"Sepertiga malam yang syahdu, Ara membentangkan sajadahnya. Melaksanakan salat malam, dan memilin pinta kepada Sang Maha Membolak-balikkan Hati. Ia ingin mamanya meninggalkan pekerjaannya. Air mata berurai membasahi tangan yang menangkup di wajahnya. Ara tidak kuat menahan gejolak hati. Bahunya terguncang dalam tangis, ada sesak di dada. Maka dia menunduk dalam posisi sujud, meminta kepada Allah untuk kebaikan mama."
Oleh. Rahmi Ummu Atsilah
NarasiPost.Com-“Ara, Mama pulang,” kata mama bahagia, sambil memasuki pintu depan rumah minimalis dengan aksen mewah itu.
Mama memang punya kunci serep. Mendengar mamanya datang, Ara menutup aplikasi Al-Qur’an di ponselnya. Dia bergegas menyambut mamanya di ruang tamu. Dipeluknya wanita muda cantik apalagi dengan dandanan glamor namun elegan itu. Wajahnya tampak letih. Namun, senyum terus mengembang menyongsong Ara, putrinya yang sudah beranjak remaja.
Ara sedih sekali melihat mamanya. Terbayang murka Allah pada penyanyi wanita, yang melenggak-lenggokkan tubuhnya di depan banyak orang. Termasuk laki-laki asing yang bukan mahramnya. Ya, mamanya adalah seorang penyanyi. Biduan sebuah kelompok musik yang biasa mengisi hiburan dari orang-orang yang memiliki hajatan pernikahan ataupun acara-acara lainnya. Ara mengusap air di sudut matanya. Dia tahu apa yang dilakukan mamanya untuk dirinya
Semenjak ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan, mama yang menggantikan perannya. Bekerja keras menghidupi dan membiayai kebutuhannya. Biaya sekolah favorit yang mahal. Juga, kebutuhan hidup yang tak terelakkan. Mama tak mau membebani siapa pun baik dari saudaranya maupun saudara ayahnya. Karena semua sedang berada dalam kesusahan. Tidak ada yang berlebih dalam kekayaan. Bahkan, sepertinya mama-lah yang memiliki penghasilan lumayan dari hasil dia menjadi biduan. Namun, Ara tidak bangga dengan itu semua, justru dia merasa ketakutan.
Semenjak mengenal Bu Alfi, salah seorang guru di SMA-nya, Ara banyak belajar Islam kepadanya. Dari sana dia tahu, apa yang telah dipilih mamanya sebagai jalan penghidupan adalah salah. Memang, perubahan penampilannya dengan kerudung dan baju kurung telah membuat mamanya terperangah dan sedikit keberatan. Namun, perubahan perilaku, dan prestasi Ara yang semakin baik telah menahannya untuk mencegah Ara merubah penampilan.
Ara mengambilkan mama teh panas yang sudah dibuatnya tadi. Mungkin sekarang sudah menjadi hangat. Mama duduk di sofa, seraya melepas jaket dan rok panjangnya. Ara bergidik melihat dan membayangkan mamanya berpakaian seseksi itu dan bergoyang-goyang di panggung, dengan tatapan puluhan bahkan mungkin ratusan pasang mata. Mata Ara mulai memanas kembali menahan air mata.
“Ma, Ara ingin bicara sesuatu pada Mama,” Ara melirik mamanya takut-takut.
“Apa, Sayang?” Mama memasang telinga sambil meminum teh hangat yang dibuat Anaknya. Jarang sekali Ara meminta izin untuk berbicara padanya.
“Ma, berhenti saja jadi penyanyi ya?” Mama hampir menyemburkan teh yang terlanjur berada di rongga mulutnya.
“Itu untuk kamu, Sayang, untuk masa depan kamu, Mutiara,” kata mama menatap lekat Ara. Ara memalingkan pandangan ke pangkuannya. Menunduk khawatir. Dia berusaha mencari dan menata kata-katanya, supaya mama bisa menerima dan tidak tersinggung karenanya.
“Kita cari jalan rezeki yang lain ya, Ma, yang Allah rida." Tapi rupanya Ara telah salah memilih kata-kata. Mamanya bangkit dan memberondongnya dengan banyak kata.
“Mama tidak mencuri, Ara. Mama bekerja dan mama dibayar. Siapa yang mengajari Ara berani sama Mama? Guru sekolahmu itu, ya?” Ara memang sempat bercerita tentang Bu Alfi gurunya yang telah banyak memberikan pengetahuan tentang Islam yang sebenarnya sudah dianutnya sejak lahir. Ara sedih sekali melihat respons mamanya yang kemudian pergi mandi dan segera masuk kamar. Ara masih di sana melihat ke arah kamar mamanya dengan berlinangan air mata.
Sepertiga malam yang syahdu, Ara membentangkan sajadahnya. Melaksanakan salat malam, dan memilin pinta kepada Sang Maha Membolak-balikkan Hati. Ia ingin mamanya meninggalkan pekerjaannya. Air mata berurai membasahi tangan yang menangkup di wajahnya. Ara tidak kuat menahan gejolak hati. Bahunya terguncang dalam tangis, ada sesak di dada. Maka dia menunduk dalam posisi sujud, meminta kepada Allah untuk kebaikan mama.
Tak tahu berapa lama ia larut dalam pinta, hingga ia pun tertidur. Dalam tidur ia bermimpi melihat lafal tauhid dan sosok seperti mama menggapainya. Ara mengangkat kedua tangan sikap berdoa. Bahagia dia melihatnya. Meski tak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi, namun suasana itu sangat menyenangkannya.
Pagi itu, seperti biasa mama membuatkan Ara sarapan. Ara melihat mamanya tampak memiliki suasana hati yang sedang tidak nyaman. Mungkin karena kejadian sepulang kerja tadi malam. Berbeda dengan dirinya yang sudah merasa lebih baik. Kepada Allah-lah tempatnya memohon dan bersandar.
"Ara, pagi ini Mama akan antar ke sekolah.” Mama terus menyantap sarapannya. Namun, baik Ara ataupun dirinya sama-sama tidak berselera. Mendengar itu, Ara tidak memiliki prasangka kecuali mama hanya ingin membersamainya. Meskipun biasanya dia bermotor sendiri.
“Mama nanti malam ada pekerjaan,” katanya terdengar mengambang. Ada rasa ngilu di hati Ara. Dia melepaskan sendok makannya dan bergegas meninggalkan meja makan setelah kemudian meminum sedikit air.
“Kenapa tidak dihabiskan?” Tanya mama.
“Alhamdulillah, sudah kenyang, Ma. Ara tunggu di depan ya?” Dia tetep berusaha tenang. Meskipun, ada yang bergemuruh di dadanya.
Sesampainya di sekolah, bel masuk berbunyi. Setelah mencium tangan mamanya, Ara menuju kelas yang berada di gedung paling belakang. Namun, mama masih di sana, di pos satpam dan tampak berbicara dengannya. Satpam menunjuk ke ruang guru. Ara memperhatikan dari kejauhan. Pandangannya mengikuti ke arah mama pergi. Beliau ke ruang guru.
“Cari siapa Mama?” Bisiknya lirih. “Jangan-jangan?” Tiba-tiba ada perasaan tidak enak dalam hatinya. Setengah berlari dia mengejar mama yang sudah sampai terlebih dahulu di kantor. Dia telah mendengar dan melihatnya. Mama mengultimatum Bu Alfi. Sebagai siswa dia tidak bisa sembarang masuk kantor tanpa izin. Dia tidak bisa mencegah mama. Semua guru telah memasuki ruang kelas kecuali Bu Alfi.
“Apa yang Ibu ajarkan kepada anak saya? Kenapa dia jadi berani dengan saya. Tolong Ibu tidak usah dekati anak saya lagi.” Bu Alfi hanya terperangah mendengarnya dan menjawab singkat.
“Baik, Bu,” sepertinya Bu Alfi tidak ingin urusan menjadi panjang dan kejadian ini diketahui banyak orang.
Ternyata perangai mama tidak sehalus dan selembut serta secantik wajahnya. Ara paham itu karena kerasnya kehidupan mama. Apalagi dengan meninggalnya ayah setahun setelah dirinya dilahirkan, membuat mama merasa hidup sungguh tidak adil. Dia merasa seperti seutas tali rumpang yang tak berdaya. Ara-lah kekuatan yang membuatnya bertahan dalam kekalutan. Mama pun keluar dari kantor, segera saja Ara bersembunyi dan membiarkannya pergi. Dia mendatangi Bu Alfi, meraih dan mencium tangannya erat.
“Maafkan Mama, Bu. Mama tidak tahu. Maafkan Mama, Bu.” Tangis Ara meledak.
“Tidak apa-apa, Ara. Ibu sangat paham kondisi mamamu. Kita bersabar saja dan banyak-banyak memohon kepada Allah.” Bu Alfi mengusap kepala Ara yang masih mencium tangan kanannya.
Malam itu, sepulang mama bekerja, mama tidak lagi memanggil Ara. Dia berharap Ara sudah tertidur karena malam sudah semakin larut. Ketika pintu hendak ditutup ada seseorang mendorongnya kasar hingga mama mundur beberapa langkah. Seorang laki-laki telah membekap mulutnya. Membuat mama tak berkutik. Tasnya terlempar di dekat pintu. Mama mencoba meronta sekuat tenaga, namun sia-sia, laki-laki itu terlalu kuat.
“Cantik, bukannya tadi kamu pakai baju seksi di panggung? Kenapa harus ditutup sekarang?” Lelaki itu membuka kasar baju sweter yang dipakai Mama menutupi baju panggungnya. Mama ketakutan, air matanya merembah. Mau berteriak dia tidak bisa.
Perlawanan Mama ternyata cukup membuat gaduh, hingga Ara yang masih belum tertidur, keluar menuju suara gaduh itu. Menyaksikan apa yang terjadi di depannya, dada Ara berdebar kencang. Dia menendang lelaki itu hingga terjatuh ke samping. Lelaki itu kaget mendapat serangan tiba-tiaba. Namun, seketika bangkit dan memukul muka Ara. Ara terpental ke pintu. Darah segar mengucur dari bibirnya yang pecah. Ara pening, matanya berkunang-kunang. Meskipun dia juara karate tingkat SMA di kotanya, tapi tenaga lelaki itu terlalu kuat untuknya.
“Ara!! Tolong!” Mama berteriak, namun suaranya yang masih ketakutan seperti tertelan malam. Rumah itu agak berjauhan dengan tetangga. Lelaki itu melihat kasar ke arah Ara, seraya mendekatinya.
“Jangan sakiti anakku!” Mama histeris namun seperti kehilangan tenaga. Ara menyadari yang akan terjadi. Dia melihat tas mama teronggok di sampingnya. Segera saja dia mengambil ponsel dan menelepon.
“Pak Polisi, saya kirim lokasi, tolong segera datang! Di sini ada perampok!” Mendengarnya, lelaki itu ternyata tak mau ambil risiko.
“Sial!” Katanya dan segera keluar. Tak lama menjelang terdengar deru suara motor 150 cc menjauh. Motor lelaki itu. Ara menangis sesegukan. Dia bersandar di tembok dengan kepala menunduk. Mama mendekatinya dengan merangkak. Rupanya sisa ketakutan membuatnya seperti kehilangan tenaga.
“Ara tidak apa-apa?” Mama terlihat menyesal. Mama mengambil ponsel yang digenggam Ara. Tidak ada notifikasi panggilan di sana. Rupanya Ara tidak menelepon polisi. Dia hanya menggertak lelaki itu. Mama memeluknya dalam tangis. Dia menelepon teman perawatnya agar datang ke rumah untuk merawat luka Ara.
Pagi itu di meja makan, mama memegang dagu Ara. Dilihatnya luka bibir Ara yang sudah mengering.
“Ara, hubungkan Mama dengan Bu Alfi ya, Mama ingin belajar Islam. Mama akan buka usaha baru,” kata mama tersenyum. Mendengar itu, Ara memeluk mamanya bahagia.[]