"Matanya terpejam untuk waktu yang cukup lama. Mengingat kitab yang ia beli untuk dihadiahkan pada seorang wanita. Wanita yang hendak dilamarnya setibanya di Indonesia. Ainun Nuha Iskandariyah, wanita yang tinggal di Bandung itu ternyata adalah wanita yang akan menikah dengan sahabat dekatnya."
Oleh. Ghumaisha Gaza
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Teman sebaya kamu di kampung bahkan sudah banyak yang punya anak! Sementara kamu masih asyik di Mesir. Kapan pulang, Nak?" Suara di seberang sana terdengar gusar.
Pemuda berusia dua puluh enam tahun yang tengah berbaring di atas kasurnya itu hanya tersenyum. Sementara ponsel yang dilekatkan di telinganya terus bersuara. Ia lalu beranjak mendekati meja belajarnya. Kini ia duduk sambil memandangi kutubus sittah dengan cetakan terbaik yang ia beli di ma'ridh dua minggu lalu. Telunjuk kanannya menyentuh satu per satu enam kitab tersebut, mulai dari kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan An-Nasa'i, hingga Sunan Ibnu Majah. Rangkaian huruf hijaiah dalam sampul kitab-kitab itu terukir sangat indah.
"Insyaallah, sebelum Ramadan aku sudah di rumah, Bu! Aku juga kangen sama ibu, sama bapak, sama adik-adik!" Jawab pemuda itu menenangkan wanita yang begitu dirindukannya.
Tapi sekali lagi pemuda itu hanya tersenyum. Kitab di hadapannya itu tiba-tiba membuatnya merasa malu. Kitab yang masih berlapiskan plastik itu seakan mendesaknya untuk memberitahu kepada siapa mereka akan dipersembahkan. Pemuda itu menghela napas panjang, lalu mengusap pelan kitab-kitabnya tersebut.
Menjelang Zuhur, Nafis hendak mencari kitab Tadzkiratus Sami' wal Mutakallimin miliknya di masjid yang tertinggal setelah kajian Subuh. Tidak membutuhkan waktu yang lama akhirnya ia menemukan kitab adab belajarnya itu sudah tersimpan di rak Al-Qur'an. Nafis bergegas meraih kitabnya itu untuk disimpan terlebih dahulu ke asrama.
"Tunggu!" Teriak seorang akhwat membuat Nafis tersentak. "Afwan, itu kitab saya!"
Nafis merasa seperti orang yang tertangkap basah melakukan kejahatan. Ia tak kuasa menoleh. Ia kemudian membuka kitab yang dipegangnya itu dengan hati-hati.
"Al-Muhaddits (ahli hadis) …." keningnya berkerut saat mengeja nama yang tertulis di kitab itu.
"Jangan dibuka!" Teriak akhwat tadi membuat Nafis kembali terperanjat.
Nafis berbalik dengan kesal. Ternyata ada lima akhwat di hadapannya. Ia ingin marah tapi akhirnya hanya diam pasrah.
"Sepertinya tertukar, kitab kita penerbitnya sama. Tadi saya salah ambil, kitab saya juga sempat tertinggal di masjid!" Seorang akhwat melangkah mendekatinya dan menyerahkan sebuah kitab. Nafis merasa resah, ia tak pernah berkomunikasi dengan akhwat sampai sedekat ini. Nafis hanya mematung hingga santri-santri akhwat tadi meninggalkannya pergi barulah ia menghela napas sangat panjang.
Entah mengapa, sejak peristiwa itu jantungnya selalu berdegup lebih kencang setiap kali bertemu akhwat tersebut. Batinnya kerap bertanya, apa hanya karena ia juga memiliki mimpi yang sama ingin menjadi seorang ahli hadis? Atau karena akhwat yang menyematkan kata Al-Muhaddits di depan namanya itu memang memiliki mata yang indah? Mata yang dengan tatapan sekilasnya telah meluluhkan hatinya seketika itu.
"Nafis! Kamu, sehat?! Ibu bicara kamu diam saja!"
Nafis terkesiap, ponsel di genggamannya hampir saja terjatuh. Bulir keringat menyembul di wajahnya. Bisa-bisanya ia memikirkan wanita lain saat sedang berbicara dengan ibunya. Nafis memandangi enam kitab yang kini seperti menertawakannya. Ia baru saja teringat dengan peristiwa sembilan tahun lalu saat masih mondok di pesantren.
"Iya maaf, Bu, aku baik-baik saja" ucap Nafis sedikit terbata-bata.
"Kata bapak, kalau ada wanita yang kamu suka, jangan ragu untuk kenalkan sama bapak. Siapa tahu bisa dilamar segera. Bapak masih tidak enak ketika tahun lalu harus menikahkan adik perempuan kamu lebih dulu!"
Nafis terdiam untuk sejenak. "Lagi pula aku tidak kenapa-kenapa kok, Bu! Biasa saja, teman-temanku di sini juga banyak yang belum menikah" ucap Nafis kemudian tampak berpikir sesaat. "Tapi, kalau aku menikah tahun ini, bolehkah, Bu?"
Nafis tersenyum, suara di ponselnya terdengar bahagia. Tahun ini ia benar-benar akan meninggalkan Mesir setelah lulus S1 dua tahun lalu. Entah kapan ia akan kembali mengunjungi negeri Seribu Menara ini. Ia sedang memikirkan kehidupannya setelah sampai di Indonesia.
"Oh iya, Bu, lusa aku akan rihlah bersama Gus Musthafa untuk beberapa hari. Mohon doanya semoga lancar!"
"Tidak biasanya!" Seru ibunya dengan nada bercanda. "Kalian berdua saja? Rihlah kemana?"
"Iya bisa disebut bentuk perpisahan dengan Mesirlah, Bu!" Jawab Nafis. "Berdua saja."
"Kemana?"
Nafis merasa lidahnya kelu. Setiap kali nama ini disebut, ia selalu teringat dengan seseorang yang mampu meluluhkan hatinya. Sejak kedatangannya ke Mesir ia tak pernah tergoda untuk urusan cinta. Ia bisa begitu tenggelam dalam belajarnya. Ia merasa hanya seseorang itu saja hingga hari ini yang mampu menggetarkan hatinya.
"Sekitar empat jam dari Kairo! Ke…" Nafis memejamkan matanya sejenak. "Alexandria!"
Alexandria atau Iskandariyah merupakan kota terbesar kedua setelah Kairo. Kota sebagai pelabuhan utama di Mesir ini memang memiliki pesona yang khas. Pesona arsitektur Romawi yang menyimpan sejarah panjang peradabannya. Udaranya pada bulan Februari ini terasa lebih sejuk dibandingkan Kairo. Setelah hampir empat jam perjalanan kereta kemudian beberapa menit menaiki bus, akhirnya Nafis dan Gus Musthafa telah sampai di Benteng Qaitbay, destinasi wisata yang terletak di tepi Laut Mediterania. Dua pemuda yang bersahabat sejak di pesantren itu kini sedang memandang jauh ke arah laut.
"Bisa-bisanya kita pergi tanpa membawa kitab!" Seru Gus Musthafa tak percaya.
"Antum menyesal?"
Gus Musthafa menggeleng. "Tidak juga, sejak awal kita memang mau rihlah, mau tadabbur alam. Lagi pula ana 'kan pergi bersama 'kitab berjalan'."
Nafis tersenyum hingga kedua lesung pipinya terlihat. "Hafalanku enggak ada apa-apanya, Gus!"
"Tetap saja jauh lebih banyak dibandingkan ana!" Gus Musthafa tampak menghirup segarnya udara di sekitar mereka. "Tapi, setelah pulang ke Indonesia, ana akan sulit belajar dan berdiskusi lagi bersama Antum, Fis! Antum di Tasikmalaya dan ana di Surakarta. Akan semakin berat bagi ana meninggalkan Mesir!"
Nafis melirik sahabat yang juga merupakan anak kiai di pesantrennya dulu. "Kita bisa agendakan rutin untuk bertemu. Aku juga ingin berkunjung ke Surakarta, menemui guru-guru di sana! Atau Antum harus berkunjung lagi ke Tasikmalaya. Terakhir ke sana sebelum kita ke Mesir, 'kan?"
Gus Musthafa tampak berpikir kemudian tersipu malu. Nafis kemudian mengernyitkan keningnya, "Antum merencanakan sesuatu?"
"Ah sudahlah, ana kasih tahu nanti! Ayo kita keliling lagi."
Nafis hanya mengangguk dan menuruti sahabatnya itu untuk kembali menapaki benteng peninggalan Dinasti Mamluk yang dibangun pada masa Sultan Al-Ashraf An-Nashr Syaifuddin Qaitbay pada tahun 1423 Masehi. Benteng yang didirikan untuk mengadang serangan musuh ini telah menjadi saksi bahwasanya peradaban Islam memang peradaban yang besar dan gemilang.
"Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam kitab Nizhamul Islam, kaum muslim tidak pernah mengalami kemunduran dari posisinya sebagai pemimpin dunia selama tetap berpegang teguh pada agamanya. Kemunduran kaum muslim mulai tampak tatkala mereka meninggalkan dan meremehkan ajaran-ajaran agama, membiarkan peradaban asing masuk menyerbu negeri-negeri mereka, membiarkan paham-paham Barat bercokol dalam benak mereka."
Gus Musthafa mengangguk mendengar penjelasan Nafis. "Selain terus belajar, ilmu yang kita dapatkan harus didedikasikan untuk menghidupkan ajaran Islam di tengah-tengah umat. Membebaskan umat dari cengkeraman pemikiran-pemikiran Barat."
"Betul, Gus! Belajar dan berdakwah ibarat dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan."
"Pulang ke Indonesia bukan untuk pamer gelar Lc, tapi memantaskan diri menjadi pelayan umat. Perjalanan belajar kita akan terus berlanjut meski kita sudah kembali ke tanah air."
Nafis mengangguk kemudian melirik jam tangan berwarna cokelat di lengan kirinya. Jam tangan dengan angka arab dan terdapat ukiran huruf nun di tengahnya. Alih-alih melihat untuk memeriksa waktu. Nafis malah teringat dengan seseorang yang sejak kemarin mengganggu pikirannya. Wanita itu, wanita yang hendak ia lamar setibanya di Indonesia. Teman seangkatannya yang juga kuliah di Al-Azhar, sependek pengetahuannya memang belum menikah. Setelah lulus dua tahun lalu wanita itu langsung kembali ke Indonesia. Sementara ia dan Gus Musthafa masih menikmati talaqqi yang diadakan di masjid-masjid ataupun madyafah (tempat pengajian) di Mesir. Nafis segera beristigfar dan mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat.
"Antum capek, Fis?" Tanya Gus Musthafa sedikit mengagetkan Nafis.
"Enggak, enggak!"
"Sebentar lagi Zuhur. Saatnya kita ke Masjid Abul Abbas Al-Mursi. Sekalian kita istirahat di sana, sambil cari makanan."
Nafis mengangguk setuju. Mereka berdua kemudian berjalan kaki ke Masjid Abul Abbas Al-Mursi. Masjid dengan gaya arsitektur Mamluk itu menjadi salah satu bangunan bersejarah dan paling indah di Alexandria. Dibangun di atas makam ilmuwan Andalusia, yang namanya disematkan menjadi nama masjid tersebut. Sepanjang perjalanan ke masjid tidak terlalu banyak obrolan antara Nafis dan Gus Musthafa. Mereka sama-sama larut dalam pesona Alexandria dan embusan angin Laut Mediterania, tempat yang akan menjadi saksi perjalanan persahabatan mereka di Negeri Para Anbiya.
"Baru Benteng Qaitbay dan masjid ini yang kita kunjungi" ucap Gus Musthafa setelah menelan suapan hawasyi terakhirnya. "Perlu dua sampai tiga hari sepertinya kita di Alexandria."
Nafis merasa rambutnya masih basah karena air wudu. Tapi makanan Gus Musthafa tampak sudah habis padahal sama-sama dimakan setelah mereka selesai salat Zuhur. Sementara makanannya sendiri terlihat masih banyak. Kebda iskandarani (roti gandum dengan beragam isian) miliknya sama sekali belum tersentuh. Juga hawasyi (roti panggang dengan isian daging cincang) di tangannya bahkan baru habis setengahnya.
"Antum lapar, Gus? Mau lagi?" Tanya Nafis sambil menyodorkan kebda miliknya.
Gus Musthafa yang sedang menyeruput sahlab (minuman susu dicampur rempah) tampak mengernyitkan dahi. "Antum makan sambil melamun, jadi lama!"
"Hanya memikirkan kehidupan setelah di Indonesia!" Elak Nafis.
"Sama aja!" Kata Gus Musthafa, mereka berdua kemudian tertawa.
"Fis!" Panggil Gus Musthafa serius.
"Iya!" Jawab Nafis sambil melanjutkan makannya.
"Ana enggak tahu harus mulai dari mana!" Kata Gus Musthafa, wajahnya sedikit memerah. Sementara Nafis masih bersabar untuk menyimak sambil mengunyah makanannya.
"Ana akan menikah sebelum Ramadan ini."
Meski sedikit kaget tapi Nafis tampak senang, "Masyaallah, barakallah!"
"Ana akan melangsungkan akad nikah sebelum Ramadan, di Bandung. Menghabiskan waktu di sana hingga walimah di bulan Syawal. Dan setelah di Bandung akan diadakan kembali walimah di Surakarta."
"Bandung?" Tanya Nafis merasakan jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang. Tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
"Sudah ana bilang, ana enggak tahu harus cerita dari mana!"
Gus Musthafa memegang dagunya lalu mengusap janggut tipisnya. Ia kemudian membuka ponselnya dan mengirimkan sebuah foto pada Nafis. Sebuah foto di rumah Gus Musthafa di Surakarta, tampak beberapa orang yang Nafis kenal.
"Pokoknya prosesnya terasa begitu cepat. Ana bahkan hanya berkomunikasi lewat telepon dengan Abi. Singkatnya Abi menjodohkan ana dengan Nuha!"
Nafis hanya mengangguk. Ia masih mampu mengendalikan dirinya sendiri, meski hatinya yang kerap begetar kini terasa roboh. Wanita itu, wanita yang hendak dilamarnya, tiba-tiba bayangnya terasa sangat menyiksa batinnya.
"Itu foto sekitar empat bulan lalu ketika ayahnya Nuha sedang silaturahmi, karena berencana memasukkan adiknya Nuha ke pondok pesantren tahun ini. Entah bagaimana dari situ muncul obrolan pernikahan."
Sekali lagi, Nafis hanya mengangguk. Ia tak tahu harus berkata apalagi.
"Yang diundang saat akad hanya kerabat dekat saja. Tapi ana minta antum harus hadir juga saat akad nanti."
Nafis sedikit tersentak dengan pernyataan terakhir sahabatnya itu. Tapi ia segera tersenyum. "Tentu saja, dengan senang hati. Insyaallah!"
"Alhamdulillah!" Seru Gus Musthafa tampak bahagia. "Tapi ana memang masih lapar, Fis! Tunggu sebentar ya, ana mau beli makanan lagi sedikit!"
Nafis memperhatikan sahabatnya itu hingga benar-benar menghilang dari pandangannya. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya pada dinding masjid yang kokoh. Matanya terpejam untuk waktu yang cukup lama. Mengingat kitab yang ia beli untuk dihadiahkan pada seorang wanita. Wanita yang hendak dilamarnya setibanya di Indonesia. Ainun Nuha Iskandariyah, wanita yang tinggal di Bandung itu ternyata adalah wanita yang akan menikah dengan sahabat dekatnya. Nafis menarik napas panjang.
"Aku rida dengan keputusan-Mu, ya Rabb!" Bisiknya lirih.
Langit Alexandria tampak cerah, memberi kisah bagi siapa saja yang bernaung di bawahnya. Angin pun berembus begitu menyejukkan. Nafis meneguk sahlab yang masih hangat sedikit demi sedikit. Tak terasa ada air mata yang terjatuh membasahi pipinya. Dengan cepat ia menghapusnya. Saat tampak dari kejauhan Gus Musthafa kembali dengan makanan di tangannya, Nafis menegakkan kembali tubuhnya dan menyambut sahabatnya itu dengan senyuman. Meski ia sendiri belum tahu bagaimana membangun kembali hatinya yang telah runtuh.
Selesai.[]