"Pria yang kini berstatus suami sekaligus imam dalam rumah tangga mereka, begitu tega melukai dirinya secara lahir maupun batin ketika dia pulang dalam keadaan mabuk. Entah itu melalui kata-kata kasar yang ia lontarkan dan tamparan bertubi-tubi melayang ke tubuh Selo yang kini tak lagi elok dipandang."
Oleh. Nining Sarimanah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Malam begitu sunyi, di kamar dengan satu kasur berukuran sedang. Modelnya sederhana hanya dipan kayu dengan kasur kapuk di atasnya. Kamar ini remang, hanya ada satu lampu 5 watt di salah satu sudutnya. Meski sudah larut, Selo masih belum bisa memejamkan mata sedikitpun, ia mengalihkan pandangan pada kedua putra kembarnya yang sudah tertidur pulas.
Sorot mata Selo sangat dalam dan penuh arti, dia mengelus puncak kepala mereka dengan penuh arti, kemudian memeluk mereka begitu erat seolah tidak ingin melepasnya. Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Selo sedang merasa sangat terluka dan menahan pedih yang tak terkira.
Dia menatap kosong lurus ke depan, di dalam hati Selo begitu banyak tanya dan bimbang yang berkecamuk.
"Apa aku harus terus bertahan dengan pria seperti dia, yang acuh tak acuh pada keluarga demi kedua putraku?" Selo bergumam sendiri sembari berkhayal. "Atau aku pilih saja jalan untuk berpisah agar luka kami tidak semakin dalam?"
Tanpa ia sadari, isak tangis memecahkan kesunyian di malam itu juga buliran bening yang sedari tadi menghangat di sudut matanya pun mengalir tanpa dikomando, sehingga membasahi pipinya yang putih bersih itu. Kristal bening tersebut jatuh ke wajah Adi, salah satu dari putra kembarnya.
"Bunda kenapa?" Adi bertanya pada Selo dan membuat Selo terkejut kemudian melepas pelukannya.
Bocah kecil itu mengusap-usap matanya yang terlihat sangat mengantuk, tapi memaksa diri untuk bangun. Selo segera berbalik membelakangi putranya agar bocah itu tidak melihatnya menangis, dia pun menyeka buliran bening itu sebelum menoleh kembali ke Adi. Dia tidak ingin anaknya yang polos dan lugu juga belum mengerti apa-apa itu, tahu tentang luka hatinya.
"Bunda nangis?" suara lugu dan mengantuk itu kembali bertanya.
Selo berusaha tersenyum dan menggeleng, "Tidak, Nak. Bunda tidak apa-apa, kamu tidur lagi, ya, masih malam." Selo menyelimuti kembali tubuh Adi dan mengecup keningnya, dia menunggu sampai putranya itu tertidur kembali.
Perlahan dia meninggalkan kamar kedua putranya dan menutup pintu. Hatinya terasa sakit mengingat betapa akan terlukanya mereka jika dia berpisah dengan sang suami.
Yana adalah pegawai perusahaan berwajah tampan yang digilai banyak pegawai wanita, Selo pun menjadi salah satu dari sekian banyak wanita yang mengagumi ketampanan Yana. Sampai ia lupa mencari tahu tentang kepribadian pria tersebut yang sesungguhnya.
Selo sendiri merupakan gadis yang memiliki paras menawan, pesonanya terpancar dari cara dia berpenampilan. Namun, ia sama seperti gadis pada umumnya, yang pengetahuan agama sangatlah minim, terlebih ilmu dalam membangun rumah tangga yang tidak ia miliki.
Saat itu, yang ada di alam pikirannya bahagia sepanjang masa sampai maut memisahkan mereka berdua. Apalagi yang dia tahu Yana adalah sosok pria baik dan perhatian selama mereka berpacaran, dia juga ingin sedikit pamer serta menunjukkan pada semua saingannya jika dia memang pantas mendampingi seorang Yana.
Pernikahannya dengan Yana pun menginjak usia tiga tahun, dan perlahan Selo mulai menyadari perangai Yana ternyata tidak sebagus parasnya. Selama itu pula perjalanan rumah tangga mereka tidaklah berjalan mulus sesuai apa yang dibayangkan.
Kini, rumah tangga bahagia dan menjadi keluarga samawa yang ia impikan pun hancur berkeping-keping, nasib seolah meluluhlantakkan semua mimpinya di hadapan penghulu dulu. Pria yang kini berstatus suami sekaligus imam dalam rumah tangga mereka, begitu tega melukai dirinya secara lahir maupun batin ketika dia pulang dalam keadaan mabuk. Entah itu melalui kata-kata kasar yang ia lontarkan dan tamparan bertubi-tubi melayang ke tubuh Selo yang kini tak lagi elok dipandang.
Berbagai masalah pun kerap hadir mewarnai kehidupan mereka, mulai dari sikap kasar yang ditampakkan oleh suaminya, cuek, dan tidak bertanggung jawab dan segudang masalah lainnya yang membuat tubuh Selo lambat laun berubah drastis. Kurus, wajahnya tidaklah bersinar seperti dulu dan tampak dari sorot matanya seolah ia menanggung beban yang sangat berat.
Yana pulang larut malam, entah ke mana saja dia pergi hingga selarut ini, Selo bisa mencium aroma alkohol dari mulutnya. Meski begitu, Selo segera menghampiri Yana dan tak lupa mencium tangan suaminya itu, ia tetap ingin menjadi wanita salihah meskipun perangai suaminya tidak menyenangkan.
"Baru pulang, Mas?" tanya Selo pada suaminya, tapi tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari Yana sebagai jawaban.
Sikapnya begitu dingin. Namun Selo tak mau ambil pusing, segera ia membuatkan teh manis hangat kesukaan suaminya dan menyiapkan makanan ala kadarnya. Sementara Yana berjalan sempoyongan, ia pun menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, mata Yana terlihat memerah karena sedang mabuk berat.
"Mas mau makan? aku sudah siapkan," tanya Selo ke suaminya. Yana tetap berada di sofa hingga beberapa jam lamanya. Akhirnya Yana beranjak untuk makan.
Ketika ia melihat makanan yang disiapkan istri tak sesuai selera, ia pun menghardik Selo, "Cuman ini aja?" Yana bertanya pada istrinya dengan kasar. Selo pun hanya mengangguk mengiyakan.
"Aku gak selera makan!" bentak Yana kemudian pada Selo sambil berlalu masuk kamar. Tak lama kemudian suara pintu yang dibanting dengan keras membuat Selo tersentak.
Selo hanya menghela napas panjang, ia akui makanan yang disiapkan memang tidak begitu disukai suaminya. Namun apa daya, uang belanja yang diberikan oleh Yana hanya diberi sedikit itu pun harus dihemat sampai akhir bulan.
Gaji Yana sebenarnya di atas UMR, tapi uang yang diberikan pada Selo selalu dijatah. Dia sama sekali tak peduli dengan segudang kebutuhan rumah tangga, juga kebutuhan buah hatinya yang makin hari semakin membutuhkan biaya.
Apalagi di tengah krisis ekonomi yang melanda negeri ini. Melihat kemarahan sang suami, Selo tidak meladeninya. Kali ini dia sudah mulai bisa menahan rasa kesal yang membuncah, kalimat istigfar yang selalu dia ucapkan membuat hatinya menjadi sedikit tenang. Ia berusaha mencoba mempraktikkan ilmu agama yang baru saja ia dapatkan dari pengajian, sabar! Tapi sampai kapan harus bersabar? Bisakah dia bersabar?
Bersambung …[]