"Mas Nafis meraih tangan Shafa, "Terima kasih sudah mau menerima Mas menjadi suami kamu. Kita pasti bisa berjalan bahkan berlari bersama-sama."
Oleh. Ghumaisha Gaza
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Mas Nafis demam, Fa! Umi sama Abi terpaksa masuk ke kamar karena khawatir, tidak ada jawaban setelah beberapa kali dipanggil dan diketuk. Mas Nafis tidak terlihat salat berjemaah Subuh ke masjid. Bahkan sejak kemarin sore Umi baru sadar Mas Nafis tidak tampak keluar kamar. Saat kita lihat, Mas Nafis ternyata sedang berbaring. Wajahnya pucat, badannya panas sekali, sempat mengigau memanggil nama kamu, bahkan sempat terdengar ingin dibawakan minum. Umi juga sudah bawakan makan, tapi entah karena canggung atau tidak nafsu makan, hanya bisa makan beberapa suap. Bilangnya sudah cukup, tidak apa-apa dan perlu istirahat saja, tapi Umi sangat khawatir melihatnya, Fa."
Shafa merasa langkahnya begitu berat padahal ia ingin segera menuju kamarnya yang telah ia tinggalkan selama tiga malam. Sesekali tangan kanannya tampak menghapus air mata yang tak mampu dibendungnya lagi. Sementara tangan kirinya memegang sebuah jam tangan berwarna cokelat yang membuat hatinya merasa semakin bersalah.
"Maafkan aku Mas, maafkan!" bisiknya lirih. Sementara nasihat uminya pun terus terngiang-ngiang dalam benaknya.
"Rasulullah bahkan pernah bersabda, Fa! Seandainya aku boleh menyuruh seorang manusia sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang perempuan sujud kepada suaminya."
"Apa yang membuat kamu kesal dan tega meninggalkannya? Kalaulah Mas Nafis banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan duduk di hadapan kitab-kitabnya, maka pahamilah, ini jalan hidup yang Mas Nafis pilih. Allah telah memberikan karunia pemahaman agama kepada Mas Nafis, dan pemahamannya tersebut menjadi amanah untuk terus dihidupkan di tengah-tengah umat. Belajar dan mengajar menjadi napas dalam kehidupannya. Bahkan belajar atau menuntut ilmu adalah kewajiban kita semua. Termasuk kamu sebagai istrinya, tetap dampingi Mas Nafis, kuatkan Mas Nafis, jaga semangat belajarnya agar selalu menyala."
Shafa kembali menghapus air matanya dan beberapa kali menarik napas panjang sebelum memasuki kamarnya. Ia merapikan hijabnya sejenak. Deretan kitab yang hampir memenuhi sebelah ruangan kamarnya seakan menatapnya tajam. Seseorang yang biasa ia lihat di meja belajarnya tampak tidak ada. Shafa meneruskan langkahnya mendekati dipan, seseorang yang sangat dirindukannya tampak duduk bersimpuh di atas lantai. Shafa merasa badannya lemas, sejurus kemudian air matanya kembali mengalir deras.
Siang itu, hari Kamis terakhir di bulan Syawal. Saat memasuki kamarnya Shafa melihat Mas Nafis ternyata sedang tertidur di atas sofa dengan ponsel yang masih menyala dan sebuah kitab di atas dadanya. Shafa berjalan pelan mendekati Mas Nafis, mematikan ponsel dan meletakkan kitab di atas meja belajar. Shafa memandangi wajah suami yang baru menikahinya pertengahan Ramadan itu lekat-lekat lalu sedikit tersenyum.
Tak lama Shafa tampak mengernyitkan keningnya dan berkata dalam hati, "Tumben tidak langsung bangun, biasanya meskipun matanya terpejam, tapi saat suara seorang syekh di ponselnya berhenti, Mas Nafis akan segera terbangun."
Shafa kemudian menepuk lengan Mas Nafis pelan, "Mas!" Shafa menunggu respons Mas Nafis sejenak. "Mas!" panggilnya lagi.
Akhirnya Mas Nafis mulai terbangun. Ia tampak menggeliat lalu menegakkan tubuhnya. "Ah!" erangnya sambil mengurut keningnya.
Shafa tampak khawatir, "Kenapa Mas, sakit?"
"Enggak!" jawab Mas Nafis sambil menggeleng pelan. "Mas baca kitab, tapi ada yang belum paham, jadi pusing!"
"Gimana enggak pusing, baca kitab enggak ada jedanya!"
Mas Nafis tersenyum kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Kenapa?" tanyanya seakan memahami bahwa kedatangan Shafa memang ingin bercerita.
Shafa mendekati Mas Nafis kemudian bersandar di sisinya. "Aku datang bulan, Mas!" jawab Shafa lirih. "Padahal aku sudah senang karena telat dua hari, ternyata…!"
Mas Nafis mengangguk pelan, "Iya sabar, berarti memang belum waktunya hamil!"
"Iya sih, usia pernikahan kita juga baru satu bulanan!" Shafa kemudian menegakkan tubuhnya dan duduk menghadap Mas Nafis.
"Mas ikut Quranic Camp, yuk! Seru tahu acaranya, aku setiap tahun suka ikut jadi pembimbing para santri di sana!"
Mas Nafis hanya tersenyum. "Tapi tahun ini banyak asatidz lain 'kan yang mendampingi?"
"Pastinya!" Shafa tampak berpikir sejenak. "Tapi kita ikut aja, aku punya tenda kecil, cukup untuk berdua!"
"Tenda ikhwan akhwat biasanya terpisah cukup jauh, bukan membimbing kalau kita di sana malah berduaan, iya 'kan?"
Shafa menghela napas, "Terlepas kita satu tenda atau tidak, tapi kita ikut ya?"
Mas Nafis menegakkan tubuhnya lalu mengusap kepala Shafa, "Menarik! Tapi nanti sore Mas ada agenda sama Mas Musthafa mungkin sampai malam, kita diminta Abi mengunjungi Kiai Utsman, sepertinya dalam rangka kerjasama dengan pesantren. Terus, besok Jumat 'kan jadwal Mas isi khutbah di masjid. Meski mayoritas santri ikut kemah tapi santri atau asatidz yang tidak ikut dan masyarakat sekitar pesantren akan tetap salat Jumat di masjid. Jadi Mas harus tetap di sini."
Mas Nafis tampak menghela napas sejenak saat melihat Shafa hanya terdiam. "Nah, hari Sabtu memang sudah diagendakan bagi asatidz yang tidak ikut Quranic Camp, ada program khusus yaitu Dauroh Bahasa Arab, online, pengisinya seorang Pakar Bahasa Arab dan Balaghah dari Mesir, dan Mas diminta jadi penerjemahnya."
"Aku tahu Mas!" jawab Shafa tampak kecewa. "Apa tak bisa digantikan?"
"Digantikan siapa?" tanya Mas Nafis sambil tersenyum. "Abi? Mas Musthafa? Mereka ataupun asatidz yang lain sama-sama memiliki amanah yang harus dikerjakan di pesantren ini. Kita ikut acaranya malam Ahad aja, bagaimana? Selepas acara dauroh, kita berangkat siang, mau?"
Shafa yang terlanjur kecewa hanya menggeleng. "Aku izin pergi dari sore ini. Mas nanti menyusul aja!"
Mas Nafis menggeleng, "Enggak, Mas enggak izinkan!" Ia kemudian mengusap kepala Shafa dengan lembut. "Temani Mas aja ya? Di sini. Sabtu siang atau sore kita ke sana!"
"Temani Mas?" tanya Shafa dengan nada yang meninggi. Belaian lembut suaminya tak cukup untuk meluluhkan hatinya. Sementara mata beningnya kini mulai berkaca-kaca. "Saat kita mulai menjalani kehidupan di Surakarta, Mas banyak menghabiskan waktu untuk pesantren. Mas mulai meninggalkan kamar di sepertiga malam terakhir untuk salat tahajud berjemaah bersama para santri. Mas akan kembali saat matahari sudah terbit hanya untuk sarapan dan bersiap-siap mengajar hingga Zuhur. Selepas Zuhur Mas akan mengajar lagi, kalaupun tidak ada jadwal mengajar Mas begitu mesra dengan kitab-kitab Mas! Tak ada hari yang Mas lalui tanpa menemui kitab-kitab Mas, membacanya sampai sering mengabaikan aku! Sore hari puncak lelahnya Mas setelah beraktivitas seharian, aku ajak keluar sekadar jalan-jalan pun Mas sering menolak. Tapi kalau ada Mas Musthafa, Mas bisa asyik berdiskusi bahkan hingga Magrib. Dan malam hari? Mas juga masih mengajarkan kitab-kitab di pesantren atau menghabiskan waktu di meja belajar Mas! Siapa yang harusnya minta ditemani?"
Shafa menghapus air matanya sebentar kemudian kembali meluapkan kekesalannya, "Aku ini istrimu Mas, aku juga ingin waktu bersama Mas! Apa sebenarnya alasan Mas menikahi aku? Apa karena Mas tak kuasa menolak tawaran Abi untuk menikahi aku? Juga karena aku adik kandung Mas Musthafa sahabat dekat Mas sejak lama? Mungkin Mas memang tidak begitu mencintai aku! Hingga Mas begitu saja bisa melalui hidup Mas, kembali belajar dan mengajar, melanjutkan persahabatan Mas dengan Mas Musthafa yang semakin erat sebagai saudara ipar! Kalau bukan karena Abi yang membangunkan perpustakaan ini di kamar aku, aku ingin mengeluarkan semua kitab-kitab Mas. Aku bahkan dibuat cemburu oleh kitab-kitab Mas! Mas lebih mencintai mereka!"
Mas Nafis tampak menggeleng pelan. Ia ingin berbicara tapi nafasnya tampak berat. Ia kemudian hanya menggenggam erat tangan Shafa.
"Lepaskan Mas!" Seru Shafa merasakan genggaman tangan Mas Nafis terlalu kuat. "Aku harus rela menghentikan upayaku untuk terus kuliah karena menikah dengan Mas. Aku harus menikah muda di usia 21 tahun dengan seorang laki-laki yang 5 tahun lebih tua dariku. Menikah dengan seorang ustaz muda lulusan Al-Azhar Mesir, yang tampan, cerdas, menguasai berbagai tsaqofah Islam. Ustaz yang begitu disukai para santrinya. Ustaz yang begitu disayangi oleh mertuanya. Tapi Mas membiarkan aku sendiri tertatih menyamai langkahmu, Mas! Aku tak terbiasa dengan kehidupan Mas yang seakan berlari sementara aku hanya berjalan lambat!"
Mas Nafis tiba-tiba melepaskan genggamannya lalu mengurut keningnya yang kian berdenyut. Ia tampak syok dengan kemarahan Shafa sampai tak mampu berbicara apa pun. Akhirnya Shafa beranjak dan meneruskan tangisnya di atas kasur. Tak lama Mas Nafis pun turut berbaring di samping Shafa. Sambil menatap langit-langit Mas Nafis akhirnya mulai berbicara. Shafa yang memunggunginya hanya menangis penuh sesal. Semakin lama berbicara, Mas Nafis merasa matanya semakin berat, tak lama ia pun terlelap, ada setitik air yang jatuh bersamaan terpejamnya mata.
Mas Nafis akhirnya terbangun saat mendengar ponselnya berdering. Shafa yang tidak tidur sejak awal tetap berbaring di tempatnya. Azan Asar sudah berkumandang sejak dua puluh menit yang lalu.
"Afwan Gus, aku ketiduran! Tunggu ya, salat Asar dulu, nanti aku ke sana!" jawab Mas Nafis kemudian meletakan ponselnya kembali.
Shafa berdesah di tempatnya. Setelah apa yang terjadi Mas Nafis akan tetap pergi? Batinnya kembali dipenuhi kekesalan. Mas Nafis bersiap-siap secepat yang ia bisa. Mandi kemudian salat dan kini sudah duduk di dekatnya.
"Shafa!" panggil Mas Nafis pelan tapi Shafa tak merespons. "Jangan mendiamkan Mas kayak gitu, Fa! Mas boleh pergi ya?"
Mas Nafis terdiam sejenak. "Baiklah, Mas izinkan kamu ikut Quranic Camp sore ini, hati-hati di sana. Nanti Mas menyusul Sabtu sore!" Shafa hanya terdiam mendengar ucapan Mas Nafis. "Kemungkinan Mas benar-benar akan pulang malam. Mas pergi ya? Fa! Shafa?!"
"Iya pergi aja!" jawab Shafa singkat. Mas Nafis hanya menghela napas, kemudian bangkit dan meraih tasnya. Saat pintu kamar benar-benar tertutup barulah Shafa bangkit dari tempatnya. Hatinya kembali diliputi kekesalan. Kenapa pergi Mas? Kenapa?
Shafa melangkah dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit yang sudah beberapa kali ini ia lewati. Masih begitu sepi, ia melirik jam tangan di lengan kirinya. Jam tangan berwarna cokelat dengan angka arab dan terdapat ukiran huruf nun di tengahnya itu memberi tahu kalau saat ini masih pukul enam kurang. Shafa tersenyum, jam tangan itu meski bukan jam tangan baru tapi memiliki arti yang spesial baginya. Jam tangan itu Mas Nafis hadiahkan satu hari setelah akad nikah karena Shafa menyukai desainnya. Mas Nafis bilang jam ini selalu Mas Nafis pakai ketika kuliah agar ia selalu ingat waktu, selalu disiplin belajar. Tapi karena Shafa menyukainya, Mas Nafis mempersilakan Shafa memakainya. Agar di saat Shafa melihat huruf nun yang terukir indah itu Shafa akan selalu mengingat Mas Nafis. Sekali lagi Shafa tersenyum, betapa suaminya itu ternyata bisa romantis.
Hari ini hari keempat Mas Nafis dirawat inap karena tifus. Shafa masih mengingat betul bagaimana paniknya ia melihat Mas Nafis muntah-muntah di kamar. Ia merasa bersalah sekali memutuskan pergi ke Quranic Camp, menginap di sana tanpa banyak berkomunikasi dengan Mas Nafis. Saat Mas Nafis tak kunjung menyusul pada malam terakhir acara dan ponselnya tidak aktif Shafa malah semakin kesal. Hingga akhirnya umi meminta ia pulang lebih cepat. Meski saat itu Mas Nafis tidak banyak mengeluh tapi terlihat dari kondisinya Mas Nafis sedang menahan sakit. Seharian setelah muntah-muntah Mas Nafis kesulitan tidur nyenyak. Badannya panas, napasnya tak beraturan, dan kerap mengingau. Sesekali terlihat menitikkan air mata meski matanya sedang terpejam.
"Sakit kepalanya, Mas?" tanya Shafa saat itu penuh kekhawatiran, dan Mas Nafis pun hanya mengangguk pelan. Mas Musthafa turut khawatir melihat kondisi Mas Nafis. Menurut Mas Musthafa, Mas Nafis termasuk orang yang jarang sakit, cukup disiplin menjaga kesehatan, makan, dan minum. Kalau flu ataupun demam biasanya tidak lama, cukup istirahat sebentar dari segala aktivitasnya. Saat Mas Nafis diajak ke rumah sakit pun ia hanya mengangguk, tanda setuju. Shafa semakin merasa bersalah saat itu.
Ruangan Mas Nafis ada di lantai tiga. Saat Shafa membuka pintu Mas Nafis tampak terkejut. Mas Nafis sedang duduk sendiri di ruangannya. Wajahnya tampak jauh lebih segar. Tangan kirinya yang tersambung ke selang infus terlihat menyangga sebuah kitab.
"Kamu datang pagi banget, Fa!" ucap Mas Nafis sambil menutup kitab yang dipegangnya. Lalu segera meletakkannya di atas meja.
Shafa malah menahan senyum melihat kagetnya Mas Nafis. "Sengaja!" Shafa kemudian berseloroh. "Pantas saja, semalam Mas meminta aku untuk tidur di rumah! Dan tidak masalah hanya ditemani Mas Musthafa. Ternyata ada 'si cantik' yang menyelinap ke kamar ini."
"Semacam kitab nafsiyah, tidak begitu berat untuk Mas membacanya. Mas bosan kalau hanya melamun. Handphone Mas juga masih di rumah 'kan? Sementara soal kamu, Mas minta pulang agar enggak kecapekan. Kamu perlu istirahat yang cukup di rumah."
Shafa hanya mengangguk lalu melihat-lihat sekitar. "Mas Musthafa sudah pulang?"
Mas Nafis mengangguk. "Iya. Mas merasa sudah jauh lebih baik, jadi Mas persilakan Mas Musthafa pulang sejak bakda Subuh."
Shafa lalu duduk di hadapan Mas Nafis di atas ranjang pasien. Shafa menatap wajah Mas Nafis sesaat. "Aku sengaja datang pagi, agar aku punya waktu bicara sama Mas. Sebelum siang atau sore bergantian orang datang menjenguk lagi."
Kini Shafa sedikit menunduk. "Setelah kejadian Kamis siang itu kita belum sempat berbicara seperti ini lagi." Shafa mengangkat lengan kirinya sejenak. "Tahu enggak, Mas? Saat sedang kemah, jam tangan ini selalu mengingatkan aku pada Mas di rumah. Aku sempat ingin pulang, tapi aku malu, aku tak berani pulang. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu hingga hari Sabtu, hingga aku sempat kesal lagi menunggu Mas yang tak kunjung datang."
Shafa kini tampak memandangi kakinya yang ia ayunkan pelan. "Intinya, aku hanya…" kata-katanya terputus sementara matanya tiba-tiba berair. "Aku hanya mau minta maaf, Mas!"
Mas Nafis hanya mengangguk pelan, kemudian mengusap punggung Shafa yang mungil. "Iya, maafkan Mas juga!"
"Aku semakin memahami hikmah mengapa talak itu ada di tangan suami, juga mengapa seorang wanita haid haram ditalak meskipun talaknya sah. Aku waktu itu bersikap menjengkelkan ya?" tanya Shafa retoris. "Syukurlah Mas bisa menahan marah. Mas bahkan telah meminta maaf dan memaafkan aku saat itu juga. Betul kata Mas, riak kecil itu ada, tapi kita harus berusaha untuk selalu bersama. Benturan itu pasti ada, perbedaan 'kan tetap menghiasi, tapi kita harus selalu menjaga bahtera ini agar jangan karam oleh badai yang datang menghantam."
Shafa menatap Mas Nafis yang hanya terdiam. "Meski usia pernikahan kita baru hitungan minggu, tapi Mas bisa menjadi teman cerita dan diskusi yang baik. Mas adalah sahabat yang selalu ada untuk mendengarkan ceritaku, bahkan menjadi guru yang sabar menghadapiku." Shafa menghela napas sejenak. "Terima kasih sudah memilih aku untuk menjadi istrimu."
Suasana mendadak hening sesaat. Mas Nafis hanya mengusap punggung Shafa. Tak lama Shafa pun kembali berdiri dan segera menghapus air matanya.
"Lanjutkan lagi Mas bacanya sambil menunggu sarapan datang!"
Mas Nafis meraih tangan Shafa, "Terima kasih sudah mau menerima Mas menjadi suami kamu. Kita pasti bisa berjalan bahkan berlari bersama-sama."
Shafa tersenyum sambil memandangi wajah di hadapannya yang sedikit pun tak pernah mengeluh soal kekurangannya. Shafa semakin menyadari bahwa ia sangat beruntung. Sebagaimana artinya namanya, Shafa benar-benar telah dikaruniai an-Nafis -sesuatu yang berharga-. Ia tak boleh menyia-nyiakannya lagi.
Selesai. []