Tumpah

"Berpasang tangan di lapangan hijau dengan beberapa gundukan tanah tampak sibuk. Bibir mereka komat-kamit tiada henti. Hati Ramzi seakan runtuh melihat pemandangan yang paling dia hindari selama ini. Bagaimana mungkin acara pengajian keislaman diwarnai dengan tradisi kesyirikan ini?"

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Awan menggulung sinar cerah sang Raja Siang, bergumpal dan berarak dengan riang. Sepanjang netra memandang, langit gelap seakan kontraksi hendak menumpahkan hujan. Sesekali kilatan cahaya membelah mendung yang setia menggelantung. Adikara turun tangan agar awan itu enyah dari segala penjuru pandangan.

Roda bebek tahun 70-an menggelinding di atas jalanan berlubang. Netra si penyetir fokus ke depan agar tak melewati lubang. Sesekali bokongnya terangkat saat lubang tak dapat dihindari. Suara klontang-klontang mengiringi deru bebek merah itu. Suasana mulai menggelap. Hatinya ingin segera tiba di lokasi sebelum berkah hujan menyapa bumi.

Dengan mahir, tangannya membelokkan setir ke tempat parkir. Dia memarkir bebek kesayangannya di bawah pohon flamboyan. Langkah kakinya bergegas menuju warung yang telah separuh buka. Kakaknya sudah lebih dulu tiba di sana, tampak sedang memasang beberapa papan tripleks tebal di atas tanah yang masih ada sisa basah. Segera tangan kerempengnya membantu sang kakak setelah meletakkan segala peralatan dapur di atas meja.

Mendung seakan betah berayun di atas langit Mandraluka. Langit kian menggelap meski jarum pendek jam masih di angka 8 dan jarum panjang di angka 1. Pemuda berwajah tirus itu mulai sibuk menyiapkan bahan jualan. Ya, Ramzi fokus menata dagangan yang akan digelar usai menata peralatan dapur di sekitar kompor. Sementara kakaknya pamit untuk menjemput mamak khawatir keburu hujan.

Suara guntur mulai bertabuh dan bergemuruh. Satu jam lagi pengajian akan dimulai. Tampak kesibukan di lapangan itu semakin riuh, terutama panitia acara. Ramzi yang menata meja dan kursi keluar sebentar melihat kondisi. Betapa terkejutnya dia dengan kerumunan di depan panggung. Rasa khawatir menyergapnya. Segera ia bergegas menuju kerumunan itu.

"Astagfirullah, innalillah …."

Berpasang tangan di lapangan hijau dengan beberapa gundukan tanah tampak sibuk. Bibir mereka komat-kamit tiada henti. Hati Ramzi seakan runtuh melihat pemandangan yang paling dia hindari selama ini. Bagaimana mungkin acara pengajian keislaman diwarnai dengan tradisi kesyirikan ini? Dia pikir ada insiden kecelakaan, ternyata beberapa tetua kampung dan tokoh masyarakat memamerkan kesyirikan dengan siraman kendi. Sapu lidi dengan cabe juga melengkapi ritual mereka. Ramzi merasa marah melihat ritual itu.

Dia tak bisa diam saja. Selama ini, mamak dan bapak tak pernah mengajarinya melakukan kesyirikan. Apalagi setelah ia mengenal Islam secara kafah. Ritual itu jelas di luar nalarnya. Perkara cuaca itu urusan Allah. Ilmu sains itu berjalan sesuai sunnatullah. Hujan dan panas tak akan pernah mengingkari kehendak Allah.

"Hentikan!"

Semua kesibukan terhenti. Tatapan kemarahan mengikuti sumber suara. Hati Ramzi sedikit gentar melihat sorot penuh amarah, namun kemarahannya lebih besar. Ya, dia marah karena mereka menyekutukan Allah.

"Dengan segala kerendahan hati, saya memohon para guru untuk menghentikan ritual ini. Mari kita memohon pada Allah agar cuaca pagi ini kondusif dan pengajian berjalan lancar," sluara lembut Ramzi bergetar. Dia beranikan diri mencegah kemungkaran yang dilihatnya.

Benar saja, cemoohan dan cibiran menyerang dirinya. Ramzi tak habis pikir kenapa mereka melakukan kesyirikan. Para pemangku adikara di kampung ini malah turut andil dalam ritual tersebut. Dengan langkah gontai, ia kembali ke warung. Mamak dan kakaknya sudah ada di sana. Mata Ramzi memerah karena menahan marah.

Mamak membentangkan kedua tangan saat Ramzi hendak mencium tangannya. Pelukan hangat mamak dinikmati Ramzi. Tanpa sebuah penjelasan, Ramzi paham bahwa mamak bangga padanya. Senyum kakak satu-satunya pun terukir indah. Dengan segera mereka membereskan kembali dagangannya. Mereka urung mengais rezeki di tempat itu. Saran mamak adalah tutup stand. Mamak khawatir ritual itu nanti membuat muamalahnya tak berkah di sini. Jadi, lebih baik mereka tutup stand saja.

Mereka memanggil bentor untuk membawa sebagian dagangannya. Tossa Kak Azam sudah tak muat. Mereka bawa dagangan ke stand dicicil, tapi sekarang juga standnya sudah harus bersih. Jadilah bentor sebagai solusi. Rintik hujan mulai menyapa bumi tanpa peduli ritual yang masih berlangsung.

"Kok pulang, Bu Fat?" tanya Bu Rini, pemilik stand sebelah.

"Iya, Bu. Kami harus pulang sekarang," jawab mamak santai sembari naik ke Tossa.

Ramzi segera menyalakan motor bebeknya karena dia tak bawa jas hujan. Tatapan heran, iba, dan penuh tanya para pemilik stand lainnya mengikuti kepergian rombongan keluarga Ramzi yang sudah semakin menjauh dari lapangan. Sebagian kecil pemilik stand ada yang mengetahui terkait ketidaksukaan keluarga Ramzi pada ritual di depan panggung. Mereka malah bersyukur mereka pulang, berkurang satu saingan.

"Alhamdulillah."

Napas lega dan rasa syukur terucap dari lisan pemuda berusia tujuh belas tahun itu. Tangannya segera mendorong pagar yang mulai korosi dengan kuat agar Tossa dan bentor tak lama menanti di luar. Dengan hati lega dan tanpa sesal, mereka menurunkan dagangannya dan memasukkan kembali ke warung.

Hujan lebat sudah tumpah. Angin puyuh kian besar. Abang sopir bentor diajak masuk oleh Kak Azam untuk beristirahat dan menunggu hujan reda.

"Kalau Allah berkehendak, tak akan ada yang mampu mencegah. Allah Mahakuasa," kata mamak diikuti anggukan kedua putranya.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Negara Pemalak Bukan Negara Perisai
Next
Polemik Serius di Balik Proyek IKN nan Prestisius
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram