Sungguh tidak ada versi orang terbaik kecuali seorang ibu. Ia tak hanya mengandung dan melahirkan, tetapi juga menyayangi sepenuh hati
Oleh. Wiwik Hayaali
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hana keluar dari kamar Fatimah dengan wajah memerah. Rasanya, stok sabarnya benar-benar hampir habis. Ini sudah ketiga kalinya dia membawa keluar piring yang masih penuh dengan makanan. Padahal, tiga puluh menit yang lalu Fatimah minta segera dibawakan makanan karena perutnya sangat lapar. Akan tetapi, tak satu pun makanan disentuh. Alasannya, semua makanan itu baunya aneh. Padahal Hana memasak seperti biasa.
“Kalau begini terus aku bisa stres!” keluh Hana sembari menaruh piring di meja dengan sidikit kasar.
Beberapa detik berselang terdengar suara tangisan dari kamar bernuansa merah muda yang letaknya berseberangan dengan kamar Fatimah. Gegas Hana berlari ke sana untuk memastikan keadaan anaknya yang tiga hari ini sakit panas. Perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu bernapas lega, anaknya hanya mengigau, suhu tubuhnya juga sudah mulai turun.
Satu minggu ini tenaga dan pikiran Hana terkuras habis. Sungguh dia tidak punya waktu untuk dirinya sendiri. Sebulan belakangan Fatimah sang ibu sudah mulai pikun. Sebenarnya, Hana adalah perempuan yang lembut dan penyabar ketika menghadapi ibunya. Akan tetapi, ketika pekerjaan menumpuk dan dikejar deadline, ditambah lagi anak keduanya sakit dan butuh perhatian khusus, rasanya kepalanya ingin meledak saja. Apalagi tiga hari ini dia kurang tidur, wajah Hana tampak sedikit pucat, warna hitam di bawah mata tampak jelas, suaranya pun terdengar serak.
Baru saja sedikit lega melihat kondisi anaknya, terdengar suara benda jatuh dari dapur. Hana pun gegas berlari. Pecahan piring berceceran di lantai sedang Fatimah berdiri tak jauh dari sana. Hana mendesah lalu merapal istigfar dalam hati agar tetap tenang.
“Sedang apa, Bu?” tanya Hana lembut pada ibunya.
“Ibu mau mencuci piring. Cucian piring penuh. Eh, piringnya malah jatuh,” jawab Fatimah tangannya terulur mengambil sapu dan pengki.
“Biar Hana aja, Bu.”
Hana meminta ibunya beristirahat di kamar. Setelah Fatimah masuk ke kamarnya, dia pun segera mencuci semua piring kotor. Bukan hanya itu, baju kotor di mesin cuci langsung diselesaikan, khawatir jika ibunya mencuci seperti kemarin hingga kelelahan karena dikerjakan secara manual. Lantai rumah yang tadinya ada sedikit debu langsung mengkilat setelah disapu dan dipel.
https://narasipost.com/story/01/2024/senandung-pilu-si-gadis-bisu/
Tubuh Hana letih, tetapi dia enggan beristirahat karena satu jam lagi memasuki waktu Subuh. Perempuan yang mengenakan daster bunga-bunga itu kembali berkutat di dapur membuat sarapan. Sebenarnya setiap jam tujuh pagi ada orang datang yang membantu bersih-bersih rumah, tetapi ya, sudahlah semua sudah dia selesaikan. Nanti jika bibi datang biar menjaga anaknya yang masih sakit dan ibunya agar tidak keluar pagar karena Hana harus berangkat kerja. Yang Hana pikirkan adalah ibunya tidak kecapekan karena Fatimah tidak bisa abai jika melihat hal yang kotor di depannya.
Setelah selesai salat Subuh dan mandi, Hana menyiapkan semua berkas yang perlu dibawa untuk rapat. Tadi dia sempat mengecek keberadaan ibunya, ternyata Fatimah berada di taman belakang rumah. Hana sengaja menyiapkan kebun kecil agar sang ibu tetap bisa menyalurkan hobi berkebunnya.
Perempuan tangguh, itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan sosok Hana. Dia satu-satunya tulang punggung keluarga. Suaminya meninggal karena kecelakaan lima tahun yang lalu. Kehidupan harus terus berlanjut. Anak-anaknya butuh kasih sayang, makan, dan pendidikan yang layak. Hana harus kuat. Meskipun kadang dia merasa rapuh, kekuatan itu kembali berkobar ketika melihat kedua anak dan Fatimah yang menjadi tanggung jawabnya.
“Bu, sarapan sudah Hana siapkan. Sebentar lagi makan, ya. Jangan lupa minum obat juga. Obatnya ada di meja seperti biasa.”
“Ai, kamu di rumah dulu hari ini. Banyak istirahat ya, Nak. Biar cepat sembuh, besok bisa sekolah lagi.”
“Malik! Ayo, Nak, lebih cepat! Bunda ada meeting pagi ini. Perjalanan butuh waktu tiga puluh menit. Sebelum jam tujuh Bunda harus sampai kantor.”
Hana ada di ruang tengah sedang tiga orang yang diajak bicara berada di ruang yang berbeda, tentu saja dia berteriak agar lawan bicara bisa mendengar suaranya. Selain itu, dia juga harus datang ke kantor tepat waktu. Jika hari ini berhasil memenangkan tender, dia akan naik jabatan. Sebelum berangkat kerja, Hana harus memastikan semua anggota keluarganya yang ditinggal dalam kondisi aman.
“Mana bekalmu, Lik?” tanya Hana pada anak lelakinya yang baru saja masuk mobil.
“Lupa, Bun.”
Hana mendesah, “Biar Bunda yang ambil, kamu tetap di mobil!”
Setengah berlari Hana menuju dapur, tetapi perempuan itu dikejutkan dengan kondisi lantai yang dipenuhi ceceran tanah basah. Beberapa tanaman rempah lengkap dengan tanah yang masih menempel tergeletak di dekat pintu.
“Apa ini, Bu?” tanya Hana dengan suara keras.“Sudah Hana bilang, jangan melakukan hal yang aneh-aneh. Rumah sudah Hana bersihkan jadi kotor lagi.”
Fatimah terkejut mendengar suara keras anaknya. Dia hendak membersihkan ceceran tanah di lantai tetapi terhenti karena Hana kembali bicara dengan berteriak.
“Sudah, biarkan! Nanti biar dibersihkan Bi Ina saja!”
Hana langsung pergi meninggalkan ibunya. Perempuan itu meninggalkan rumah dengan rasa sesal yang menggunung. Sungguh, ini pertama kalinya dia membentak sang ibu semenjak tiga bulan tinggal bersama. Mengingat ada meeting penting, Hana menekan rasa sesak di dadanya. Dia tidak boleh terlambat sampai kantor.
Beberapa menit berlalu, Malik sudah sampai di sekolah. Hana melanjutkan perjalanan menuju tempatnya bekerja. Tiba-tiba air mata meluncur begitu saja, rasa sesak pun kian bertambah. Sepanjang perjalanan Hana terbayang wajah sedih ibunya. Waktu kecil dulu, Hana termasuk anak yang nakal dan banyak maunya. Akan tetapi, tak sekalipun Fatimah membentak ataupun memarahinya. Ingatan masa lalu satu persatu berputar di kepalanya. Sesak pun makin terasa, Hana memukul-mukul dadanya, air mata makin deras keluar. Tak kuat menyetir, Hana langsung menghentikan mobilnya. Dia beristigfar sebanyak mungkin agar bisa kembali tenang.
Beberapa saat kemudian Hana menghubungi rekan kerjanya. File dikirim. Perempuan itu memutar mobilnya kembali ke rumah. Begitu sampai di rumah, Hana melangkah cepat mencari ibunya. Ternyata Fatimah masih berada di dapur.
“Ibu lagi apa?” tanya Hana lembut.
“Lo, kok pulang lagi, Nak? Ada yang ketinggalan?” jawab Fatimah dengan senyum lebar meski matanya berkaca-kaca.
Manik hitam Hana menyapu lantai yang sudah terlihat bersih.
“Ibu yang membersihkan lantainya?” Hana kembali bertanya dengan suara lembut.
“Iya, Bi Ina belum datang. Jadi Ibu saja yang bersihkan. Maaf ya, Nak. Ibu bikin lantainya kotor. Tadi Ibu lupa gak bawa sandal saat ke kebun. Eh, mau cuci kaki dulu sebelum masuk malah keran di belakang mati.”
Hana langsung mencium tangan lalu memeluk ibunya, “Hana minta maaf ya, Bu. Hana tadi sudah bentak-bentak Ibu. Hana minta maaf, Bu.” Hana menangis sesenggukan.
“Sejak kapan anak Ibu jadi cengeng? Ibu sudah maafkan, Nak.” Fatimah mengelus lembut punggung anaknya. “Duduklah, Ibu buatkan wedang rempah sebentar. Beberapa hari ini pasti kamu kelelahan dan kurang tidur,” pinta Fatimah.
Allah, sesal Hana kembali menggunung. Nyatanya sang ibu mengambil rempah di kebun untuk dirinya. Dulu hingga sekarang, Fatimahlah yang paling mengerti dirinya. Hana pun memeluk ibunya dari belakang. Dia berjanji dalam hati akan selalu menjaga ibunya penuh kasih.
Beberapa menit setelah Hana menemani ibunya beristirahat di kamar, teleponnya berdering. Perempuan yang masih mengenakan pakaian kantor itu meneteskan air mata mendengar kabar dari rekan kerjanya. Ya, Hana menang meskipun dia tidak bisa datang langsung ke kantor pagi tadi. Hana berlari kecil memasuki kamar sang ibu lalu mencium lembut kening malaikat tak bersayapnya yang terlelap.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang dari keduanya berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan mulia,” (QS. Al Isra ayat 23.)[]