Beleter

"Penjelasan Lasmi terus berlanjut bahwa apa yang menimpa mereka saat ini bukan semata karena sikap person tertentu seperti si Mbah Beleter itu. Kebijakan tersebut lahir dari sebuah cara pandang dalam mengatur urusan rakyat dan negara. Sejauh ini, negeri plus enam dua berkiblat pada Barat dengan menerapkan aturan yang dibuat oleh manusia."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Ramadan begitu mesra membersamai kaum muslim di seluruh penjuru dunia. Namun, gonjang-ganjing duniawi terus menerpa seluruh negeri muslim. Mulai dari serangan fisik di Timur Tengah, wabil khusus serangan Israel di Palestina, sampai perkara politik ekonomi di negeri plus enam dua. Aksi mahasiswa sempat mewarnai tanah air dengan tuntutan perubahannya. Ada juga aksi bela diri korban begal yang menyeretnya menjadi tersangka. Peristiwa paling fenomenal adalah polemik minyak goreng yang masih merajai berita karena ada mafianya.

Angin pernyataan seorang tetua negeri mengoyak sanubari. Pedas ucapannya menggarami luka yang masih menganga, pedih nian. Beleter sekali dia. Reyot pandangannya atas sebuah persoalan membuat hati rakyat menderita parah. Tajam sekali serangannya atas para emak yang melakukan ritual tahunan. Kenyinyiran sang Tetua Negeri tiada henti, terus menyakiti hati. Seakan tak ingat alam baka yang siap menyongsong siapa saja, apalagi yang sudah tua.

Udeh memijit kedua alisnya yang terasa berdenyut. Indra pendengarannya yang tajam sedang berdenging kencang tatkala menangkap suara renta nyinyiran perkara baju Lebaran. Udeh tak habis pikir, tega nian itu si mbah menuduh sampai berbusa-busa. "Diam saja kenapa itu mulut?" batinnya. Semakin tua bukannya semakin mendekatkan diri pada Allah, kok berceloteh nirfaedah.

"Why, why, why! Why tapai. No, no, no, Dono Kasino dah almarhum," Udeh menggerundel.

"Apa sih, Kak? Manyun-manyun gitu," tanya Lasmi, adik iparnya.

"Itu, si mbah lagi sok mikir," jawab Udeh tetap dengan wajah dongkol.

Lasmi langsung melirik aplikasi Youtube yang sedang menyala di HP kakak iparnya itu. Siapa yang tak jengkel dengan pernyataan wanita yang pernah jadi pemimpin negeri. Kala minyak goreng langka, dia pernah memberi solusi untuk memasak dengan cara direbus, kukus, dan lainnya. Pernyataan serampangan yang seakan intelek itu membuat telinga siapa pun yang mendengar menjadi panas. Helaan napas berat berembus. Netra Lasmi masih tertuju pada Udeh yang komat-kamit tiada henti meluapkan kejengkelannya. Lasmi akhirnya menengahi kejengkelan Udeh agar lebih terarah.

Sebuah pernyataan menyesatkan jika emak-emak disalahkan karena berbondong-bondong beli baju baru dan antre membeli minyak goreng. Saat ini, siapa pun bisa menemukan minyak goreng di pasar tradisional dan di rak-rak mini market, namun harganya membuat pusing kepala. Baju Lebaran memang harganya lebih tinggi dari minyak goreng, tapi si mbah tak berpikir bahwa baju baru itu dibeli mungkin hanya setahun sekali. Sementara minyak goreng adalah kebutuhan pokok.

"Selama ini, kebijakan di negeri ini tak pernah berpihak pada rakyat, Kak," kata Lasmi.

Penjelasan Lasmi terus berlanjut bahwa apa yang menimpa mereka saat ini bukan semata karena sikap person tertentu seperti si Mbah Beleter itu. Kebijakan tersebut lahir dari sebuah cara pandang dalam mengatur urusan rakyat dan negara. Sejauh ini, negeri plus enam dua berkiblat pada Barat dengan menerapkan aturan yang dibuat oleh manusia. Padahal, Zat Yang Maha Pengatur hanyalah Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Yusuf ayat 40:

"Sesungguhnya yang berhak membuat hukum hanyalah Allah."

Namun, pandangan manusia tentang dunia dan kehidupan haruslah terpisah dari aturan agama. Semua lini kehidupan dikungkung dengan pandangan sekularisme yang meniadakan peran Allah dalam aturannya. Ini yang menjadi biang kerusakan di dunia. Sebab, manusia hanyalah makhluk yang lemah, terbatas, dan butuh pada yang lain. Bagaimana mungkin aturan yang dirancangnya sempurna? Apalagi orientasinya materi alias harta. Jelas, mereka akan membuat aturan yang akan memperkaya diri mereka dan seluruh kroninya.

"Bukan hanya urusan minyak goreng, Kak. Apalagi sekarang sudah jelas ada mafia bermain di sana. Persoalan lainnya juga tak lepas dari cengkeraman kapitalisme dengan akidah sekularismenya," Lasmi masih menjabarkan.

Mata Udeh membulat mendengar penjelasan Lasmi. Benar seratus persen apa yang disampaikan Lasmi. Kenapa Lasmi yang belum menikah bisa secerdas itu membeberkan sebuah persoalan? Udeh menyadari bahwa memang selama ini dia pun termasuk yang enggan dengan aturan Islam. Namun, baru sekarang dia sadar bahwa yang diperbuatnya adalah sebuah kesalahan fatal. Dari perkara minyak goreng saja, Lasmi bisa menjelentrehkan akar masalah dan solusinya.

Udeh merasa malu, saat seusia Lasmi mana mau dia memikirkan nasib rakyat. Pemikirannya pun terjebak dalam dunia hip hip hura yang sangat tak jelas. Seperti kebanyakan remaja lainnya, Udeh hanya berpikir untuk menghabiskan masa muda dengan bersenang-senang saja. Rasa takjub pada pandangan Lasmi membuat Udeh malu. Sedari tadi hanya mengomel tak menentu. Kegalauannya karena khawatir tak bisa mengatur keuangan rumah tangga membuatnya jengkel. Namun, Lasmi menyadarkannya bahwa yang merasakan kemarahan dan kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan hidup bukan hanya dirinya.

"Gara-gara si Mbah Beleter itu Kakak ngomel tak ada juntrungannya, Las. Kamu kok pinter, toh? Itu jurusan kuliahmu, ya?" Selidik Udeh yang kepo.

Senyum Lasmi tersungging menyejukkan jiwa Udeh. Kedua lesung pipinya tampak saat bibir Lasmi tertarik karena senyuman. Lasmi meluruskan apa yang disampaikan tadi tak ada di bangku perkuliahannya. Penjelasan tentang hakikat hidup, politik dalam arti memelihara urusan rakyat, dan lainnya karena ia mengkaji Islam kaffah secara rutin.

Lasmi tak membuang kesempatan emas, dia pun mengajak Udeh untuk ikut kajian pekanan bersamanya. Keraguan menghampiri aura wajah Udeh. Namun, Lasmi meyakinkan bahwa apa yang akan mereka jalani akan mendatangkan pahala dan perubahan hakiki. Lasmi membuat sebuah tawaran, jika apa nanti yang dikaji adalah satu hal yang menjerumuskan pada maksiat, maka Udeh boleh tak mengikutinya lagi.

"Dengan mengkaji Islam, kita tak akan terperangkap dalam kemarahan semu, Kak. Seperti kemarahan Kakak pada si Mbah Beleter itu," ucap Lasmi.

Udeh pun mengangguk mantap. Apa salahnya mencoba. Dia juga ingin lebih baik dan tidak asal ngomel. Udeh tak mau beleter menempel pula pada dirinya jika ia tak melakukan aksi nyata dalam mengubah sebuah keadaan, dari keterpurukan menuju kesejahteraan. Ia pun menyetujui ajakan Lasmi walau masih separuh hati.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Kaum Liwath Paling Berpeluang Terpapar Cacar Monyet, Azab Allah?
Next
Bukan tentang Hak Asasi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram