"Napas Saripah pun tercekat kala mendengar luapan hati putranya. Wanita itu menjadi dilema. Di satu sisi, ia ingin agar Yatno tumbuh menjadi anak yang pintar tak buta aksara seperti dirinya. Akan tetapi, ia juga masih memilih keselamatan akidah sang putra. Apalah arti sebuah pendidikan jika harus membuat murtad dari keyakinan. Bukankah harusnya dengan pendidikan seseorang bisa lebih dekat dengan Rabb-nya?"
Oleh. Rosmiati, S.Si.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Yatno! Mengapa pulang lebih awal, Nak?!" Teriak Saripah dari balik rimbunnya tanaman hijau tempat ia menggantungkan penghidupan. Wanita itu tak menyangka Yatno putra semata wayangnya pulang lebih awal dari sekolah.
"Yatno!" Saripah kembali memanggil putranya. Sayang, Yatno berlari sekuat tenaga. Anak lelaki yang tak memiliki alas di kakinya itu tak menghiraukan panggilan sang bunda. Kerikil-kerikil yang menusuk telapak, seolah tak lagi dihiraukannya.
Saripah yang saat itu sedang lihai memainkan tangannya menebas pohon demi pohon tebu segera menyudahi pekerjaannya. Wanita itu pun sekonyong-konyong menarik kain batik yang menutup pinggang hingga mata kakinya. Lalu, berjalan dengan terburu-buru menyusul putranya. Hatinya menjadi tak tenang sebab semua berlaku tak seperti biasanya.
Namun, baru beberapa meter berjalan, seseorang yang ditugaskan mengawasi mereka menghentikan langkahnya.
"Hei! Mau ke mana kamu?! Pekerjaanmu belum selesai! Kembali atau saya laporkan kepada tuan besar?" ancam salah seorang mandor perkebunan.
Langkah Saripah terhenti. Hampir saja tubuh yang ringkih itu ambruk ke ladang karena saking kagetnya. Ibu Yatno itu membalikkan badannya. Ia tak sadar kalau di sana telah berdiri seorang mandor perkebunan dengan sorot mata yang tajam.
Saripah menelan air liurnya. Ia sadar bahwa tak ada yang bisa melawan sosok yang saat itu menghentikannya. Pun di samping itu, wanita yang kini sudah tak bersuami itu takut bila Tuan Hendrick sang pemilik perkebunan marah kepadanya. Bisa-bisa upahnya yang sudah tak seberapa itu dipotong lagi. Jika hal itu terjadi, maka dari mana ia dan Yatno dapat bertahan hidup.
Saripah pun memilih menyurutkan niatnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia pun hanya bisa memandangi Yatno yang bersedih dari kejauhan.
"Kalau kerja jangan bawa anak! Biar bisa fokus!" Kecam sang mandor. Kali ini ia berada tepat di samping Saripah. Tetapi, Saripah tak menghiraukan.
Sang mandor yang tak terima dicueki kembali melancarkan aksinya, "Anakmu menangis pulang sekolah, mungkin saja diusir sama gurunya karena saat ini yang bisa belajar di sekolah Belanda hanyalah orang bangsawan dan mereka yang berpangkat. Punya jabatan seperti saya ini. Hanya anak babu kok mimpi mau sekolah! Makan saja susah! Cuih!" hardik lelaki yang dahulu rekan baik ayah Yatno itu.
Saripah tak bergeming walau ucapan itu bagai sayatan pisau yang terus mengiris-iris lubuk hatinya. Sepasang bibirnya berniat membalas, tetapi keluh karena sadar siapa dirinya.
Kaum papah itu semakin menunduk. Tak ayal, sepatah kata pun tak keluar dari lisannya. Lagi-lagi wanita itu tak bisa melawan. Sang mandor pun nyerocos tiada henti. Ia terus menghina dan memojokkan janda miskin beranak satu itu.
Setelah puas menghina, mandor yang kini sudah menjadi kawan setia pengusaha Belanda itu bergegas ke pekerja lainnya. Ia pun meninggalkan Saripah dengan membawa wajah marah dan kesal.
Melihat sosok mandor sombong pergi, Saripah mengangkat wajahnya. Ia sapu bulir bening yang jatuh dari kedua sudut netranya.
"Pah, yang sabar, yo. Tak usah diambil hati ucapan Pak Karto. Dia bagai kacang lupa kulitnya. Banyak berubah ketika menjadi pegawai di perkebunan Belanda. Lidahnya kerap menghina. Padahal, dahulu … kehidupan kita sama susahnya," ujar Mbah Sunem menguatkan Saripah. Nenek tua itu mendekati Saripah kala sang mandor telah menjauh pergi.
"Nggeh, Mbah. Sedikit pun saya tak tersinggung sebab demikianlah adanya hidup kami. Saya sebenarnya tak yakin bisa sekolahkan Yatno, hanya anak itu ngotot ingin bersekolah."
"Ya, dituruti aja, Pah. Niat sekolah 'kan mulia. Apalagi kita sekarang diperbudak penjajah. Semoga kelak anak cucu kita tak lagi merasakan sulitnya hidup yang kita rasakan kini," ucap Mbah Sunem mengenang getirnya hidup yang mereka lalui sedari kecil.
Sementara itu, semilir angin yang berembus terus mengibaskan kain penutup kepala mereka.
Saripah merekatkan bibirnya sembari memandang anaknya dari kejauhan, wanita yang sudah menjanda beberapa tahun itu berusaha menahan bulir bening agar tak gugur dari kedua sudut bola matanya.
"Ayo, kerja lagi, Mbah. Takut dimarahi sama mandor," ajak Saripah tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.
~~~~~~~
"Nurtini, Ayahmu hebat, ya, bisa kerja di perkebunan milik orang Belanda," seru Sutina
"Iya, berarti uang orang tuamu sudah banyak dong?" sela Mariana. Anak pekerja yang berkawan baik dengan Nurtini.
"Wah, hebat. Berarti kamu bisa melanjutkan sekolah ke Negeri Belanda bersama Nyonya Maria tadi," sambung Sutina.
"Tentu dong teman-teman. Saya akan menjadi orang pertama dari desa kita yang akan belajar ke luar negeri," jawab Nurtini bangga.
"Iya, hebat kamu Tini."
"Eh, coba lihat itu 'kan Yatno, anak miskin yang sok-sokan mau sekolah di Belanda. Mimpi!"
"Lha, kenapa Tin. 'Kan semua orang punya kesempatan."
"Sutina, kamu tidak lihat apa, ibunya Yatno itu pekerja kasar di perkebunan ini. Itu… yang itu…" tunjuk Nurtini pada Saripah.
Saripah yang berdiri tak jauh dari anak-anak itu melempar senyuman hangat kepada mereka. Ia benar-benar tak tahu jika mereka sedang membicarakan hal buruk tentangnya.
Sutina dan rekannya terdiam. Mereka tentu tak bisa melawan apa kata Nurtini. Sahabat mereka yang satu itu memang kerap berbicara tinggi. Dan maunya menang sendiri. Semua itu berlaku sejak sang Ayah dekat dengan tuan dari Negeri Belanda.
Dari sana Nurtini dan keluarganya berubah. Mereka menjadi sombong dan kerap membanggakan diri. Padahal sebelumnya, kehidupan mereka semua sama saja. Demikianlah manusia, saat di atas mereka berubah menjadi sombong dan angkuh. Padahal, apa yang dimiliki hanya sebatas titipan semata.
~~~~~~
Saripah, Mbah Sunem, dan semua pekerja lainnya terus merogoh keringat di bawah terik mentari. Tubuh-tubuh ringkih itu terus berpacu, hingga tak sadar, siang yang panjang di perkebunan itu pun berlalu.
Para pekerja kembali ke rumah masing-masing. Malam yang panjang itu digunakan untuk melepas penat karena seharian badan nyaris tak diberi hak untuk beristirahat.
Ya, selesai kontak fisik tak lantas membawa nasib warga berubah ke arah yang lebih baik. Yang ada mereka justru masuk ke arah gaya penjajahan baru. Pemerintah Hindia-Belanda kembali menjalankan bisnis kapitalisnya dalam balutan kebijakan politik balas budi (etis).
Memang pemerintah Hindia giat membangun sekolah, irigasi, pabrik, dan lainnya. Hanya saja siapa yang tahu, jika itu hanya topeng semata. Visi penjajahan ada bersamanya. Misalnya saja, rakyat memang dipekerjakan pada pabrik-pabrik milik pengusaha Belanda, tetapi mereka tak diberi upah yang layak.
Adapun di bidang pertanian, rakyat tak leluasa dan menjadi penguasa sepenuhnya atas tanah mereka. Faktanya, mereka diatur agar beberapa bagian dari lahan yang mereka miliki ditanami tanaman pesanan pemerintah kolonial. Yang mana kesemuanya sangat-sangat merugikan rakyat pribumi.
~~~~~~
Dan malam itu, di saat penduduk desa dekat lokasi perkebunan tebu telah terlelap. Saripah belum jua menutup mata. Ia masih saja terbayang Yatno. Karena tak tenang, ia langsung menyambangi anaknya yang juga masih belum terlelap.
"No, ada apa? Adakah gerangan yang mengganggumu di sekolah?" tanya Saripah memecah keheningan malam.
Yatno menoleh dipandangnya wajah sang ibu. "Tidak, Bu?" jawab Yatno.
"Lantas, apa yang membuatmu bersedih?"
"Saya tak mau bersekolah lagi, Bu!"
"Kenapa?!" tanya Saripah heran.
"Di sekolah kami diajarkan keyakinan agama lain, Bu. Jadi, biarlah Yatno bantu Ibu di perkebunan saja daripada sekolah tapi konsekuensinya akidah tergadaikan," ketus Yatno dengan bola matanya berkaca-kaca.
Bagaimanapun jua, besar nian hatinya ingin bersekolah agar kelak ia tak seperti orang tuanya menjadi orang suruhan tuan Belanda. Sebagaimana sang ibu dan ayahnya, sampai jatuh sakit dan meninggal akibat bekerja di bawah tekanan para kapitalis Belanda.
Napas Saripah pun tercekat kala mendengar luapan hati putranya. Wanita itu menjadi dilema. Di satu sisi, ia ingin agar Yatno tumbuh menjadi anak yang pintar tak buta aksara seperti dirinya. Akan tetapi, ia juga masih memilih keselamatan akidah sang putra. Apalah arti sebuah pendidikan jika harus membuat murtad dari keyakinan. Bukankah harusnya dengan pendidikan seseorang bisa lebih dekat dengan Rabb-nya?
Saripah masih tak bergeming. Sementara bulir bening terus menganak sungai di sudut bola matanya.
~~~~~~
Saat itu, bersamaan dengan lahirnya politik etis, pemerintah Hindia-Belanda memang getol membangun sekolah bagi rakyat pribumi. Hanya saja, ada sekolah-sekolah yang sengaja menjadi lahan penyebaran agama tertentu.
Beruntung Yatno telah memiliki maklumat terkait agenda yang memboncengi aktivitas kolonial di Nusantara, yakni hendak menjadikan Nusantara sebagai pusat pengajaran Kristus sebagaimana di negeri-negeri muslim yang telah takluk di bawah penjajah Barat. Akibatnya, ramai kaum misionaris yang telah menamatkan pendidikan di Leiden, dikirim ke Nusantara. Dan di Nusantara mereka memanfaatkan sekolah sebagai salah satu pusat penyebaran misi zending (kristenisasi) tersebut.
Dan hari itu Yatno mendengar langsung pembicaraan gurunya dengan Nyonya Maria bahwa dirinya menjadi target salah satu anak yang direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda.
Di sana, para anak pribumi itu akan dicekoki dengan gaya dan cara berpikir Barat yang cenderung liberal. Dengan harapan tertingginya, mereka akan kembali ke Nusantara dengan membawa cara berpikir Barat. Lalu, menyebarkannya kepada generasi pribumi lainnya.
Mendengar hal itu, Yatno tak menunggu lama. Ia langsung mencari jalan agar kabur dari sekolah.
Saripah pun memandang dalam-dalam wajah putranya. Besar nian harapannya agar Yatno menjadi pemutus rantai kebodohan di keluarganya. Namun, lagi-lagi ia juga tak mau, bila kelak Yatno menjadi jauh dari agama.
"Ibu serahkan padamu, No. Semoga masih terbuka jalan lain buat kita."
"Iya, Bu. Besok saya akan temui Kiai Mahmud. Saya pernah dengar Kiai berkata, kalau di kampungnya ada sekolah yang diasuh langsung oleh orang pribumi. Di sana para siswa diajar menulis dan membaca seperlunya. Jika Ibu merestui, Yatno akan belajar ke sana."
"Tentu, No. Tentu Ibu merestui. Tidurlah, hari sudah malam. Besok kita pergi temui Kiai Mahmud."
"Sungguh, Bu? Ibu sedang tidak bercanda?"
Saripah menggeleng kepalanya, "Tidak, Nak. Ibu sedang tidak bercanda. Semoga jalan-jalan baikmu terbuka."
"Aamiin," seru Yatno.
Ibu dan anak itupun mengakhiri perbincangan. Keduanya kembali ke bilik kamar masing-masing.
~~~~~
Malam pun berlalu dalam balutan asa kedua ibu dan anak yang sedang meniti kehidupan di era yang menggigit. Dan kini subuh telah menyapa, fajar yang dinanti telah tiba.
Yatno membuka pintu. Daun pintu yang terbuat dari anyaman bambu itu ditariknya perlahan. Sementara Saripah memperhatikan dari belakang. Esok, ia tak akan melihat punggung sang putra lagi, sebab ia akan menitipkannya pada salah satu kiai.
Yatno akan tinggal di sana membantu segala keperluan sang kiai dengan imbalan, ia akan diberi kemudahan belajar dan menuntut ilmu di pesantren. Rencana untuk belajar di salah satu lembaga milik pribumi akan ia lakukan setelah selesai belajar di pesantren sang kiai.[]