"Selama di dalam rumah, Teuku masih terngiang-ngiang akan kisah pulau Simeulue yang baru saja Pak Basri ceritakan. Ia pun menanyakan pada sang ibu, apakah ibunya tahu juga mengenai kisah ini. Sang ibu pun mengatakan bahwa dirinya sangat sering mendengar kisah tersebut sedari kecilnya. Akhirnya Teuku pun mendapat tambahan cerita dari sang ibu yang tidak didapatkannya melalui Pak Basri."
Oleh R. Bilhaq
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lantunan azan subuh yang merdu membangunkan Teuku dari tidur nyenyaknya. Dilihatnya sang ibu telah rapi, bersiap menunaikan salat Subuh di rumah. Ia pun turut segera membersihkan diri dan langsung pergi menuju masjid. Salat Subuh berjemaah pun ditunaikan. Setelah salat, Pak Basri, pengurus masjid yang sudah sangat mengenal Teuku sedari kecil menghampirinya.
“Assalamu’alaikum,” salam Pak Basri menepuk pelan punggung Teuku.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Teuku menoleh ke belakang.
“Kamu sudah sehat, Nak? Bapak kemarin lihat kamu pingsan saat di stadion, Bapak minta maaf ya engga bisa tolong kamu, Insan, anak bungsu Bapak yang umur lima tahun rewel minta pulang,” jelasnya.
“Iya engga apa-apa kok Pak, saya juga cuma pingsan aja, terima kasih ya Pak, udah datang.”
“Teuku, kamu masih masa libur sekolah ya? Mau tidak, Bapak ceritakan kisah turun-temurun yang biasa diceritakan orang-orang di sini kepada anak-anaknya?” tawar Pak Basri guna menghibur Teuku.
“Wah, boleh Pak, pasti senang kalau dengar cerita dari Bapak,” Teuku girang.
“Dulu, pada Tahun 1907 pernah terjadi gempa besar dan surutnya air laut di pulau Simeulue. Sebagian orang berpikiran bahwa jika terjadi gempa diiringi air laut yang menyusut, itu berarti menandakan akan datangnya gelombang laut besar yang bisa menyapu warga beserta rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Mereka yang menyadari hal tersebut pun segera berlarian ke bukit-bukit daratan tinggi untuk menyelamatkan diri dengan mengajak sanak saudaranya. Namun sayangnya, banyak juga orang-orang yang tidak paham akan hal itu, sehingga sebelum gelombang besar air laut itu datang, justru banyak warga yang mendekat ke tepi laut untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Alhasil, betapa banyaknya korban yang meninggal pada saat itu.” Pak Basri bercerita singkat.
“Innalillahi, semoga mereka husnul khotimah yak Pak, lalu setelah itu bagaimana, Pak?” tanya Teuku penasaran.
Pak Basri pun melanjutkan kisahnya yang hingga tanpa sadar Teuku meneteskan air mata karena iba.
“Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah kalau ada suara gemuruh disertai surutnya air laut dan diiringi dengan guncangan gempa, segera lari ke bukit sebagai upaya menyelamatkan diri,” Pak Basri mengakhiri kisahnya.
“Iya, terima kasih sudah mau cerita ya Pak, Teuku jadi banyak belajar.” syukur Teuku.
“Matahari sudah terbit, Bapak mau pamit duluan ya Teuku.”
“Iya Pak, baik.”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” Teuku mengecup tangan Pak Basri.
Selama di dalam rumah, Teuku masih terngiang-ngiang akan kisah pulau Simeulue yang baru saja Pak Basri ceritakan. Ia pun menanyakan pada sang ibu, apakah ibunya tahu juga mengenai kisah ini. Sang ibu pun mengatakan bahwa dirinya sangat sering mendengar kisah tersebut sedari kecilnya. Akhirnya Teuku pun mendapat tambahan cerita dari sang ibu yang tidak didapatkannya melalui Pak Basri. Teuku pun berinisiatif untuk menceritakan kisah yang ia dapat hari ini kepada Subhan, sahabatnya. Setelah sarapan, ia pun langsung berpamitan kepada sang ibu dan langsung berlari menuju rumah Subhan. Ketika sampai, Pak Ahmad, Ayah dari Subhan memberitahu bahwa Subhan ada di tepi laut. Teuku pun langsung menyusulnya ke sana.
“Assalamu’alaikum,” sapa Teuku.
“Wa’alaikumussalam, eh kamu Teuku, tumben pagi-pagi udah ke sini,” ujar Subhan yang terus memandangi indahnya laut di pagi hari.
“Subhan, aku punya kisah yang baru kudengar dari Pak Ustaz dan juga ibuku, kamu juga harus dengar ya,” Teuku antusias.
“Kisah apa itu?” Subhan penasaran.
“Kisah pulau Simeulue, apa kamu pernah dengar?” tanyanya serius. Subhan hanya menggeleng-gelengkan kepala tanda ia tak pernah mendengar sebelumnya.
Teuku pun mulai menceritakan kisahnya dengan baik diikuti Subhan yang menyimaknya dengan fokus. Tak lama kurang lebih setelah satu jam bercerita, datanglah Bu Layla, ibu dari Subhan yang datang memanggil Subhan untuk segera sarapan di rumah. Alhasil, kami bertiga langsung menuju rumah Subhan dan masuk ke dalamnya.
“Kamu sudah sarapan, Teuku?” tanya Bu Layla.
“Alhamdulillah udah Bu, tadi pagi dengan Ibu di rumah,” jawabnya sopan.
“Alhamdulillah, oh iya, kabar Ibumu gimana? Apa Ibumu sehat?”
“Alhamdulillah, sehat Bu.”
“Oh iya, barusan ibu masak eungkot paya, nanti kalau pulang tolong dibawa untuk Ibu dan kamu di rumah ya,” Pesan Bu Layla.
“Alhamdulillah, Iya Bu, terima kasih,” syukur Teuku.
Pukul sebelas, Teuku pun hendak pulang ke rumah, mengingat sekitar satu jam lagi waktu Zuhur tiba. Ia ingin makan siang bersama ibunya dan juga ingin menunaikan salat di masjid dekat rumah. Tak lupa ia membawa eungkot paya yang sudah disiapkan oleh Bu Layla untuk diberikannya kepada sang ibu. Ketika melewati masjid Raya Baiturrahman, ia bertemu dengan Pak Basri yang sudah rapi dengan koko biru langit, sarung, dan peci berwarna hitam. Setelah keduanya bersalaman, Pak Basri mengingatkan Teuku untuk salat di masjid. Teuku pun segera makan siang dan langsung membersihkan diri untuk salat. Setelah salat berjemaah selesai dilaksanakan, Teuku bertemu dengan teman-temannya di teras masjid. Teuku pun akhirnya juga menceritakan kisah tentang pulau Simeulue kepada teman-temannya tersebut secara singkat. Tak seperti dirinya dan Subhan yang iba dengan kisah tersebut, teman-temannya justru merespons dengan menertawakan Teuku dan menganggapnya sebagai dongeng belaka.
Sepulang dari masjid, Teuku melihat sang ibu sedang melipat pakaian di ruang tengah. Teuku pun langsung bersalaman dan duduk di dekat sang ibu.
“Bu, apa mungkin kejadian yang menimpa pulau Simeulue tahun 1907 itu juga bisa terjadi menimpa kita, Bu?” tanya Teuku khawatir.
“Nak, tentu kita tidak berharap itu terjadi, namun jika Allah Swt. berkehendak, siapa yang bisa menghentikan-Nya? Tentu tiada satu pun yang bisa mencegah itu semua, namun, pesan Ibu, tetaplah berdoa untuk keselamatan kita semua, meskipun kita tau bahwa di balik musibah, pasti ada hikmahnya,” jawab Ibu menenangkan.
“Ibu, apakah kita akan berpisah nanti, jika bencana itu kemungkinan datang menimpa?” Teuku menatap sang ibu dengan penuh kekhawatiran.
“Nak, sudah ya, bicaralah yang baik-baik, gantilah pakaianmu, setelah itu beristirahatlah dan jangan dulu pergi ke luar rumah, mengingat cuaca siang ini terlihat mendung,” ibu mengalihkan pembicaraan.
Teuku langsung menuruti perintah sang ibu meskipun masih banyak berbagai pertanyaan yang mengganjal di benaknya.
“Subhan! Subhan! kamu mau ke mana? tunggu aku,” Teuku berlari mengejar Subhan yang pergi mendekati air laut dengan kursi rodanya.
“Eh, kamu Teuku, aku cuma lagi main-main air laut aja nih,” jawab Subhan santai.
“Ini bahaya Subhan, ayo cepat kita balik ke daratan,” Teuku yang merasa khawatir langsung membantu mendorong kursi roda Subhan ke daratan.
“Ahh, kamu Teuku, aku kan udah lama engga berenang di sini lagi kayak dulu,” Subhan kecewa.
“Iya maaf, aku cuma khawatir aja,” jawab Teuku singkat.
“Teuku! Teuku! cepat pulang Nak, jangan main-main di sana, bukankah tadi terasa ada gempa? Ayo kalian cepat pulang,” ibu Teuku yang berhijab sempurna melambaikan tangannya memanggil.
“Subhan, itu ibuku memanggil, ayo kita cepat pulang,” Teuku membujuk.
“Kamu pergi sendiri saja Teuku, aku masih mau di sini,” jawab Subhan ngeyel.
Tiba-tiba, dari kejauhan terlihat gelombang kecil air laut yang berjalan ke tepi pantai disusul dengan gelombang yang semakin lama kian membesar di belakangnya. Sang ibu yang terlihat panik langsung berlari untuk memberi tahu warga akan hal ini. Warga pun langsung bertebaran ke luar dari rumahnya masing-masing dan langsung berlarian menuju daratan yang lebih tinggi. Subhan yang tidak bisa berlari pun berusaha menghindar dengan berusaha cepat memutar roda kursinya dengan tangan. Teuku yang iba melihat kondisi sang sahabat, langsung menggendong Subhan di pundaknya. Baru beberapa langkah Teuku berlari, tiba-tiba keduanya jatuh tersapu gelombang besar air laut hingga keduanya pun terpisah. Teuku yang kehilangan Subhan pun merasa sangat bersalah dan pasrah terbawa arus entah ke mana.[]