Sejak Ibu Suri memerintahkan agar rakyat jelantah meninggalkan minyak goreng, tidak ada lagi orang yang berjualan gorengan, kerupuk, dan semua yang digoreng. Kerupuk dijadikan seblak, sedangkan tempe diolah menjadi masakan kekinian seperti steak. Penjual penyetan juga tidak lagi menggunakan minyak goreng. Semua serba dibakar, dipanggang atau dikukus. Karena itu, jangan berharap bertemu gerobak dengan tulisan "Jual gorengan" di negeri itu. Semua telah diganti dengan tulisan "Jual bakaran", atau "Jual kukusan".
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Alkisah di sebuah negeri, hiduplah sepasang suami istri bernama Jogelo (Ojo Gelo) dan Rasemi (Ora Seneng Minyak). Mereka memiliki warung nasi pecel yang sangat terkenal. Setiap hari, banyak pembeli berdatangan ke sana.
Pagi itu, seperti biasanya, Pak Jogelo membantu Bu Rasemi menyiapkan dagangan. Pak Jogelo membantu menanak nasi terlebih dahulu. Sambil menunggu nasinya matang, Pak Jogelo menggoreng kacang tanah menggunakan nanangan (wajan dari tanah liat). Srang sreng, srang sreng, bunyi sutil bertubrukan dengan kacang yang berloncatan di wajan meramaikan dapur sederhana mereka. Setelah kacangnya matang, Pak Jogelo berkata kepada istrinya,
"Bune, kacangnya sudah matang. Ini mau kutumbuk. Apa bumbu-bumbunya sudah siap?"
"Sudah, Pakne. Ini sudah kusiapkan semua. Cabe, daun jeruk purut, kencur, garam, dan gula merah sudah siap semua," jawab istrinya.
"Tolong bawa ke sini, Bune. Mau kutumbuk sekarang," kata Pak Jogelo.
"Ya, Pakne," jawab istrinya.
Tak lama kemudian, dapur kembali ramai. Crot, bruk, bruk, suara alu beradu dengan bumbu dan kacang tanah. Sementara itu, Bu Rasemi menyiapkan bahan-bahan pecel lainnya. Ada taoge, kangkung, dan kemangi. Setelah dibersihkan, taoge direbus beberapa menit. Setelah itu, si kangkung menyusul. Sementara kemangi sudah duduk manis di wadahnya.
Setelah sayuran siap diletakkan di wadahnya masing-masing, Bu Rasemi menyiapkan lauk-pauk. Nah, ini yang istimewa. Tidak ada tempe goreng atau rempeyek seperti pecel pada umumnya. Di warung ini tidak menggunakan minyak goreng. Tempe gorengnya diganti dengan sate tempe bumbu merah. Sedangkan rempeyek diganti dengan kerupuk goreng pasir. Eits, jangan salah ya. Meskipun kerupuk goreng pasir, tapi kerupuknya berbumbu seperti rempeyek.
Sebenarnya, bukan hanya warung mereka yang tidak menggunakan minyak goreng. Sejak Ibu Suri memerintahkan agar rakyat jelantah meninggalkan minyak goreng, tidak ada lagi orang yang berjualan gorengan, kerupuk, dan semua yang digoreng. Kerupuk dijadikan seblak, sedangkan tempe diolah menjadi masakan kekinian seperti steak. Penjual penyetan juga tidak lagi menggunakan minyak goreng. Semua serba dibakar, dipanggang atau dikukus. Karena itu, jangan berharap bertemu gerobak dengan tulisan "Jual gorengan" di negeri itu. Semua telah diganti dengan tulisan "Jual bakaran", atau "Jual kukusan".
Kondisi itu membuat rakyat sehat dan bahagia. Mereka sangat bersyukur mempunyai pemimpin yang cerdas dan peduli pada kesehatan rakyatnya.
"Aku merasa bersyukur sekali, Pakne. Hidup di negeri ini adalah anugerah yang sangat besar. Kita punya pemimpin yang selalu bisa memberi solusi bagi persoalan rakyatnya. Waktu cabe mahal, kita disuruh menanam sendiri. Minyak susah didapat, kita disuruh mengukus atau merebus. Masyaallah, kita semua jadi sehat ya, Pakne," kata Bu Rasemi.
Mendengar perkataan istrinya, Pak Jogelo pun menjawab, "Iya, Bune. Kita memang beruntung memiliki pemimpin seperti mereka. Tidak ada lagi yang sakit jantung, kolesterol tinggi, stroke. Pokoknya, semua sehat karena tidak menggunakan minyak goreng."
Pak Jogelo memang tidak pernah gelo (sakit hati) dengan orang lain, termasuk kepada para pemimpin di negeri itu. Ia juga mudah sekali melupakan perilaku buruk para pemimpin negerinya. Sifat yang dimiliki Pak Jogelo seperti ini ternyata juga dimiliki oleh hampir semua rakyat di negeri tersebut.
Begitulah rakyat di negeri tanpa gorengan. Mereka merasa sangat berbahagia. Ide Ibu Suri yang luar biasa membuat mereka tidak perlu lagi mengantre berjam-jam untuk membeli minyak goreng. Tidak ada lagi emak-emak yang pingsan apalagi meninggal karena kelelahan saat mengantre minyak goreng.
Semuanya merasa bahagia. Para pengusaha CPO bahagia karena bisa bebas menjual dagangannya ke luar negeri. Mereka pun mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat. Para direktur di perusahaan jasa asuransi kesehatan juga bahagia karena nasabah yang melakukan klaim asuransi semakin sedikit. Hal itu semakin menambah keuntungan mereka. Tak ketinggalan para pejabat, mereka juga bahagia karena tidak lagi repot mengurusi rakyatnya. Begitulah kehidupan di negeri tanpa gorengan.
Hubungan rakyat di negeri tanpa gorengan dengan pemimpin mereka sangat baik. Mereka tidak saling melaknat seperti yang digambarkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
وشرار أىٔمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونهم
"… Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian membenci mereka, mereka pun membenci kalian. Kalian melaknat mereka, mereka pun melaknat kalian."
Entahlah, mungkin mereka sudah lelah dengan semuanya dan menganggap semua yang terjadi adalah takdir yang harus dijalani dengan rasa pasrah dan semeleh marang Gusti (berserah diri pada Sang Pencipta).[]
Masya Allah, keren satire mba