Syafira Ingin Membahagiakan Ibu

"Syafira berusaha membahagiakan ibunya. Sebenarnya, jika ia berlebihan secara ekonomi, ada keinginan untuk bisa memberikan segala permintaan ibunya. Hanya saja, dia sendiri tidak bekerja seperti pegawai tetap, sehingga merasa tidak enak jika harus memakai uang suaminya."

Oleh. Asri Mulya

NarasiPost.Com-Sebelum subuh, seperti biasanya Syafira sudah bangun. Seusai menunaikan dua rakaat, anaknya yang berusia delapan bulan tiba-tiba merengek, ternyata buang air besar. Syafira pun segera membersihkannya.

Setelah itu, wanita berusia tiga puluh tujuh tahun tersebut mengambil handphone yang dari semalam dicas, lalu mengaktifkannya kembali. Tak menunggu lama, notifikasi aplikasi hijau berbunyi beriringan, pertanda banyak pesan masuk di HP-nya, salah satunya dari adik Syafira bernama Yuli.

[Assalamualaikum, Mbak. Lagi apa? Biasa Mbak, mau membicarakan masalah Ibu … Ibu tuh kelihatan pusing banget, Mbak. Pengennya ngadain syukuran sebelum berangkat umrah, juga beli oleh-oleh buat dibagi-bagi pada saat pulangnya nanti, tapi kayaknya uangnya gak ada. Mau minta ke Mbak Amanda, bingung bilangnya gimana. Tadi malam main ke kontrakan Yuli sambil nangis-nangis, Mbak ….]

[Ibu pusing sendiri tuh, Mbak. Mau umrah malah pusing pikirin acara syukuran dan oleh-oleh, padahal kan belum berangkat. Enaknya gimana yah, Mbak? Kalau nurutin keinginan Ibu, uangnya gak ada, Mbak. Maksud Yuli, Mbak Fira juga nasihati Ibu … Bilang jangan pusing mikirin ini itu, yang penting berangkat aja dulu, ibadah yang khusyuk.]

[Yuli juga udah bilang ke Mbak Amanda tentang unek-unek Ibu, biar Ibu gak sakit hati kalau berhadapan sama Mbak Amanda. Kan Ibu bilangnya sakit hati … Jadi Yuli berusaha bilang ke Mbak Amanda, Mbak. Tapi jawaban Mbak Amanda muter-muter. Intinya Mbak Amanda gak mau tahu, mau Ibu pusingin syukuran atau beli oleh-oleh, yang penting Mbak Amanda mau ngasi sangu aja katanya, Mbak …. ]

Syafira mencermati kata demi kata yang ditulis oleh adiknya yang begitu panjang. Ia pun langsung membalas pesan tersebut.

[Ya, Yuli. Nanti coba Mbak Fira ngomong sama Ibu.]

Jadwal keberangkatan umrah ibunya tinggal beberapa minggu lagi. Bila nanti ibunya jadi berangkat, Syafira dan saudaranya sudah berniat akan memberikan uang sangu tambahan. Semoga sang ibu bisa menjadi bijak dengan menerima berapa pun jumlah dari anak-anaknya.

Tanpa pikir panjang, Syafira mengirim pesan kepada sang ibu yang tinggal di kampung sendirian. Orang tua Syafira sudah lama bercerai ketika ia masih kecil. Sedangkan di antara saudara-saudara perempuannya, hanya kakaknya yang memiliki rumah sendiri setelah berumah tangga. Termasuk dirinya, yang juga tinggal terpisah semenjak menikah dengan seorang perawat.

Syafira mengirim pesan kepada ibunya yang kebetulan dari tengah malam sudah mengirim pesan melalui WhatsApp pada dirinya sekitar jam sepuluh. Syafira baru membalas pesan sang ibu ketika subuh, memberi tahu kalau semalam ia tertidur dalam kondisi HP tercas.

Isi pesan ibu kepada Syafira bahwa dirinya semalam main ke rumah Yuli sampai jam sembilan. Syafira kemudian lanjut mengirim pesan tentang permasalahan yang diceritakan Yuli tentang ibu. Menjadi kesempatan Syafira untuk mengobrol.

[Iya, Bu. Tadi Yuli cerita tentang Ibu yang lagi pusing mau berangkat umrah. Ibu sedih, pengennya ngadain syukuran sama beli oleh-oleh buat pulangnya, tapi bingung gak punya uang. Bu, kalau Fira boleh kasih masukkan, Ibu coba diluruskan niatnya lagi, umrah itu untuk apa?]

[Ibu pernah bilang sendiri, hidup itu harus apa adanya, jangan dipaksakan. Kalau enggak nanti pusing sendiri. Ibu merasa gak, hal seperti inilah yang membuat ibu pusing sendiri? Ibu punya keinginan yang macem-macem. Seperti kepada anak pertama Ibu, Ibu pengennya bisa dimengerti, bisa ngasih uang banyak ke Ibu, tetapi kenyataannya enggak terwujud. Ibu jadi pusing sendiri, justru sakit hati lagi.]

[Padahal sebenarnya anak Ibu sudah coba nenangin. Gak usah mikir yang macem-macem, pikirnya fokus ibadah aja. Masalah rezeki itu Allah yang ngatur kan, Bu? Ibu sering bilang Allah sayang Ibu, selalu mewujudkan keinginan Ibu. Ya udah yakin aja, yang penting Ibu fokus untuk ibadah, bukan untuk hal lainnya. Karena umrah bukan piknik. Bukan mau senang-senang, tapi khusus ibadah.]

[Allah Mahatahu niat Ibu seperti apa. Jangan sampai dengan keinginan Ibu yang macem-macem, malah mengurangi niat sesungguhnya, ibadah karena Allah. Fira dan anak-anak Ibu lainnya paham keinginan Ibu mau serba terlaksana. Tapi mohon, Ibu juga harus mengerti, tidak semua apa yang diharapkan dan diinginkan bisa terlaksana. Udah bersyukur sekali keinginan Ibu untuk umrah bisa terlaksana dan sebentar lagi akan terwujud.]

Panjang lebar pesan yang Syafira kirim kepada ibunya. Namun, sang ibu hanya membalasnya dengan kata mengamini. Entah apa yang dipikirkan ibu. Syafira hanya berharap ibunya bisa mengerti dengan apa yang disampaikannya, yang mungkin sudah disampaikan sebelumnya oleh kakaknya, Mba Amanda dan adiknya, Yuli.

Sebenarnya baik Syafira, kakaknya, atau adiknya ingin sekali bisa memenuhi semua keinginan ibu. Hanya saja hal itu terkendala dengan kebutuhan di dalam keluarga masing-masing. Bukan tidak mau mengusahakannya. Kak Amanda sendiri punya lima anak, meski ia terlihat berlebih dari segi ekonomi. Menyekolahkan anak pertamanya di pondok pesantren butuh biaya yang lumayan besar.

Sedangkan Syafira punya tiga anak. Keuangan hanya diperoleh dari sang suami. Ia hanya menambah sedikit penghasilan dari hasil menulisnya. Syafira tetap bersyukur, penghasilan suaminya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga dan ketiga anaknya, termasuk membiayai kedua anaknya yang sudah bersekolah di SD Muhammadiyah.

Syafira hanya bisa semampunya memberi uang tiap bulannya kepada sang ibu sebesar Rp350.000. Sekadar untuk menutupi kebutuhan ibu membayar listrik. Karena ibu sendiri masih bekerja dengan berjualan nasi uduk dan warung kecil-kecilan di rumah.

Sedangkan Yuli, kondisi keluarganya lebih sederhana dari kedua kakaknya. Satu-satunya anak ibu yang belum memiliki rumah sendiri. Yuli masih mengontrak. Usahanya dengan suami berjualan kue basah. Semoga hal itu bukan alasan yang menjadikan Syafira dan dua saudara perempuannya sebagai anak yang tidak berbakti kepada ibunya.


Jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Permintaan ibunya masih terngiang-ngiang dalam benak Syafira. Setelah menjemput kedua anaknya di sekolah, tiba-tiba tebersit dalam pikirannya jalan keluar untuk sang ibu. Teringat dengan salah satu hadis Nabi Muhammad saw. tentang berbakti kepada ibu.

Dalam hadis riwayat Abu Hurairah radiyallahu'anhu, Rasulullah menyuruh kita untuk berbuat baik kepada ibu dibanding bapak. "Seseorang datang kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wassalam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi menjawab, 'Ibumu.' Dan orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi menjawab, 'Ibumu.' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan dasar hadis tersebut, Syafira berusaha membahagiakan ibunya. Sebenarnya, jika ia berlebihan secara ekonomi, ada keinginan untuk bisa memberikan segala permintaan ibunya. Hanya saja, dia sendiri tidak bekerja seperti pegawai tetap, sehingga merasa tidak enak jika harus memakai uang suaminya. Syafira mencoba untuk berbicara kepada suaminya terkait permasalahan ibunya. Ia meminta izin kepada sang suami terlebih dulu untuk mentransfer uang.

"Ayah, Bunda mau membicarakan tentang Ibu," ucap Syafira kepada suaminya lewat telepon disela jam istirahat kerja sang suami.

"Kenapa Ibu?" tanya suami Syafira.

"Tadi pagi Yuli WA, cerita ke Bunda tentang Ibu yang sedang sedih. Ingin umrah tetapi Ibu maunya ngadain syukuran dulu sebelum berangkat. Terus ada keinginan mau beli oleh-oleh juga. Permintaannya kaya anak kecil, pengen dituruti sama anak-anaknya. Cuma mau ngomong ke Mbak Amanda sama Bunda enggak berani, bisanya nangis."

"Terus, jadinya gimana?" tanya suami Syafira lagi.

"Ya, Bunda mau ngasih uang ke Ibu satu juta, buat adain syukuran. Bunda kebetulan punya tabungan di sekolah anak-anak, ada empat ratus, pinjam uang Ayah dulu ya enam ratus ribu. Boleh enggak?" tanya Syafira dengan penuh harap,

"Na … Nanti kalau Bunda dapat keuntungan dari penjualan buku, baru Bunda ganti …. " ucapan Syafira tersendat menahan air mata.

Suara istrinya terdengar jelas sedang menahan tangis. Ia tahu sang istri sedang bersedih. Lelaki hitam manis yang memiliki tahi lalat dekat dagunya itu pun memberikan izin.

"Bunda transfer aja uangnya buat ibu!" ucap suami Syafira.

"Makasih ya, Yah!" Syafira begitu senang suaminya bisa memahami dirinya yang ingin membahagiakan sang ibu. Ia merasa terharu.

Setelah menutup teleponnya, Syafira langsung membuka aplikasi BRI Mobile yang ada di HP-nya. Mengetik sandi dan password. Langsung terhubung ke menu pilihan. Syafira langsung mengeklik fitur transfer, lalu memilih rekening BRI milik sang ibu yang sudah tersimpan otomatis karena sering mentransfer ke rekening ibunya tiap bulan. Syafira pun mengetik nominal yang hendak ditransfernya, lalu langsung memasukkan nomor pin. Uang pun berhasil terkirim.

Tiba-tiba kedua anak Syafira masuk ke dalam kamar ingin mengganti baju. Saat melihat sang bunda sedang sedih, anak perempuannya yang berumur sembilan tahun bertanya.

"Bunda kenapa? Kok kayak mau nangis?" tanya Yusra, anak pertama Syafira.

"Enggak apa-apa, Sayang. Bunda ikut sedih aja kalau Oma sedih." Syafira mengusap air mata yang sudah keluar sedikit dari mata sipitnya.

"Emangnya Oma kenapa, Bunda?" sahut Harum anak keduanya.

"Oma sedih, mau umrah tapi enggak bisa adain syukuran. Jadi bunda bantu Oma dengan mengirimkan uang, sehingga Oma bisa mengadakan syukuran." Syafira menjelaskan.

Kini, perasaan Syafira sudah lega. Ia bisa menyelesaikan permasalahan ibunya. Semoga dengan uang yang ia transfer, ibunya tidak lagi stres dan merasa sedih. Syafira pun segera menelepon sang ibu untuk memberi tahu bahwa dirinya baru saja mengirim uang. Sang ibu begitu gembira mendengarnya dan berterima kasih.

Tamat.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Asri Mulya Kontributor NarasiPost.Com
Previous
India Larang Ekspor Gandum, Stabilitas Pangan Dunia Terancam
Next
Kebiadaban Israel : Sekadar Mengutuk, Akankah Menghentikannya?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram