Janabijana

Banyak sekali pelanggan yang menyayangkan kepulangannya ke tanah air. Bahkan, para konsulat RI yang menjadi pelanggannya berjanji akan memberikan beasiswa S-2 di sana. Namun, permintaan pulang dari kedua orang tuanya adalah alarm yang harus ditaati. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Dzaki tak ingin bernegosiasi penangguhan waktu lagi dengan emak dan bapak.

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Tap tap tap," suara kaki kuda beradu dengan aspal berlubang. Jejeran kelapa gading memberi kesejukan bagi siapa saja yang lewat. Sejauh mata memandang, hamparan padi merunduk memanjakan netra yang penuh rasa syukur. Di sepanjang jalan beraspal tidak rata, seorang pemuda duduk menikmati keindahan alam yang telah lama ditinggalkannya.

Enam puluh purnama sudah ia tak menyapa janabijana yang elok. Dadanya membuncah saat wangi kemuning menyapa indra penciumannya. Daun kelapa melambai lambat-lambat mematuhi titah Allah Sang Pencipta kehidupan. Pemuda yang sedang naik bendi itu terus merapalkan zikir di belakang kusir. Dzaki memejamkan mata mengenang masa kecilnya.

"Awakmu putrane Pak Saiful, Le?" tanya Pak Kusir.

"Inggih, leres, Pak," jawab Dzaki sopan.

Pak Kusir menoleh dengan tatapan bahagia. Pemuda di sampingnya ini selalu menjadi buah bibir warga karena kesuksesannya di luar negeri. Bukan sebagai TKI, tapi menuntut ilmu. Dzaki menjawab semua pertanyaan Pak Kusir dengan sangat santun. Dia merasa Pak Kusir teman ngobrol yang nyaman.

Tak banyak yang berubah dari tata letak dan tata desa sejak ia meninggalkan kampungnya. Hanya ada satu dua bangunan yang mulai didinding tembok dan beratap genteng. Sebagian besar masih berdinding anyaman bambu dan seng, beratap rumbia. Rumah-rumah panggung juga masih ada. Netra bulat dan jernih Dzaki menyapu setiap rumah yang dulu menjadi tempat singgahnya saat pulang sekolah dari dusun bawah. Surau panggung Ustaz Maulana juga masih berdiri kokoh, tak ada yang berubah kecuali warna dinding yang mulai memudar. Bendi terus melaju naik.

"Kalau sudah lulus kuliah, muleh yo, Le!" kata emak dengan netra yang berembun.

"Inggih, Mak. Kulo mohon doa dan restunepun panjenengan," jawab Dzaki pada emaknya.

Masih segar dalam ingatan, keberangkatannya ke Bumi Kinanah diiringi isak tangis emak, keluarga, dan tetangganya. Selama di Kairo, dia hanya berkirim surat lewat Pak Tinggi atau Pak Kades. Lautan rasa syukur terus disenandungkan dalam tiap nafasnya. Dia bisa menempuh sisa SMA dan kuliah di Al-Azhar karena beasiswa full. Emak pun rida atas apa yang menjadi pilihannya. Maka, setelah gelar Lc. tersemat di belakang namanya, dia langsung pulang ke tanah air menuju janabijananya.

Bendi yang ditumpangi Dzaki berhenti tepat di rumah kuno berdinding serap jati. Ada rumah baru di sebelahnya, rumah dengan arsitektur semi Timur Tengah yang dia ambil dari sketsa maktabah Alexandria. Ya, Dzaki ingin memuwujudkan mimpi bapaknya yang ingin memiliki rumah seperti dalem kiai tempatnya mondok tsanawiyah dulu. Kini, rumah sederhana itu sudah jadi. Semua biaya dia kirim dari Kairo. Dia bekerja paruh waktu, dia membuka kafe di pinggiran Sungai Nil dengan modal nol awalnya. Kafe tenda menjadi saksi keuletan dan kegigihannya mengumpulkan uang. Masakan khas Jawa menjadi andalan menu, yakni pecel.

Tiap tetes keringat mengiringi ikhtiar yang diramunya. Bait-bait doa terus dilangitkan demi meraih rida-Nya. Dzaki bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Ia pun istikamah bergabung dalam jemaah dakwah fikriyah di sana. Sisa waktu yang dimiliki, ia ke maktabah atau dengan melaksanakan ittisholat maksudah sebagaimana Baginda Nabi dulu melakukannya di Makkah. Sementara kafe tendanya hanyalah buka setelah kajian subuh sampai jam 8 pagi saja. Walau ia hanya sebentar membuka kafe, namun ratusan pelanggan setia mengantre, mulai mahasiswa sampai duta konsulat. Maka, dia terus bersyukur pada Allah yang menjadikannya manusia yang ditutup segala aibnya dan dilimpahkan rezekinya. Hanya rezeki berkah yang diharapkannya.

Banyak sekali pelanggan yang menyayangkan kepulangannya ke tanah air. Bahkan, para konsulat RI yang menjadi pelanggannya berjanji akan memberikan beasiswa S-2 di sana. Namun, permintaan pulang dari kedua orang tuanya adalah alarm yang harus ditaati. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Dzaki tak ingin bernegosiasi penangguhan waktu lagi dengan emak dan bapak. Mereka sudah sepuh. Selain itu, kesempatan birrul walidayn secara langsung tak ingin disiakannya.

"Ya Allah, Pak. Tole datang. Masyaallah!" Emak histeris melihat Dzaki turun dari bendi.

Pak Kusir sibuk menurunkan barang bawaan Dzaki. Langkah lebar kaki Dzaki menghampiri emak. Dengan takzim, tangan emak direngkuh dan diciumnya. Pelukan erat dan hangat emak menyapa perasaan Dzaki, pelukan bahagia dan penuh kerinduan. Rasa haru menyeruak dan bersemayam dalam dada. Bapak sudah tampak di belakang emak, maka Dzaki pun menyongsong tangan bapak, menciumnya dengan khidmat.

Di sinilah janabijananya. Pengabdian Dzaki telah lama ditunggu. Titah bapak memintanya pulang agar meneruskan estafet dan menguatkan dakwah bapak. Dzaki sangat bersyukur, bapak adalah tetua kampung yang dikenal sebagai pendakwah. Kini, bapak telah sejalan dengannya. Dakwah yang diemban adalah dakwah Islam dengan metode berpikir untuk meluruskan akidah umat dan melanjutkan kembali kehidupan Islam. Kini, dusun atas dan tengah tak perlu jauh-jauh ke bawah untuk salat Jumat dan pengajian.

Sudah ada bangunan masjid di dekat rumah Dzaki. Masjid Abdurrahman bin Auf berarsitektur Timur Tengah juga. Dzaki dan beberapa teman kecilnya yang mengajukan proposal pada KBRI dan CSR sebuah perusahaan besar di kecamatannya. Warga pun berlomba-lomba sedekah, bahkan ada yang bersedekah tenaga dalam pembangunan itu. Tentu saja kepulangan Dzaki disambut suka cita oleh tetangga yang kebetulan lewat. Mereka memeluknya penuh kerinduan.

Mentari telah beranjak ke atas kepala, sang Raja Siang itu menyinari alam semesta. Kabar kepulangan Dzaki begitu cepat tersiar ke seluruh pelosok kampung. Ziarah para tetangga dusun dan desa silih berganti. Keramaian tamu Dzaki melebihi ramianya hari raya. Emak menerima mereka penuh suka cita. Emak sibuk menyiapkan hidangan ala kadarnya sebagai bentuk penghormatan pada tamu. Sanak saudara dan handai tolan antusias mendengar kisah Dzaki selama di Bumi Kinanah. Mereka takjub dengan kisah Nabi Musa, kisah Khilafah Abbasiyah, dan suasana pendidikan. Mereka pun terharu mendengar bagaimana Dzaki banting tulang untuk bisa kirim uang bangun madrasah dan rumah untuk kedua orang tuanya.

Janabijana Dzaki bisa dibilang wilayah terpencil dan tertinggal, letaknya di dataran tinggi yang akses menuju kecamatam saja paling cepat hanya bisa ditempuh dengan bendi. Hanya Pak Tinggi dan juragan tanah yang memiliki pick up dan motor bebek. Menempuh pendidikan pesantren di kecamatan saja bagi mereka sudah luar biasa, apalagi sampai ke luar negeri di bumi para nabi. Decak kagum para tetangga tiada hentinya.

"Semua kemudahan dan nikmat ini hanya dari Allah, Pak, Bu. Saya hanyalah makhluk yang lemah, penuh keterbatasan, kekurangan, dan butuh pada yang lain. Allah Mahabaik memberi saya kesempatan menuntut ilmu di Mesir. Insyaallah saya akan membantu para generasi di tanah janabijana saya ini agar bisa menggapai cita-citanya dalam menuntut ilmu," kata Dzaki pada tiap tamu yang datang bergelombang.

Sejak kedatangan Dzaki, kampungnya sangat hidup. Kegiatan pendidikan formal dan nonformal digagas Dzaki dan beberapa teman masa kecilnya dulu, tentu ada campur tangan bapak dan Pak Tinggi. Halqoh kids dan halqoh teens juga menghiasi aktivitas desa Dzaki. Bahkan, beberapa remaja dari desa tetangga dititipkan di madrasah yang Dzaki bangun. Tak ketinggalan, penduduk pun bersemangat mengkaji Islam pada bapak dan Dzaki sepekan dua kali di masjid Abdurrahman bin Auf.

Cahaya Islam mulai bersinar terang di wilayah terpencil itu. Penerangan listrik sudah tidak dibatasi lagi setelah pengajuan proposal Dzaki pada PLN Kabupaten direstui. Maka, kegiatan dakwah kini tak lagi terbatas waktu. Kajian Islam bersemi indah di tanah kelahiran Dzaki. Tentu saja ada sekelompok orang yang menghalangi, namun kegigihan dan keistikamahan Dzaki, bapak, dan teman-temannya tak pernah surut. Maka, semakin banyak penduduk yang tercerahkan dengan akidah Islam. Meski usia Dzaki baru 21 tahun, namun kematangan berpikir membuatnya sangat disegani dan dihormati di janabijananya.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Merebut Fatwa, Memahat Luka
Next
Bisa Menulis Itu Rezeki
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram