Lumbung Pangan

"Kini sejauh mata memandang, kebun singkong seluas 600 hektare itu dibiarkan tandus. Bekas gundukan tanah yang dipakai untuk menanam singkong hampir rata dan sudah ditumbuhi rumput. Ampong dan seluruh warga desa pun tak pernah melihat para pekerja di lahan itu memanen singkong yang katanya ditanam di area itu."

Oleh. Ima Khusi
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Ampong!" panggil Djata mengejutkan Ampong yang tengah memetik terong di kebunnya.

"Ada apa? Kenapa sampai ba peluh kayak itu?" Ampong lantas menghentikan aktivitasnya memetik terong. Menghampiri Djata yang terlihat panik, tampak sekali keringat membasahi tubuhnya, napasnya yang ngos-ngosan cukup menggambarkan bagaimana bapak satu anak itu sepertinya sudah berlari kencang.

"Ampong kamu harus lihat, ada kendaraan besar yang berdatangan. Katanya hutan desa juga kebun karet yang akan kita sadap itu akan ditebas," jelas Djata sembari mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan.

"Apa! Kenapa bisa gitu! Siapa mereka?!" Ampong yang sudah berdiri di dekat Djata menatap lekat wajah Djata yang masih terlihat panik.

"Mereka itu suruhan pemerintah, katanya hutan desa itu akan dijadikan area fu … fu … futed apa gitu, sulit ngucapinnya karena bahasa inggris," jelas Djata masih tampak berpikir.

"Udah ayok! Kamu harus lihat dan menanyakan ini sama kepala desa," imbuh Djata lagi sembari menarik tangan Ampong yang masih kebingungan dengan ucapan Djata.

Keduanya lantas bergegas menuju hutan desa, di sana tampak sudah berkumpul warga desa dengan wajah terkejut dan pasrah menyaksikan puluhan kendaraan besar yang dikawal banyak tentara memasuki hutan. Ampong dan Djata yang baru tiba di lokasi pun tampak terkejut menyaksikan hutan desa tempat mereka dan semua warga mencari makan tengah ditebangi dan diratakan.

Ampong dan Djata adalah warga desa Tewai Baru yang tinggal di dataran rendah Gunung Mas dan persis di pinggir sungai Tambun yang bermuara ke sungai Kahayan. Mereka sehari-hari bekerja di kebun dan menyadap karet. Hutan merupakan tempat mereka mengambil kayu untuk membangun rumah dan berburu hewan. Melihat hutan tempat mereka bergantung hidup kini diratakan seperti itu, membuat mereka terkejut, sedih, dan bingung. Apalagi mereka tidak pernah mendapat pemberitahuan sebelumnya kalau hutan akan diratakan.

"Ada apa ini Pak Labih? Kenapa ada banyak Buldozer dan Ekskavator? Dan kenapa hutan kita diratakan seperti itu?" tanya Ampong mendekati Pak Labih si Kepala Desa yang kebetulan juga ada di sana.

"Ini program pemerintah, Pong. Hutan desa ini akan dijadikan area Food Estate atau lumbung pangan."

"Tapi kenapa tidak ada musyawarah dan sosialisasi sebelumnya, Pak? Terus bagaimana dengan kebun karet itu? 'kan sebentar lagi panen, kita akan menyadapnya beberapa hari lagi, apa juga akan diratakan?"

"Iya, Pong. Ini sudah jadi keputusan pemerintah pusat," ucap Pak Labih tanpa memedulikan protesan Ampong akan kebun karet mereka.

Pak Labih lalu menjelaskan bahwa Proses sosialisasi sebenarnya sudah berlangsung, tapi hanya perwakilan masyarakat yang diundang oleh penanggung jawab proyek. Alasannya karena situasi pandemi Covid-19. Jadi, yang diajak musyawarah hanya Kepala Desa, Damang, Mantir, Lurah, Bupati, Kapolsek, dan Kapolres saja.

"Tapi, Pak. Seharusnya warga juga diajak musyawarah, jangan hanya para petinggi dan perangkat desa. Karena yang akan terkena imbasnya langsung, ya kita-kita orang kecil ini," protes Ampong yang diamini para warga.

"Sudahlah kalian nurut saja, gak usah banyak protes. Toh, kalau program ini sukses kalian juga akan ikut senang," pungkas Pak Labih menatap angkuh pada warga yang kini menatap kosong ke arah kendaraan-kendaraan berat yang tengah meratakan hutan desa.

"Sebagai orang kecil tentu kami senang, jika program ini bisa menyejahterakan kami. Tapi kalau justru sebaliknya, kamilah orang pertama yang akan menderita," ucap Ampong. Namun, Pak Labih tak menanggapi dan malah memalingkan wajahnya.

Ampong lantas terdiam dan hanya saling pandang dengan Djata melihat reaksi dari kepala desanya itu. Jujur saja mereka merasa tak puas, bingung, dan masih tak habis pikir dengan program yang kata kepala desanya itu program pemerintah. Hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu berbagai macam hewan yang bisa dikonsumsi, serta tempat mencari ramuan tradisional.

Namun, kini mereka harus pasrah dan mau tak mau harus rela kehilangan lahan yang secara turun-temurun sudah mereka tanami sayur terong, kundur, kacang panjang, dan pohon karet oleh keluarganya. Terbayang sudah di benak mereka, kalau hutan dan lahan perkebunan diratakan begini, ke depannya mereka pasti akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

"Terus, rencananya hutan itu mau mereka apakan, Pak? Kenapa harus hutan produksi di desa ini yang dipakai?" Ampong kembali mencerca Pak Labih dengan banyak pertanyaan, pria itu seakan masih tak terima dan tak habis pikir kenapa hutan di desanya ini yang harus diratakan.

"Ya katanya sih ini untuk program nasional lumbung pangan singkong. Tapi kenapa lahan Food Estate itu menggunakan hutan produksi desa ini, saya juga tidak tahu," jelas pak Labih cuek.

"Kenapa harus singkong?" tanya Ampong lagi yang juga diangguki Djata yang dari tadi hanya mendengarkan pak Labih dan Ampong berbicara.

"Saya juga tidak tahu karena tidak ada penjelasan dari mereka," jelas Pak Labih.

"Tapi, Pak. Kontur tanah di desa kita ini berpasir, mana cocok kalau ditanami singkong," sahut Ampong.

"Ya, mungkin mereka sudah menelitinya, Pong. Ini 'kan program pemerintah, pastinya mereka punya tenaga ahli yang mumpuni di bidangnya."

"Semoga saja begitu, Pak. Sebab mustahil singkong tumbuh di atas tanah berpasir," ucap Ampong.
"Saya khawatirnya malah gagal, Pak. 'Kan kalau tanam singkong harus lihat kondisi tanah, benar tidak? Walau bodoh, kita masyarakat ini, 'kan tahu kondisi tanahnya," imbuh Ampong yang direspons Pak Labih dengan hanya menatap intens Ampong.

Jauh dalam benaknya Pak Labih membenarkan apa yang dikatakan Ampong. Karena sebenarnya ia juga tak yakin program lumbung pangan singkong itu akan berjalan lancar melihat kontur tanah di desanya ini. Namun, ia pun tak bisa berbuat banyak mengingat ini adalah program pemerintah, dan sebagai kepala desa ia harus mendukung penuh apa yang sudah jadi keputusan dari pemerintah pusat.

"Sudah terima saja, Pong. Kamu ini kebanyakan protes," sarkas Pak Labih mencoba menyangkal ucapan Ampong. Pria itu lantas menghela napas dan melanjutkan ucapannya, "Sapa tahu ada untungnya untuk warga di sekitar lahan, karena saat para perangkat desa bermusyawarah dengan penanggung jawab proyek itu, mereka mengatakan akan merekrut penduduk lokal untuk ikut mengelola. Itulah alasan kenapa akhirnya kami menerima keputusan hutan itu diratakan dan dijadikan proyek program Food Estate," pungkas Pak Labih lantas pergi meninggalkan Ampong dan para warga yang hanya bisa saling pandang.

"Semoga saja begitu. Karena seperti yang sudah-sudah kita ini hanya akan jadi penonton dan korban," celetuk seorang warga yang diamini yang lainnya.


Setahun sudah hutan produksi itu diratakan. Lahan yang katanya akan ditanami singkong itu, nyatanya sampai kini tak menghasilkan apa pun. Bahkan janji untuk melibatkan penduduk lokal dalam proyek pengerjaan lahan itu pun hanya sebatas janji kosong. Warga bahkan tidak pernah diperbolehkan untuk mendekati lahan karena dijaga oleh petugas. Kalaupun mereka nekad masuk maka petugas yang berjaga akan mengusir mereka.

Kini sejauh mata memandang, kebun singkong seluas 600 hektare itu dibiarkan tandus. Bekas gundukan tanah yang dipakai untuk menanam singkong hampir rata dan sudah ditumbuhi rumput. Ampong dan seluruh warga desa pun tak pernah melihat para pekerja di lahan itu memanen singkong yang katanya ditanam di area itu.

Malah sejak hutan dibuka, warga desa Tewai Baru pun selalu mengalami banjir, dan kondisi ini semakin hari semakin parah. Ketika hujan turun, air sungai Tambun dan Tambi yang melintasi desa selalu meluap. Kalau sebelumnya hanya 50 sentimeter, sekarang bisa 1,5 meter lebih. Hal Ini terjadi karena hutan yang telah gundul itu letaknya berada di dataran tinggi dan berfungsi sebagai penyerap air.

"Ya, beginilah kalau program tak direncanakan dengan baik, dan tak diteliti dulu. Ujung-ujungnya pasti gagal," ucap Ampong yang kini tengah berkumpul dengan teman dan beberapa warga.

"Iya dan parahnya lagi sejak pembukaan lahan itu, desa kita ini sering kebanjiran," sahut seorang warga menahan kesal. Karena sedikit banyak wargalah yang terkena imbas dari perataan hutan yang katanya untuk program Food Estate sebagai lumbung pangan singkong, tapi nyatanya kini hanya menjadi lapangan tandus yang merugikan banyak pihak terutama warga desa.

"Terus bagaimana ini? Apa kita hanya akan diam saja? Kalau lahan tandus itu terus dibiarkan, bisa-bisa tenggelam desa kita ini. Apalagi kalau hujan deras, saya sudah capek harus terus terjaga karena khawatir air jadi lebih tinggi dari sebelumnya," keluh Djata.

"Ya mau gimana lagi, kita hanya bisa menunggu tindakan dari pemerintah saja. Karena mereka yang punya wewenang, apakah lahan itu akan dibiarkan tandus atau akan ditanami pohon lagi," sahut Ampong.

"Tapi, Pong. Ada baiknya kamu usul ke Pak Labih biar disampaikan ke orang-orang atas agar hutan dipulihkan. Bilang, warga maunya program ini distop saja, karena yang terkena imbas dari dampak buruknya itu para penduduk sekitar ini," ucap Djata meminta pada Ampong. Karena hanya Ampong menurut Djata dan warga yang dianggap pintar, paling vocal, dan berani di antara mereka untuk menyampaikan aspirasi para warga

Namun, Ampong hanya bisa menghela napasnya kasarnya. Apa yang dikatakan Djata dan beberapa warga itu memanglah benar, tapi Ampong tak yakin keluhan dan usulan warga akan didengarkan, karena dari awal sudah jelas program Food Estate yang direncanakan pemerintah itu sudah mengabaikan peran penduduk lokal termasuk pengetahuan mereka. Padahal yang paling tahu kondisi tanah dan sistem pertanian di daerah Gunung Mas ini adalah warga lokal. Bahkan Ampong di awal pernah menyampaikan ketidakyakinannya akan program Food Estate yang ingin menanam singkong, tapi Pak Labih malah menegurnya dan mengatakan agar tidak banyak protes, dan harus terima saja dengan apa yang sudah jadi keputusan pemerintah pusat.

Kini apa yang menjadi kekhawatirannya dulu terbukti. Program Food Estate yang katanya untuk lumbung pangan hanya tinggal angan, tanam singkong mandek, hutan habis, singkong pun tidak jadi. Jika sudah begini siapa yang rugi? Yang jelas masyarakatlah yang terkena dampaknya.

Beginilah kalau suatu urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ima Khusi Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Keutamaan Iktikaf dalam Menyambut Lailatulqadar
Next
Kemiskinan Ekstrem dan Kapitalisme
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram