sedikit takut.
"Hayo, Sonia pinjem barangnya siapa?" Goda Mbak Key.
Pertanyaan Mbak Key sontak membuat Sonia salah tingkah. Mbak Key menangkap sikap kikuk yang datang tiba-tiba pada Sonia.
"Boleh saja, sih. Tetapi hati-hati modus. Hahaha," Mbak Key berseloroh menutupi kekikukan Sonia.
"Modus bagaimana, Mbak?" Mawar hendak mengurai kebingungannya.
"Ya, bisa aja pinjam ini itu pada ikhwan atau akhwat untuk cari perhatian. Sebenarnya kalau kita butuh sesuatu yang tidak kita miliki, bisa pinjam pada teman akhwat dulu. Jika tidak mendesak, ya ditahan saja dulu. Baru kalau benar-benar tidak ada yang punya di kalangan akhwat, ya bisa pinjam ke ikhwan. Untuk hati-hati, lebih baik pinjamnya mungkin bisa minta tolong ibu pengasuh agar terjaga pergaulan kita."
Mbak Key menjelaskan panjang lebar. Di akhir penjelasannya, sepucuk kertas terlipat kecil diterimanya. Senyum Mbak Key memudar saat membaca surat itu. Tak terasa waktu seratus dua puluh menit berlalu dengan sangat cepat. Forum ditutup dengan istigfar dan doa akhir majelis. Mbak Key mengucapkan salam dan memeluk ketiga santrinya itu dengan penuh kasih sayang.
"Sonia, siapa yang pinjam sesuatu? Pinjam apa?" Pertanyaan Mbak Key menahan Sonia untuk menyusul Mawar dan Lilis ke kamar.
"Apa yang dipinjam? Dan siapa yang meminjamnya?" Mbak Key berusaha mengurai surat dari Sonia yang bertanya tentang apa hukumnya ketika ada ikhwan yang pinjam barang akhwat.
Manik bulat berwarna cokelat kekuningan itu sedikit berputar. Lantunan istigfar terlontar secara beruntun dari lisan Mbak Key saat tahu Gus Ilyas yang meminjam sisir milik Sonia. Beragam tanya menari-nari dalam benak Mbak Key. "Untuk apa dan kenapa pinjam pada santri?" Pertanyaan itu mewakili sejumlah pertanyaan lainnya. Lilis dan Mawar saling berpandangan saat tahu apa yang terjadi dengan Sonia.
"Kalian sedang apa?" tanya Mbak Key yang menyadari ada Mawar dan Lilis.
Keterkejutan yang belum usai bertambah dengan pertanyaan Mbak Key yang tiba-tiba. Mereka menjelaskan dengan gugup bahwa mereka tidak berniat menguping. Mereka hendak memanggil Mbak Key yang dipanggil Neng Zalfa.
"Kalian harus berhati-hati terkait urusan pinjam meminjam apalagi dengan lawan jenis sekalipun ustaz atau gus. Hukumnya boleh saja meminjami barang pada ikhwan, tetapi bisa lewat mahramnya jika tak ada yang punya sama sekali kecuali orang itu yang bisa dipinjam. Gus juga manusia biasa yang bisa melakukan kekeliruan. Jadi, bilang saja sisir ini milik pribadi, tak untuk dipinjami. Jangan takut untuk menolak permintaan gus jika itu tidak lazim. Tentu saja penyampaiannya harus ahsan alias sopan. Kalau tak bisa langsung menyampaikan pada gus, bisa sampaikan ke neng," Mbak Key menjelaskan.
Mawar, Lilis, dan Sonia menganggukkan kepala kompak. Terjawab sudah pertanyaan Lilis dan Mawar atas perubahan Sonia yang jadi agak pendiam dan suka cemberut. Ternyata sisir kirmizi penyebabnya. Memang beberapa terakhir, Mawar dan Lilis tak pernah lagi menyaksikan Sonia menyisir rambutnya dengan sisir kirmizi kesayangannya selepas tahajud.
"Duh, Gus Ilyas ada-ada saja," Komentar Mawar disambut anggukan kedua sahabatnya. Mbak Key pamit. Kepergiannya diantar dengan kerinduan pada setiap langkah yang dilewatinya. []