Wonderful Love

"Angannya berperang, kebatilan dan kebenaran berkecamuk dalam pikiran. Berbagai wejangan dan motivasi menguap entah ke mana. Hatinya membatu, larut dalam luka dan nestapa yang mendera. Kemaksiatan yang dilakukannya seakan menutupi cahaya kebenaran yang telah mengetuk pintu."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Rinai hujan menyapa tiap kesedihan yang menempel kuat dalam relung hatinya. Suara tetesan hujan mengiringi lelehan air mata yang tak bisa dibendung. Penyesalan selalu terlambat datangnya. Jiwa dan batinnya remuk redam menahan amarah, malu, sesal, dan muak pada takdirnya.

Lantunan ayat suci para santriwati sedikit mengobati kepedihan hati. Hatinya bergetar kala lisan merapalkan kalam Ilahi. Bayang-bayang dosa selalu mengintai ke mana pun dia pergi. Nikmat sesaat, penyesalan tak pernah berhenti. Kini, ia sudah tak suci lagi. Saat hari Valentine, dia lupa diri.

Wajah ayunya kini tak sebelia usianya. Wajahnya selalu berselimut kesedihan yang mendalam. Setengah hati dia menerima kenyataan. Segala cita-citanya musnah saat masih di titik permulaan. Kania harus menjalani proses kehamilan.

Sejak hamil, dia tinggal bersama keluarga sang ayah di sebuah desa, tepatnya di ponpes kakeknya. Dia dikirim ke pondok itu saat butuh dukungan moral. Tapi, dia sangat menyadari alpa yang tak bisa dimaafkan. Saat pikirannya kacau, saat morning sickness menyerang, dia harus berpisah dengan keluarganya. Dia merasa menjadi anak yang dibuang. Namun, pakde dan bude memperlakukannya dengan jutaan kebaikan.

Kabar dirinya akan dinikahkan dengan Zaydan semakin membuatnya terpukul. Pernikahan itu akan digelar nanti setelah Kania melahirkan. Keluarganya punya prinsip, tidak ada pernikahan saat hamil, masa idah perempuan hamil sampai ia melahirkan. Semakin remuk redam hatinya. Bukan hanya gerimis yang ia rasakan, petir dan halilintar terus menyambar pikiran.

Rasa cinta untuk Zaydan tak pernah muncul, bahkan tak pernah terpikirkan. Walau kesedihan dan penyesalan bergelayut, rasa cinta pada ayah dari janin yang dikandungnya masih bersemi. Kania berharap, pangerannya bertanggung jawab dan menikahinya.

Angannya berperang, kebatilan dan kebenaran berkecamuk dalam pikiran. Berbagai wejangan dan motivasi menguap entah ke mana. Hatinya membatu, larut dalam luka dan nestapa yang mendera. Kemaksiatan yang dilakukannya seakan menutupi cahaya kebenaran yang telah mengetuk pintu. Pendengarannya menuli seketika tatkala kesedihan menimpa tiada terkira. Penglihatannya mendadak buta ketika hatinya berkuah derita. Kania benar-benar bingung. Di satu sisi, ia merasa tenang saat mendengar kalam Ilahi dilantunkan dan perlakuan bude yang penuh kasih sayang, namun ia tetap berkeras menolak bahwa apa yang dilakukannya adalah dosa besar. Ia menganggap itulah buah cinta.

Di usia kehamilan kelima bulan, sang pangeran tak kunjung datang dan berkabar, sungguh guncangan kejiwaan menghampirinya. Sampai akhirnya dia berjumpa dengan Khanza yang baru pulang dari Mesir. Tatapan Khanza padanya penuh kasih sayang, tak tampak pandangan merendahkan atau jijik padanya. Kania merasa malu pada gadis seusianya itu. Balutan jilbab dan khimar tak pernah lepas dari tubuh mungilnya, kaos kaki pun terus melekat walau ia di dalam rumah, kecuali di kamar. Ya, Kania menempati kamar sepupunya itu.

Beragam tanda tanya sempat bertengger dalam benak. Kenapa Khanza dan budenya selalu memakai hijab di dalam rumah. Padahal, itu dalemnya sendiri. Jawabannya sungguh merasuk dalam kalbu.

"Mbak, banyak orang asing masuk ke sini. Mereka bukan mahramku. Menutup aurat kewajibanku," jawabnya sederhana tanpa menggurui.

Kania tahu bahwa aurat muslimah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dia pun tahu siapa yang dia sebut orang asing, para santri dan khadim yang mengabdi pada pakde dan jaddih-nya. Mereka semua lelaki yang tak boleh melihat auratnya dan aurat Khanza. Walau Khanza dan bude tak pernah menyuruhnya mengenakan jilbab di dalam rumah, dia mulai risih dengan keistikamahan sepupu dan budenya itu. Selain karena hamil, dia mulai memakai jilbab ke mana pun kecuali di kamar karena ingin berhijrah.

Khanza dan bude menyambut baik perubahan Kania. Meski tak diutarakan, mereka seakan paham bahwa Kania sedang proses hijrah. Khanza selalu menemaninya, bahkan menghadiahi beberapa set jilbab dan kerudung, lengkap dengan kaos kaki. Khanza tak pernah sekali pun menanyakan ihwal kehamilan, tak pernah membahas sesuatu yang menyinggung perasaannya, hal itu membuat Kania nyaman. Ilmu Khanza bak oase bagi Kania yang jiwanya tengah terguncang dan kerontang. Dia selalu ikut forum Kare (Kajian Remaja) yang digagas sejak pulang liburan pada santriwati tingkat SMP dan SMA. Selama ini, ia bebal pada cahaya kebenaran. Namun, dari lisan Khanza, hatinya terketuk.

"Kita boleh saja berbuat sesuka hati seperti para remaja di luar sana, hura-hura, pesta pora, narkoba, dan bahkan seks bebas asalkan Malaikat Rakib dan Atid sedang cuti."

Hatinya yang diliputi amarah pada takdir mulai bimbang. Kapan kedua malaikat pencatat amal baik dan buruk itu akan cuti?! Kania yakin tak akan ada satu malaikat pun yang cuti dari tugasnya. Itu artinya, dosa yang diukirnya sudah tercatat. Perlahan, amarah itu dimusnahkan oleh tsaqafah Islam yang sangat menyejukkan.

"Kenapa kita harus menjaga ketaatan dengan taat tanpa tapi, tanpa tepi, dan tanpa nanti? Karena tujuan hidup kita telah termaktub sejak manusia pertama diciptakan, bahwa tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah pada-Nya."

Khanza begitu lugas menggambarkan hakikat hidup pada para santriwati. Kania yang tak berani masuk masjid hanya mendengar dari teras. Namun, penjelasan sepupunya itu berhasil menembus tebalnya dinding kesombongan yang terpelihara. Betapa besar dosanya. Bagaimana ia kelak akan berhadapan dengan Allah. Hujah apa yang hendak dia sampaikan untuk menutupi aibnya, sementara di yaumulhisab akan dihitung amalannya, dengan hitungan tanpa hijab atau pembatas apa pun.

"Kita berharap wonderful love dari seorang kesatria yang membawa sebuket bunga. Namun, kehidupan kita bukan sekuel drama yang diskenario produser. Allah-lah Yang Maha Menciptakan dan Mengatur kita, manusia, alam semesta, dan kehidupan dengan sangat wonderful. Wonderful love sudah kita rasakan dalam setiap helaan napas dan denyut nadi yang masih bisa kita rasakan. Terlebih lagi, cahaya iman dan Islam masih melekat sehingga menuntun kita di jalan kebenaran. Itulah wonderful love."

Fix, hati Kania semakin tercambuk. Perih rasanya mengingat semua dosa. Apalagi Khanza menegaskan bahwa pacaran dan interaksi dengan lawan jenis tanpa uzur syar'i itu sudah pasti dosanya, padahal belum tentu akan menuju jenjang pernikahan. Ah, usia sepupunya baru 16 tahun, seusia dirinya. Betapa beruntungnya Khanza bisa terjaga dari pergaulan bebas walau tinggal jauh dari orang tua, tak seperti dirinya. Jalan satu-satunya untuk meraih ampunan Allah adalah bertobat dengan tobat nasuha.

Azam telah kuat dalam diri Kania. Dia sudah mengutarakan niatnya pada Khanza dan bude. Dia juga rida dinikahkan dengan Zaydan jika memang Zaydan berkenan memperistri dirinya yang hina. Pelukan super hangat ia rasakan dari sepupu dan budenya. Bulir-bulir bening turut menyaksikan azam Kania. Dia sudah membulatkan tekad dan tawakal untuk berdamai dengan qadha. Bait-bait doa sudah sering menemani setiap alunan napas yang berembus dari rongga dadanya. Dia berjanji akan merawat buah hatinya nanti dengan tuntunan syariat Islam agar tak terjebak dalam perangkap pergaulan setan.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Dari Rayan dan Fawaz Kita Belajar, Saatnya #SaveUmatMuhammad Menggaung ke Seantero Jagat!
Next
Menakar Ulang Arah Kebijakan Pemerintah terkait Gelombang Ketiga Pandemi Covid-19 K
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram