Sepercik Asa dan Doa

"Tak boleh hawa nafsu diperturutkan suka-suka. Presiden mahasiswa yang kemarin menjadi korlap itu mengemukakan sebuah alasan kenapa memilih mundur, sebab aksi yang dilakukan mulai ditumpangi oknum. Terbukti dengan adanya kericuhan massa yang tak diharapkan."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Mundur, mundur, mundur! Segera mundur!" seru salah seorang korlap di depan gedung anggota dewan itu.

Dengan satu komando, ratusan pasang kaki mundur, menepi di bawah ketapang yang agak jauh dari pagar betis aparat. Tanda tanya menyergap mereka, "Kenapa mesti mundur?" Guyuran keringat membasahi tubuh mereka, bahkan terlihat di bagian punggung. Jas almamater mereka pun bersimbah keringat. Kemunduran mereka bukan karena takut pada jejeran aparat dengan senjata lengkap, tapi mereka taat pada komando yang diserukan sang koordinator pelaksana.

Aroma pembelotan isu mulai tercium kuat. Negosiasi alot antara utusan peserta aksi damai dengan pihak pejabat tetap berlangsung. Sorotan kamera mulai mengarah pada satu titik kerumunan massa aksi tersebut. Di sana, tampak seorang yang tak asing tengah dikeroyok dan diamuk massa. Suasana berubah mencekam tersebab adanya tunggangan aksi pengeroyokan itu.

Usut punya usut, orang yang dikeroyok adalah orang yang sering disebut boneka penguasa. Kericuhan tak dapat dihindari, hingga babak belur dan lebam menyapa tiap pori-pori wajahnya. Seakan tiada sesal, dia terus meracau dengan ancaman saat dievakuasi oleh aparat. Sementara tuntutan aksi itu tertelan kericuhan dan lenyap begitu saja. Kekecewaan mahasiswa yang punya niat lurus semakin membara.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita harus membawa kemarahan ini dalam jiwa kita, marah pada kelakuan dan kebijakan penguasa yang semena-mena. Kita telah lantang bersuara dan akan tetap bersuara. Kini, aksi kita telah diracuni penyusup dan sepertinya ditunggangi para boneka bayaran. Jadi, tidak ada gunanya kita bertahan. Marilah kita istigfar dan berdoa agar semua ada titik terang. Perjuangan belum usai," kata korlap memberikan wejangan pada ratusan kepala yang sudah siap balik badan.


Kicauan burung di pagi hari mengantar langkah anggota aksi yang kemarin mundur. Ruang berdinding krem pudar menjadi tujuan mereka. Ruangan itu membisu kala rapat evaluasi digelar. Suara bariton pemuda bertubuh tinggi tegap itu membius setiap indra pendengaran. Kata-katanya bernas dan bertuah. Dia kembali ungkapkan alasan mundur dari arena aksi kemarin bukan karena takut. Biarlah mereka dikatakan pecundang, namun syariat Islam tetap kuat dipegang.

Tak boleh hawa nafsu diperturutkan suka-suka. Presiden mahasiswa yang kemarin menjadi korlap itu mengemukakan sebuah alasan kenapa memilih mundur, sebab aksi yang dilakukan mulai ditumpangi oknum. Terbukti dengan adanya kericuhan massa yang tak diharapkan. Jika mengikuti hawa nafsu, di sanalah nanti mereka akan terjebak jeratan hukum. Kesempatan mengeluarkan segala kesal dan amarah dengan mengikuti arus pengeroyokan memang terpuaskan. Namun, larangan dakwah tanpa kekerasan ia genggam teguh.

"Bisa saja kita habisi dia. Tapi, Rasulullah tak pernah mengajarkan hal itu pada kita. Beliau berdakwah saat fase Makkah la madiyah alias tanpa kekerasan," kata Zainal.

Dia pun menggambarkan bahwa Rasulullah berinteraksi dengan kabilah-kabilah yang berhaji juga dengan hikmah dan mauidzoh hasanah. Tak sedikit pun Rasul membalas meski beliau tersakiti secara fisik. Baru ketika fase Madinah, yakni adanya Daulah Islam dengan Piagam Madinah, beliau mengirim saroya atau ekspedisi militer. Ekspedisi pertama dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy guna menunjukkan eksistensi dan membuat gentar musuh.

Semua anggota BEM terkesima dengan penuturan lugas sang Presma tentang sejarah Nabi saw. itu. Apa jadinya jika mereka ikut-ikutan? Bisa jadi mereka akan jadi tumbal alias kambing hitam. Bukan tuntutan yang kemudian diperhatikan, justru mereka akan mendekam di balik jeruji besi. Diam-diam, rasa syukur menyusup dalam hati mereka karena telah memiliki korlap yang pemikirannya luar biasa. Sementara mereka tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk mundur.

Benar kata Zainal, mereka memang para pemuda, agen perubahan. Hanya saja, perubahan seperti apa? Jika hanya terfokus pada ganti orang, apakah ada jaminan akan lebih baik? Bukankah setiap lima tahun sekali sejak reformasi terus berganti meski ada yang dua periode, lantas apa yang terjadi? Mereka mengihsas permasalahan masih bertebaran di seluruh pelosok negeri, bahkan di dunia ini.

Evaluasi itu berjalan serius penuh pemikiran. Zainal memanfaatkannya untuk berdakwah pada teman-temannya yang selama ini sulit menerima ide Islam. Dengan penggambaran yang terang, Presma yang disegani itu menjelaskan bahwa Islam adalah sebuah ideologi, bukan semata agama ritual. Karut-marut kehidupan karena ideologi kapitalisme tak layak dipertahankan, harus diubah sistemnya. Kalau diganti dengan sistem komunisme, jelas juga buktinya, komunisme pun tak layak dijadikan ideologi kehidupan. Perbandingan tiga ideologi di dunia dia gambarkan jelas dan lugas.

"Jadi, semoga saudara-saudara pahami bahwa ideologi kapitalisme dan komunisme itu bersumber dari akal manusia, sifat kita manusia adalah lemah, terbatas, dan butuh pada yang lain. Sementara Islam bersumber dari wahyu Ilahi, Allah Swt. Lantas jika kita ingin kembali pada sebuah peradaban yang lebih baik, kenapa tak kembali pada aturan dari Zat Yang Mahabaik?"

Pertanyaan retorik itu menutup evaluasi yang membuat hati anggota BEM dan perwakilan senat fakultas di kampus itu mendung. Akal mereka mulai berfungsi sebagaimana mestinya. Berbagai pertanyaan berkeliaran dalam belantara ketidaktahuan mereka selama ini mengenai perubahan hakiki dan hakikat kehidupan. Perjalanan diskusi semakin hangat.

Secercah cahaya menyinari sebagian besar forum itu. Zainal menjawab pertanyaan dengan baik dan bahasa yang mudah dipahami. Ada sebuah kesepakatan, mereka akan berjuang di jalan ketaatan dan siap menambah wawasan Islam dengan mengkajinya secara kaffah. Seulas senyum terukir di bibir Zainal, bersamaan dengan genangan air di netranya. Rasa haru menyeruak dalam dadanya. Sepercik asa dan doa ia langitkan saat itu juga.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Taiwan, Akankah Bernasib Sama dengan Ukraina?
Next
Imran Khan, Retorika Populis dan Permainan Dua Kaki ala Pakistan
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram