Haruskah Menikah Lagi?

"Satu-satunya jalan agar Kang Andri punya anak yaitu dengan menikah lagi, pikirku. Biarlah aku mengalah, demi kebahagiaan Kang Andri dan keluarganya."

Oleh: Tini Ummu Faris

NarasiPost.Com-Entah sudah ke berapa kali aku merasa sangat tidak nyaman dengan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang selalu diajukan oleh hampir semua orang yang mengenalku, "Kapan punya anak?" Wajar jika mereka menanyakan hal itu, karena usia pernikahanku dengan Kang Andri sudah memasuki tahun ke-7.

Kang Andri—suamiku—memang tak mempermasalahkan kami belum memiliki anak. Hanya saja, perkataan orang-orang terutama orang-orang terdekat kami begitu mengganggu pikiranku. Hampir setiap hari aku menangis. Aku merasa kami sudah ikhtiar maksimal. Memohon kepada Allah agar segera diberikan keturunan, memeriksakan ke dokter kandungan sudah berkali-kali. Diagnosis beberapa dokter kandungan mengatakan bahwa kami tidak ada kendala apa pun. Belum lagi mertuaku yang hampir setiap waktu menanyakan bagaimana haidku, sudahkah telat haid bulan ini apa belum. Ah… Rasanya ingin berlari saja menghindari semua orang yang bertanya tentang anak.

"Tak usah banyak dipikirkan tentang apa yang orang lain sampaikan. Tetaplah berdoa dan tawakal kepada Allah." Kang Andri selalu menenangkanku.

Ingin rasanya membahagiakannya dengan memberinya keturunan. Namun aku tak kuasa. Kadang merasa diri tak berharga. Belum lagi omongan orang lain yang terlalu tajam seakan-akan mengiris hatiku. Mereka mengatakan aku mandul, tak berharga menjadi istri, dan lain-lain.

Satu-satunya jalan agar Kang Andri punya anak yaitu dengan menikah lagi, pikirku. Biarlah aku mengalah, demi kebahagiaan Kang Andri dan keluarganya. Kang Andri anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Pasti mereka berharap memiliki cucu dari Kang Andri. Tapi… Kang Andri mau tidak ya kalau dia menikah lagi? Dari sebelum menikah pun Kang Andri sudah berazam dan menyampaikan padaku kalau dia ingin punya istri hanya satu saja. Mmm… Itu kalau kondisinya ideal, ya. Sekarang, sudah tujuh tahun lebih pernikahan kami, namun belum dikaruniai seorang anak pun. Ya Allah, tolonglah kami…

Sabtu sore ini cukup cerah. Belum ada agenda ke luar rumah. Kajian pekanan di Masjid An-Nur sedang diliburkan karena Ustaz Ahmad sedang umroh. Kulihat Kang Andri sedang duduk santai sambil menyimak berita di televisi. Kuletakkan dua gelas teh manis dan pisang goreng di meja.

"Kang, ada yang ingin saya bicarakan." Saya berusaha memberanikan diri memulai pembicaraan.

"Ada apa, Neng, sepertinya serius banget?"

Perlahan aku menyampaikan kepada imamku tentang kerisauanku selama ini. Penantian hadirnya buah hati yang cukup lama membuat hatiku galau juga, tersebab omongan orang-orang terdekat, baik kerabat maupun sahabat yang selalu menanyakannya. "Kapan kami punya anak?" Masih mending cuma omongan biasa. Kadang cibiran bahkan nyinyiran yang membuatku merasa sangat tak berharga. Aku sampaikan ke Kang Andri untuk berikhtiar punya keturunan dengan jalan menikah lagi. Aku sampaikan kalau aku rida bila dia menikah lagi. Terlebih demi memperoleh keturunan.

"Astagfirullah…" Kang Andri yang sedang minum teh hampir saja tersedak, kaget mendengar penyampaian dariku.

"Neng salihah, tak adakah cara lain? Neng sudah tak mencintai Akang lagi?" ucap Kang Andri.

"Demi Allah, Kang. Aku sampaikan ini karena aku mencintaimu. Akang tak boleh egois. Ada banyak yang menanti kehadiran buah hati kita. Keluargaku juga keluarga Akang. Terlebih mama Akang sangat antusias sekali ingin segera menimang cucu. Tak mungkin kan kalau aku yang menikah lagi…" Aku mencoba meyakinkan agar Kang Andri mau menikah lagi.


Ahad pagi seperti biasa kami silaturahmi ke rumah mertuaku. Ahad siang biasanya ke rumah kedua orang tuaku. Begitulah aktivitas rutin yang kami lakukan setiap pekan. Alhamdulillah rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Sebenarnya kadang aku bosan berkunjung karena selalu ada pertanyaan yang sama tentang anak. Sedih pasti, namun kali ini aku sudah matang mau membicarakan tentang Kang Andri ke mama mertuaku. Ayah mertua sudah meninggal dua tahun sebelum kami menikah. Jadi, setiap pekan anak-anak mama berkumpul di rumah mama.

Walaupun Kang Andri sudah wanti-wanti agar tak membicarakan hal ini, namun aku merasa justru harus disampaikan ke mama, kakak, dan adik Kang Andri. Mumpung lagi berkumpul, pikirku.

"Ran, kenapa harus dengan cara Andri menikah lagi? Masih banyak cara agar kalian memiliki anak, bukan?" Teh Dian, kakaknya Kang Andri langsung menanggapi.

"Neng, sudah jangan dibahas lagi!" Suamiku mengingatkan, dia keberatan sekali aku membicarakan hal ini di keluarganya.

Aku menyampaikan pada suamiku dan keluarganya bahwa aku rida bila dipoligami. Demi kebahagiaan semuanya.

"Tidak, Rani! Andri tak perlu menikah lagi. Insyaallah ada jalan lain untuk kalian. Tetap bersabarlah dan terus berdoa, jangan putus. Mama tak setuju kalau Andri menikah lagi. Enak di Andri gak enak di kamu, Rani! Berpoligami tak sesederhana yang dibayangkan. Walaupun diperbolehkan oleh syarak, namun tak harus dijalankan, bukan! Terlebih lagi suamimu keberatan kalau dia harus menikah lagi. Tak mudah untuk laki-laki berbuat adil. Sabarlah, Rani sayang…" Mama menyampaikan keberatannya.

"Kalau kalian mau, bisa mengadopsi anak saja. Barangkali nanti terpancing untuk segera punya anak." Mama menyampaikan masukannya.

Adopsi. Mmm… Sempat aku dan suamiku pikirkan opsi adopsi ini. Namun, mau mengadopsi anak siapa, ya? Kami pikir, kalau bukan keluarga, kami keberatan. Kami bingung, kalau kami mengadopsi anak laki-laki, nantinya dia bukan mahramku, kalau mengadopsi anak perempuan, suamiku kelak bukan mahramnya. Terlebih, pemahaman adopsi kami berbeda dengan orang lain. Di masyarakat, adopsi ini kadang akhirnya menghilangkan nasab anak karena anak dinasabkan ke orang yang mengadopsi. Sementara yang kami pahami, dalam Islam tidak boleh ketika mengangkat anak dinasabkan kepada kita, namun harus tetap dinasabkan kepada bapak si anak. Mmm… Galau lagi!

Sejak saat itu, aku sibukkan diriku dengan kegiatan yang lain. Tujuanku hanya satu, agar tak fokus pada keinginanku untuk punya anak.

Hingga suatu waktu, adik kandungku—Rina—melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan. Qadarullah adik semata wayangku meninggal pasca melahirkan si kembar, setelah sebelumnya mengalami pendarahan yang sangat banyak.

Keluargaku yang seharusnya berbahagia dengan kelahiran si kembar anak adikku, namun kembali berduka karena Rina meninggalkan si kembar dan kami untuk selama-lamanya. Suami Rina sangat sedih harus kehilangan istrinya.

Tak bisa kami terus bersedih, karena si kembar anaknya Rina harus ada yang merawat. Akhirnya, si kembar dibagi dua. Yang perempuan dirawat oleh keluarga suami Rina. Anak yang laki-laki diberikan hak pengasuhan kepadaku. Masyaallah… Masih dalam suasana berduka, akhirnya aku dan suami menerimanya. Ya Allah, inikah jawaban kegalauan kami selama ini? Terima kasih, Ya Rabbi. Engkau tunjukkan jalannya. Semoga Rina husnulkhatimah. Aku dan suami berjanji akan mengurus anak Rina dengan sepenuh hati.

Tamat.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Tini Ummu Faris Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Wacana Reshuffle Kabinet Berembus, Kepentingan Politik Terendus
Next
Laga Mafia dalam Panggung Kapitalisme
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram