Aku sudah memaafkan Mas Yos dan tentu saja mengikhlaskan hati bahwa Lestari adalah … anak suamiku.
Oleh. Fitriade Septika
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lestari Arumita nama lengkapnya. Kelas dua sekolah dasar. Entah kenapa wajahnya sangat mirip dengan suamiku. ‘Hanya kebetulan saja,’ batinku sendiri tak mau ambil pusing.
Setiap melihat Lestari Arumita entah kenapa aku merasa ada yang ganjil. Ada yang mengganjal. Mungkinkah Mas Yos punya istri selain aku? Sementara pernikahan kami sudah delapan tahun.
‘Bisa jadi dia adalah anak dari salah satu keluarga atau sanak saudara Mas Yos’, pikirku lagi mengusir rasa penasaran yang bersemayam selama beberapa bulan ini. Namun, seingatku Mas Yos tak punya keluarga. Dia adalah anak tunggal.
Aku adalah guru pindahan dari sekolah swasta di salah satu kabupaten di pulau Sumatera, membawakan mata pelajaran Matematika. Karena Mas Yos pindah tugas ke kabupaten sebelah, maka aku juga harus pindah tempat mengajar. Tahun ajaran baru kemarin, aku diterima di sekolah swasta ini.
Kuungkapkan keganjilan hati pada rekan kerjaku, Marni. Selama ini, hanya pada Marni aku menceritakan kisah hidup ini. Sebab rekan guru yang lain terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
“Coba kau minta fotokopi akta lahirnya, Din!” perintah Marni padaku.
“Untuk apa?” Aku berkelit.
“Kau tak ingin mencari tahu siapa ayah kandungnya?” sambung Marni lagi.
“Apa alasanku untuk minta fotokopi akta lahirnya?” Aku mencari alasan sebab saran Marni tampak tak masuk akal. Namun, sarannya itu berhasil membuatku sedikit berpikir. ‘Sepertinya yang dibilang Marni betul juga,’ pikirku.
Aku pun mendatangi Lestari, si gadis kecil berparas cantik. Wajahnya yang jelita tak jauh berbeda dengan … suamiku. Ya, sekali lagi, gadis itu cocok menjadi anak dari suamiku.
“Lestari. Besok bilang ke orang tua kamu untuk bawa fotokopi akta lahir, ya?” ucapku pada gadis itu.
“Fotokopi akta lahir, Bu?” ulangnya padaku.
“Betul.”
“Untuk apa, Bu?”
“Bawa saja, Nak. Bilang, kalau sekolah perlu data setiap anak murid.” Kuutarakan jawaban sekenanya.
Gadis kecil itu pun mengangguk. Satu misiku berjalan mulus. Aku langsung melaporkan hal ini pada Marni.
“Bagus, deh, kalau gitu. Biar kau tak bertanya-tanya lagi. Hilang rasa penasaranmu,” ungkap Marni.
Aku tersenyum.
“Kalau aku jadi kau, berhari-hari bakal susah tidur, Din!” kelakarnya.
Usai mengobrol sebentar dengan Marni, aku pun pulang mengendarai roda dua kesayangan; si Merah. Baik tinggal di kabupaten sekarang dan kemarin, dia masih setia menemaniku.
‘Ah, masak iya Mas Yos kalah setianya dibandingkan si Merah?’ tanyaku dalam hati.
Aku melafalkan doa naik kendaraan sebelum men-starter si Merah. Pelan kukendarai ia. Laju motor tetap dalam kecepatan pelan hingga akhirnya tiba di rumah. Rumah dinas jatah Mas Yos terbilang sederhana, cocok untuk pasangan suami istri tanpa anak.
‘Ah, anak. Kapan Kau titipkan benih di rahimku, ya, Allah?’ batinku perih setiap mengingat itu.
“Assalamu’alaikum.” Seseorang mengetuk pintu.
Itu suara Mas Yos. Lekas aku membukakan pintu untuknya.
“Wa’alaikumussalam. Tumben pulang cepat, Mas?” tanyaku pada lelaki yang sudah delapan tahun bersamaku.
“Mas kurang sehat, Dek. Jadi izin pulang cepat,” jawab Mas Yos.
Tampak wajahnya pucat tak seperti biasa.
“Istirahatlah, Mas. Aku ambilkan minum sebentar. Mas udah makan?” tanyaku.
“Udah, Dek.”
Aku tersenyum dan ke dapur lalu menyerahkan segelas air minum untuknya.
Esoknya, Lestari mendatangiku ke ruang guru. Dia menepati janji membawakan fotokopi akta kelahirannya. Betapa terkejutnya aku ketika membaca nama ayah kandung biologis gadis itu adalah suamiku; Yos Handoko.
Duniaku runtuh. Bumiku seperti berhenti berputar. Selama ini tak pernah ada gelagat mencurigakan dari Mas Yos. Pulang kerja juga selalu tepat waktu. Aku mengambil handphone dan mengusap layarnya. Tanganku bergetar sehingga handphone terjatuh dan air mata yang terus mengalir membasahi layarnya. Marni yang baru masuk ruang guru langsung mendatangiku.
“Ya Allah, kenapa, Din?” tanya perempuan seumuran denganku itu.
Aku semakin terisak di depan Marni seraya menunjukkan fotokopi akta lahir Lestari dan fotokopi KTP Mas Yos yang tersimpan di dompet.
“Astagfirullaah,” ucap Marni seraya memeluk dan mengusap punggungku.
Aku tetap bersikap profesional saat di sekolah. Aku harus tetap mengajar sembari menebar senyum pada anak murid. Tak boleh suasana hati mengganggu aktivitas rutinku.
Rasanya waktu lama sekali berjalan. Aku memperbanyak istigfar. Terbayang di ingatanku, ucapan beberapa hari lalu sebelum memutuskan meminta fotokopi akta lahir Lestari.
Setibanya di rumah, aku kembali meraung hingga pintu yang diketuk berkali-kali oleh Mas Yos tak terdengar.
“Kamu kenapa, Dek? Ada apa? Aku berkali-kali mengucapkan salam dan mengetuk pintu tak ada jawaban,” tanya Mas Yos padaku.
“Kenapa Mas membohongiku?” tanyaku to the point.
“Berbohong apa maksudnya, Dek?” tanya Mas Yos bingung.
“Jangan pura-pura bodoh, Mas!” pekikku.
“Aku mau cerai!” lanjutku lantang.
Gegas Mas Yos ke kamar dan aku mengikutinya dari belakang. Lalu lelakiku itu menemukan fotokopi akta lahir Lestari di kasur yang sudah basah oleh air mataku.
“A … aku bisa menjelaskan ini, Dek,” ucap Mas Yos terbata.
“Tak ada yang perlu dijelaskan, Mas. Buktinya sudah kuat,” potongku cepat.
“Dek … dengerin mas. Kali ini saja. Tolong dengerin mas,” pinta Mas Yos.
“Kenapa Mas sembunyikan ini? Kenapa Mas tega padaku? Apa salahku, Mas? Karena belum bisa memberimu keturunan? Sejak kapan Mas menduakan cinta ini?” Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
“Tenang, Dek. Tenang dulu. Istigfar. Semua tak seperti yang kamu kira,” ucapnya pelan menenangkanku.
Aku menarik napas di sela deraian air mata. Jangan tanya betapa terluka dan kecewanya aku saat ini. Sakit. Sungguh, ini sangat sakit.
“Mas akui kalau mas salah, Dek. Mas minta maaf. Kejadian itu sudah lama. Bahkan sudah delapan tahun yang lalu.” Mas Yos mulai bercerita.
https://narasipost.com/cerpen-cerbung/05/2023/riak-kecil/
Napasku naik turun. “Jadi, kejadian itu seumuran dengan pernikahan kita? Sementara usia Lestari sekarang berusia tujuh, Mas!”
“Dengerin Mas, Sayang. Mas mohon. Mas belum selesai ngomong.”
Aku menurut, sebab selama ini tak melihat satu pun kesalahannya. Bukan, bukan aku cinta buta, tetapi memang aku merasa dia adalah sosok suami sempurna.
“Lestari memang anakku, Dek. Dia darah dagingku. Malam hari saat aku dinas di luar kota tanpamu delapan tahun lalu adalah malam terkutuk bagiku.”
“Malam terkutuk sampai punya anak?” sindirku ketus.
“Maaf. Perempuan malam yang mendatangiku di saat iman ini sedang turun membuatku tak mampu menunggu waktu pulang,” ungkapnya.
Aku mengalihkan wajah dan menggigit bibirku. Air mata masih menetes.
“Sepulang dari sana, aku bingung bagaimana mengatakannya padamu, Dek. Bagai buah simalakama. Sungguh aku tak ingin melukai hatimu.”
“Apakah Mas tahu kalau aku sekarang sangat terluka?” potongku cepat.
“Ampuni mas, Dek. Mas khilaf dan berjanji takkan mengulangi ini lagi. Mas pendosa dan merasa beruntung Allah masih kasih kesempatan hidup sampai sekarang. Setidaknya mas sudah meminta maaf padamu dan memohon ampun pada Allah,” tuturnya lagi.
“Jadi, setelah Lestari lahir, Mas menafkahi keduanya?” selidikku.
“Tidak. Ibunya Lestari wafat saat melahirkan. Selama ini mas hanya menafkahi Lestari … tanpa sepengetahuanmu.”
Hatiku berdesir mendengar ucapan Mas Yos barusan.
“Lalu dengan siapa Lestari tinggal?” Aku belum selesai menginterogasi Mas Yos.
“Dengan paman dan tante dari pihak ibunya. Mereka belum punya anak.”
Aku diam dan tak ingin melanjutkan percakapan itu lagi. Di satu sisi aku lega karena merasa tak perlu bersaing dengan siapa pun dalam mendapatkan cinta Mas Yos, tetapi di sisi lain aku merasa sangat kecewa.
“Maafkan mas, Dek. Tolong maafkan mas. Itu untuk pertama dan terakhir kalinya,” sambung Mas Yos lagi.
“Aku perlu waktu, Mas.”
“Kamu boleh hukum mas, tapi mas mohon maafkan mas, Dek.”
Tatapan mata Mas Yos tampak sungguh-sungguh. Tak ada kebohongan di binar matanya. Ya Allah, tolong kuatkan hatiku ….
##
“Sekarang terserah kau bagaimana, Din.” Marni memberi saran padaku usai kuceritakan kejadian kemarin padanya.
Kupandang wajah Lestari dari mejaku saat masuk ke kelasnya. Ah, gadis kecil itu tak tahu apa-apa. Ternyata firasat seorang istri tentang suaminya tak pernah salah.
Walau Lestari adalah darah daging suamiku, tapi tetap saja dia bukan anakku. Bukan. Dia bukan anakku karena bukan terlahir dari rahimku.
Biarkan Mas Yos tetap menafkahi Lestari sampai gadis kecil itu menikah. Aku berjanji takkan pernah cemburu soal kewajibannya dalam memenuhi nafkah untuk Lestari.
Aku sudah memaafkan Mas Yos dan tentu saja mengikhlaskan hati bahwa Lestari adalah … anak suamiku.
“Aku mencintaimu, Dini. Demi Allah, aku takkan mengulangi kesalahan yang sama. Kalau kamu tak mau mengakui Lestari anakmu, tolong jangan larang aku menemui dan menafkahinya, ia tetaplah anakku” bisik Mas Yos malam hari sesaat sebelum kami bercinta.
Atas dasar cinta pula aku memaafkan dan mempercayai ucapannya.
Aku mengangguk dan membalas, “Selamanya dia anakmu, tapi dia bukan anakku. Sebab, anakku adalah anak yang terlahir dari rahimku.”[]