"Mas, maafkan aku jika dalam mendampingimu selama ini banyak yang tak berkenan di hati, aku sangat merindukanmu, Mas." Itulah pesan terakhir dari istrinya sebelum ia mengembuskan napas terakhir dan menghadap Sang Pencipta."
Oleh. Nining Sarimanah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Mengaji menjadi bagian dari aktivitas Selo saat ini di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga dan juga buah hatinya. Ia mulai menyadari bahwa paras tampan tidak menjamin kehidupan dalam rumah tangga akan bahagia dan baik-baik saja.
Depresi sempat ia alami tatkala masalah terus membayangi dirinya dan ia bingung harus bagaimana menjalani hari demi hari. Suasana di rumah benar-benar tak nyaman, mungkin seperti neraka, itulah yang ia rasakan saat itu. Berusaha memperbaiki komunikasi dengan suaminya seakan sulit ia wujudkan, berangkat pagi pulang malam.
Begitu banyak hal yang ingin ia ceritakan agar bebannya bisa berkurang. Acapkali ketika ia bercerita tentang betapa letihnya mengurus buah hati mereka, juga mengerjakan pekerjaan rumah yang hanya ia seorang diri, mendapat respons dari mulut Yana berupa bentakan, caci maki, dan dengan enteng dia mengatakan kalau semua itu adalah konsekuensi sebagai ibu. Seolah Yana lupa, jika Selo hanyalah manusia biasa yang ingin sedikit dimengerti dan disayang.
Namun, sejak teman SMA-nya dulu menyarankannya untuk ikut pengajian, kini cara pandang Selo dalam menghadapi masalah mulai berubah. Rasa tenang dan sabar mulai bisa dia terapkan, meskipun hatinya berontak ingin rasanya menyudahi pernikahannya dengan Yana. Satu-satunya yang membuat Selo khawatir adalah mental kedua putranya yang akan terganggu dengan perangai kasar Yana.
"Assalamualaikum." Terdengar salam dan ketukan pintu dari luar rumah. Selo belum beranjak keluar dari kamar putranya untuk membukakan pintu. Kedua buah hatinya baru saja terlelap tidur, ia tidak ingin membuatnya terbangun jika ia meninggalkannya sebentar. Dibelainya rambut kedua putranya itu agar mereka tidur pulas.
Ucapan salam kembali terdengar. Selo pun tergesa-gesa menuju ruang depan dan membuka pintu. "Waalaikumusalam," seru Selo. Tampak wanita sebaya dengan dirinya berdiri di sisi pintu rumah, seluruh tubuhnya dibalut dengan pakaian syar'i dan senyum merekah menambah rasa teduh melihatnya.
"Masyaallah, Din, sudah lama berdiri di luar?" tanya Selo pada sahabatnya. Ia kaget melihat sahabatnya datang mengunjunginya di saat dia membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita.
Yang dibutuhkan Selo saat itu ada seseorang yang mau mendengarkan masalah yang selama ini membuatnya tertekan. Dinilah salah satu sahabatnya yang paham agama sejak SMA dulu. Entah kenapa Selo merasa nyaman ketika berada di dekatnya.
"Aah, gak juga, Sel, baru saja mengetuk yang kedua kalinya keburu kaubuka pintu," lirih Dini pada sahabatnya itu sambil tersenyum.
"Mari masuk, Din. Aku gak nyangka kamu kok datang di saat yang tepat!" ucap Selo serta menatapnya seolah enggak percaya akan kehadirannya. "Allah Maha Tahu apa yang dibutuhkan hamba-Nya, masyaallah," gumam Selo di hatinya.
"Dari tadi kuperhatikan tingkahmu kok aneh saat aku datang, seperti nemu harta karun aja?" canda Dini saat melihat roman muka Selo begitu bahagia.
"Kamu itu di saat begini, masih saja bercanda," jawab Selo sambil berlalu melangkah ke dapur untuk menyiapkan minum.
Mendengar ucap Selo, Dini agak kaget. "Kenapa lagi sih, apa suamimu itu yang membuat kamu bersedih lagi?" Dini menghela napas panjang. Masalah Selo sebenarnya sudah diketahuinya sejak beberapa bulan terakhir, ketika Selo meneleponnya. Namun, ia belum bisa mengunjunginya dikarenakan aktivitasnya sangat padat. Ia hanya bisa menyarankan agar ikut pengajian supaya mendapat pencerahan terhadap masalah yang ia hadapi.
"Mana anakmu yang kembar? Aku kangen banget sama mereka berdua, gemesnya," tanya Dini pada Selo yang datang menghampiri sambil membawa teh hangat.
"Anak-anak baru saja tidur di kamar, Din," jawab Selo dengan nada datar. Dini hanya mengangguk dan duduk di sofa sambil menyimpan tasnya di atas meja.
"Kok kamu murung banget sih dan ada apa dengan tubuhmu itu, kamu sakit?" tanya Dini penasaran.
Selo memang terlihat letih dan kurang sehat. Namun, ia tidak lagi memedulikan kondisi dan kesehatan tubuhnya. Ia disibukkan dengan mengurus pekerjaan rumah dan juga kedua anak kembarnya. Ibunya telah tiada sejak dua tahun yang lalu karena serangan jantung saat bekerja, sementara ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Selo hidup sebatang kara tidak memiliki saudara kandung. Saudara dari ayah dan ibunya jauh dari tempat tinggal Selo. Kondisi inilah yang membuat Selo tidak ada tempat untuk mengadu saat ia membutuhkannya.
Selo tak menjawab pertanyaan Dini. Ia hanya menunduk dan terlihat di sudut matanya keluar buliran air mengalir bebas di kedua pipinya itu. Suara tangis pun pecah mengisi keheningan pada siang hari itu.
"Sel, ada apa? Aku salah ya, sudah banyak bertanya?" nada Dini makin pelan, ia merasa tak enak tiba-tiba Selo menangis di depannya.
"A-ku gak apa, Din," lirih Selo terbata-bata. Sementara Dini menatapnya penuh tanya. Selo berusaha tegar kembali, sambil kedua tangannya mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya dan perlahan mengubah posisi tubuhnya untuk tegak kembali.
"Aku sudah berusaha sabar, Din, menghadapi suamiku itu, tapi aku juga manusia biasa terkadang rasa capek dan putus asa memenuhi jiwa dan pikiranku," ucap Selo. Ia memandang Dini dengan penuh arti seakan ia pasrah dengan keadaan yang dialaminya.
"Aku mengerti akan kondisimu, tapi cobalah kuatkan dirimu demi anak-anak. Mereka masih kecil dan membutuhkan kasih sayang dari ibunya. Yakinlah bahwa setiap ujian yang Allah berikan bukan berarti Allah benci hamba-Nya. Tapi, yang Allah inginkan agar kamu dekat dengan-Nya," Dini mencoba memberi sedikit ketenangan pada Selo.
"Yaa Ayyuhal ladziina aamanuus ta'iinuu bish shabri wash sholaat innallaaha ma'a shoobiriiin," jelas Dini. Ia ingin mengingatkan Selo, bahwa sabar memang tak mudah dilakukan kalau tanpa takwa yang menyertainya. Dengan sabar itulah seorang hamba-Nya akan meraih pahala yang tak terbatas juga surga yang disiapkan untuknya.
Selo mendengarkan nasihat sahabatnya itu dengan saksama. Ia pun berkata, "Benar Din, aku menyadari, diri ini belum sepenuhnya dekat dengan-Nya, masih banyak kewajiban yang aku abaikan. Aku merasa sabar itu sudah cukup bagiku, ternyata aku salah, sabar harus sesuai dengan apa yang Allah inginkan," terang Selo pada Dini. Ia pun menunduk dan mencoba mengingat kembali seluruh perbuatan yang pernah ia lakukan ternyata berada di jalan yang salah. Sejak saat itu, ia berazam untuk hijrah karena Allah.
Dini pun memeluk hangat tubuh kurus Selo. Ia memandangnya dengan harapan bahwa Selo mampu mengatasi setiap ujian yang datang bertubi-tubi. Dini tak rela sahabatnya itu, hilang arah yang berakibat depresi seperti yang pernah dialami Selo dulu.
"Aku bangga padamu, Sel, kau mudah untuk dinasihati dan aku mendukungmu, teruslah gapai cinta-Nya dengan memenuhi hak-Nya. Insyaallah kau tidak akan pernah sendiri dan serahkan semua urusanmu pada Sang Pemilik Hati karena hanya Dia-lah yang akan membolak-balikkan hati hambanya," ujar Dini pada Selo sambil memegang erat kedua tangan Selo.
Beberapa bulan kemudian, kini Selo tampil beda. Seluruh tubuhnya tertutup dengan pakaian yang Allah perintahkan, jilbab dan kerudung. Tampak dari rona wajahnya lebih ceria meskipun rumah tangganya belum menunjukkan kabar baik. Tapi kali ini Selo lebih menikmatinya, dia anggap ujian itu tanda sayang dari Allah pada hamba-Nya. Rasa letih dalam mengurus rumah tangga, dia niatkan ibadah kepada-Nya sehingga terasa ringan mengerjakannya. Namun, tubuh Selo menunjukkan sebaliknya, ia sering kali mengalami sesak napas, nyeri area dada, dan lengan yang menjalar hingga ke leher, rahang, bahu, sampai punggung dan detak jantung lebih cepat dari biasanya. Apakah ini pertanda bahwa Selo mengalami gejala serangan jantung sebagaimana yang terjadi pada ibunya?
Ponsel Yana berdering berulang kali, namun Yana tidak menghiraukannya, ia terus menyelesaikan pekerjaannya itu. Sebelumnya, terdengar notifikasi tanda ada pesan masuk lewat ponselnya.
"Yana, ada telepon!" teriak temannya dari kejauhan. Ia pun bergegas menghampiri temannya yang berada di dalam kantor. Yana pun segera mengangkat telepon yang diberikan oleh temannya itu, terdengar ada suara dari seseorang yang tak ia kenali.
"Pak Yana, tolong segera ke Rumah Sakit Mahardika, sekarang juga!" ucap seseorang yang berada disambungan telepon tersebut. Suara telepon pun tak terdengar lagi, Yana pun terheran.
"Ada apa ini dan siapa yang sakit?" gumam Yana dalam hatinya. Ia pun bergegas mencari bosnya untuk meminta izin pulang lebih awal.
Dipacunya dengan kencang kendaraan beroda dua itu dan akhirnya ia sampai di rumah sakit tujuannya. Terlihat di depan rumah sakit ada tetangganya yang sudah menunggunya dari tadi.
"Ada apa, Pak Rudi?" tanya Yana ke Pak Rudi sambil terheran-heran. Pak Rudi menghela napas dalam-dalam serta mengusap bahu Yana.
"Yang sabar ya, Pak Yana, sepertinya istri bapak tadi terjatuh mungkin kena serangan jantung saat bermain dengan kedua anak kembarnya. Alhamdulillah ada yang melihat istri bapak yang sudah tergeletak tidak sadarkan diri dan segera dibawa ke rumah sakit" tegas Pak Rudi. Yana terdiam sejenak, seakan-akan tak percaya kabar yang disampaikan oleh tetangganya itu. Ia pun bergegas menuju IGD tempat istrinya dilarikan. Tampak istrinya sudah tak berdaya terbujur kaku di atas tempat tidur pasien dan disampingnya ada seorang dokter tengah memeriksa jantungnya.
"Innaa lillaahi wa innaa ilaihi ro'jiuun" suara lirih terdengar dari dokter saat selesai memeriksa tubuh Selo yang masih terbujur kaku dengan mata tertutup.
"Maaf, ini dengan suaminya?" tanya dokter pada Yana. Yana pun mengangguk mengiyakan.
"Maaf ,Pak. Istri bapak tidak bisa kami selamatkan, ia terkena serangan jantung!" ucap dokter pada Yana.
Yana pun tertegun beberapa saat, lalu dipandangnya rupa Selo dengan penuh tanya. "Kenapa, kenapa, ini bisa terjadi padamu?" gumam Yana sambil memegang erat tubuh Selo yang tak bergerak sedikit pun.
Yana pun membuka ponselnya, dilihatnya satu per satu tampak ada beberapa panggilan telepon dari nomor yang tak ia kenali, ternyata Pak Rudi tetangganya. Notifikasi pesan yang masuk sejak dari tadi tak luput diperiksanya, ia kaget pesan itu ternyata dari sang istri. Yana pun kini menyesal kenapa pesan dan suara telepon itu diabaikannya?
"Mas, maafkan aku jika dalam mendampingimu selama ini banyak yang tak berkenan di hati, aku sangat merindukanmu, Mas." Itulah pesan terakhir dari istrinya sebelum ia mengembuskan napas terakhir dan menghadap Sang Pencipta.
Buliran air di sudut mata Yana perlahan mengalir di kedua pipinya. Ia baru tersadar sejak pernikahannya dengan Selo, sikapnya berubah menjadi acuh tak acuh dan kasar. Jarang sekali mereka mengobrol berdua meskipun hanya sekadar obrolan ringan. Bahkan, ia acuh tak acuh saat sering melihat istrinya tampak kelelahan serta meraba dada kirinya karena menahan rasa sakit. Justru, ia lebih mementingkan kehidupannya sendiri dan baru merasa kehilangan serta rindu setelah istrinya telah tiada meninggalkannya selamanya.
Tamat. []