Rintik Kepiluan

"Rintik kepiluan tak semata karena takdir. Lebih dari itu, ada area pilihan manusia, mau berkubang dalam pusaran kezaliman atau mau mewujudkan perubahan dengan kebangkitan pemikiran. Sengkarut urusan kedelai hanyalah setitik kepiluan yang menerpa Sri dan tetangganya."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Suasana riuh penggilingan kedelai memamerkan kelesuan para pekerja. Meski masih pagi, gairah dan semangat untuk bekerja seakan tertimbun oleh sampah-sampah kulit kedelai yang mulai berjamur. Ada setitik rasa enggan yang menggelayuti pekerja saat mendengar produksi dikurangi 60% dari biasanya. Itu berarti, upah mereka juga akan berkurang.

Daun-daun jati teronggok tak berdaya. Warnanya mulai menguning karena telah lama menumpuk menunggu antrean. Di hari-hari normal, 3000 lembar daun jati langsung habis dalam sekali produksi. Ini sudah sepuluh kali produksi, daun jati belum sampai separuh yang terpakai. Pasokan kedelai yang mengikuti jejak Harun Masiku membuat juragan tempe pusing mencari stok kedelai.

Bukan sekadar kabar burung, kedelai memang menghilang tanpa jejak dengan alasan pasokan impor berkurang. Para pekerja dengan upah penuh saja masih kebingungan mencari tambahan uang belanja, kini produksi berkurang lebih dari 50%, tentu saja mereka harus serabutan mencari tambahan suaka demi dapur mengepul.

"Sabar yo,Mbok. Aku tak mancing disek," kata Jauhari pada istrinya saat menyerahkan upah Rp15.000,00.

Sri, istri Jauhari tersenyum sambil berucap hamdalah ketika menerima upah itu. Jauhari bersyukur, dia memiliki istri pengertian dan tidak pernah menuntutnya harus 50 ribu paling sedikit sehari. Sri telah memahami makna dan hakikat kehidupan. Dia mengerti betapa rintik kepiluan menyapa siapa saja saat ini. Jauhari pun mulai mengikuti jejak istrinya untuk memahami hakikat hidup dengan mengkaji Islam.

Andai ia belum mengkaji Islam, mungkin peristiwa turunnya produksi tempe yang berdampak pada upah akan membuatnya stres. Hal itu banyak terjadi pada sebagian rekan kerjanya. Mereka lebih memilih jalan pintas dengan membeli togel ataupun sabung ayam, bahkan ada yang berani ikut judi online dan pinjol.

Angan Jauhari menerobos pada kejadian tadi pagi. Seperti biasa, lepas subuh, dia langsung ke tempat kerja untuk mengolah tempe. Namun, ada sebagian rekan kerjanya yang mogok kerja mengikuti beberapa produsen lainnya. Hanya lima orang saja yang datang ke tempat kerja. Problematika ini membuat juragan dilema. Jika ia tutup produksi sementara, tak akan ada pemasukan sama sekali, namun ketika memaksa produksi, bahan baku begitu mahal.

Beruntung dia memiliki juragan yang juga sepemikiran dengan istrinya. Polemik kedelai ini tak membuatnya goyah. Juragan mengatakan padanya bahwa penurunan produksi memang bagian dari qada Allah, namun langka dan tingginya kedelai tidak lepas dari kebijakan dan regulasi impor yang ditetapkan negara. Jauhari memahami maksud juragannya, namun sebagian rekan kerjanya tak peduli hal itu. Mereka hanya ingin upah yang tetap dan bahkan bisa bertambah.

Semua industri tempe dan tahu mengalami kelesuan. Mogok kerja yang sempat dilakukan ternyata tak membuahkan hasil apa-apa. Justru, aspirasi yang mereka lakukan terhanyut dalam kubangan regulasi keran impor, tak ada solusi signifikan. Sudah menjadi keputusan final pemerintah bahwa kedelai dan beberapa pangan mengandalkan impor. Swasembada yang dicanangkan tak jua terealisasi sehingga membuat rakyat kecil seperti Jauhari hanya bisa gigit jari.

Jauhari mengusap wajahnya. Dia segera bergegas menaruh alat pancing ke motor bebek warisan orang tuanya. Setelah pamit pada Sri, dia segera berangkat agar tak keburu siang. Honda merah produksi tahun 1975 itu melaju menyisakan bunyi cempreng di telinga Sri. Lafaz doa dari lisan Sri mengiringi tiap putaran roda sang suami tercinta, Jauhari.

Rintik kepiluan terus menyapa kehidupan dengan sangat manja. Banyak manusia yang terjebak dalam pragmatisme kehidupan. Sehingga, pasrah yang salah kaprah menjadi teman sehari-hari. Pasrah pada keadaan yang terjepit tanpa mau mengurai akar masalah demi mencari solusi adalah kesalahan fatal. Itu pernah dijalani Sri dan suaminya.

Rintik kepiluan tak semata karena takdir. Lebih dari itu, ada area pilihan manusia, mau berkubang dalam pusaran kezaliman atau mau mewujudkan perubahan dengan kebangkitan pemikiran. Sengkarut urusan kedelai hanyalah setitik kepiluan yang menerpa Sri dan tetangganya. Namun, kepiluan lebih besar masih setia menemani kehidupan. Saat aturan manusia berkibar di alam semesta. Sementara aturan Allah dibiarkan terlantar begitu saja.

Sri dan juga suaminya, berupaya menghapus setitik kepiluan dengan turut berjuang mewujudkan perubahan. Sri berharap aturan manusia ini segera berganti aturan Ilahi yang diterapkan oleh institusi negara. Sehingga, kebijakan yang diramu dan diterapkan tak bertentangan dengan syariat Islam. Kesabaran dan keistikamahan dalam berjuang menyertai azam, tawakal, dan upaya Sri bergabung dalam jemaah dakwah, begitu pun Jauhari.

Mereka tak ingin larut dalam kepasrahan yang salah kaprah. Akar masalah kedelai dan problematika lainnya adalah karena diterapkannya aturan manusia yang sarat akan kepentingan. Selain itu, asasnya hanyalah manfaat dengan berpatokan pada untung rugi semata. Maka, perjuangan Sri dan Jauhari adalah perjuangan untuk melanjutkan kehidupan Islam demi menghapus rintik kepiluan yang telah menyelimuti bumi.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Pengaturan Pengeras Suara Masjid, Mencegah Intoleran atau hanya Pembatasan?
Next
Saat Kekuasaan Begitu Menggoda
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram