Teuku dan Tsunami (Bagian 1)

“Kalah dan menang itu sudah biasa Nak, roda kehidupan memang akan selalu berputar, tapi pesan Bapak, teruslah semangat berlatih ya Teuku,” Pak Utsman menyemangati. Teuku merespons dengan menganggukkan kepala."

Oleh. R. Bilhaq
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Saatnya kuharus berlari kencang sekuat tenaga tanpa henti. Terus berlari dengan segala daya dan upaya yang kumiliki. Demikian juga dengan yang lainnya, mereka semua berlari dengan sangat cepat dan fokus tanpa ada tawa dan canda sedikit pun. Kami terus saja saling berlari tanpa menghiraukan orang lain yang ada di sekitar. Banyak orang-orang di sekitar berteriak menyebut nama kami mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Bukan bermaksud menyuruh kami agar berhenti dan menghampiri mereka, melainkan hanya untuk menyemangati kami agar terus berlari maju ke garis finish hingga menjadi pemenang.

“Ayo, Teuku, kamu bisa,” batin Teuku, pelajar berusia 14 tahun berbisik.

“Sedikit lagi, garis finish ada di depan,” sambungnya.

Bruk! seketika tubuhnya jatuh tergeletak dengan kedua mata terpejam masih dalam arena lintasan lari stadion Harapan Bangsa. Dia mengalami pingsan dan segera dibawa dengan tandu oleh petugas kesehatan yang berjaga.

Final lomba lari pun usai, kini beralih ke tahap acara selanjutnya yakni pengumuman para juara. Setelah nama-nama para juara disebutkan, mereka pun menaiki podium dan menerima apresiasi berupa hadiah dari panitia penyelenggara. Penutupan perlombaan pun telah usai dan para penonton yang memenuhi stadion pun mulai keluar untuk pulang. Begitu juga dengan para panitia, atlet, pelatih, dan sebagainya. Tak lama Teuku mulai membuka kedua matanya secara perlahan, tanda ia sadar dari pingsannya. Dilihat olehnya sekeliling tiada seorang pun yang tersisa, kecuali hanya dirinya sendiri berikut pelatihnya, Pak Utsman, yang setia menemani.

“Alhamdulillah sudah sadar, ini diminum dulu,” ujar Pak Utsman menyodorkan air botol mineral.

“Terima kasih Pak, bismillah," Teuku langsung meneguk air tersebut secara perlahan-lahan hingga menghabiskannya guna menghindari dehidrasi kembali.

Di kursi penonton, keduanya makan siang bersama dengan menu nasi box yang sempat diberikan panitia penyelenggara. Setelah keduanya selesai memenuhi hak perut, hujan lebat mengguyur seisi lapangan tanpa disertai tanda-tanda hujan sebelumnya. Harum khas tanah rerumputan yang baru dibasahi air hujan pun membuat keduanya merasa tenang.

“Pak, maafkan saya, tidak berhasil menang sebagai tuan rumah,” ujar Teuku merasa bersalah.

“Janganlah menjadi pemenang sebagai tuan rumah Nak, tapi, jadilah pemenang sebagai dirimu sendiri, kamu sudah berupaya, Bapak sudah bersyukur untuk itu, Nak,” Pak Utsman menepuk pundak Teuku.

“Kalah dan menang itu sudah biasa Nak, roda kehidupan memang akan selalu berputar, tapi pesan Bapak, teruslah semangat berlatih ya Teuku,” Pak Utsman menyemangati. Teuku merespons dengan menganggukkan kepala.

“Hujan sudah reda Nak, ayo kita salat dulu di masjid depan, khawatir hujan besar kembali datang,” Pak Utsman mulai berdiri.

Setelah salat Zuhur, keduanya pun langsung pulang bersama menaiki motor milik Pak Utsman. Sekitar sebelas menit sampailah keduanya di depan rumah Teuku, Teuku pun turun dari motor dan berpamitan dengan Pak Utsman. Masuklah Teuku ke dalam rumah disambut sang ibu tercinta, kemudian ia langsung membersihkan diri dan beristirahat.

“Sudah salat Ashar Nak?” tanya ibu pada Teuku.

“Sudah Bu, barusan di masjid,” jawab Teuku.

“Kamu jangan terlalu kecewa dengan hasil upayamu pagi ini ya Nak, itu kan hanya perlombaan saja,” ibu berusaha menghibur.

“Iya Bu, sepertinya Teuku harus banyak latihan lagi,” imbuh Teuku.

“Sudah istirahat dulu Nak, kamu juga harus jaga kondisi tubuhmu, Ibu khawatir kamu terus berlatih tapi lupa untuk beristirahat,” ibu mengingatkan.

“Baik Bu, Maafkan Teuku sudah membuat Ibu khawatir ya, Ibu, Teuku mau ke rumah Subhan dulu ya, Bu,” izinnya sambil mengecup tangan sang ibu.

Perjalanan menuju rumah Subhan memerlukan waktu sekitar delapan belas menit. Di perkarangan rumah Subhan, ia bertemu dengan Pak Ahmad, ayah dari Subhan yang sedang menyirami tanaman-tanaman miliknya. Sang ayah diketahui memiliki hobi tersebut sedari remaja. Tanpa malu-malu Teuku pun masuk menuju pekarangan rumah.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam,” Pak Ahmad menoleh.

“Wa'alaikumussalam, ada Teuku di sini, sini Nak masuk,” sambung Pak Ahmad sambil mematikan keran dan menggulung selang panjangnya.

“Sudah selesai Pak siramnya?” tanya Teuku sambil mengecup tangan Pak Ahmad.

“Sudah Nak, alhamdulillah, sini duduk dulu sebentar, tadi lombanya gimana Teuku? coba cerita ke Bapak,” Pak Ahmad antusias.

“Saya tidak berhasil menang Pak, alias kalah,” Teuku menundukkan kepala.

“Tidak apa-apa Nak, kamu mewakili Banda Aceh saja Bapak sudah ikut bangga,” Pak Ahmad menepuk-nepuk pundak Teuku.

“Iya, terima kasih Pak, oh iya Pak, Subhannya ada?”

“Itu dia ada di tepi laut Nak, akhir-akhir ini dia sering pergi ke sana,” Pak Ahmad menunjukkan keberadaan Subhan.

“Kalau gitu saya izin menyusulnya ya Pak,” pamit Teuku.

“Iya, hati-hati ya Nak.”

Dilihatnya dari kejauhan, Subhan dengan kursi rodanya termenung menatap riak-riak ombak kecil yang ada di hadapannya.

“Subhan!” Teuku berlari menghampiri sahabatnya.

“Assalamu’alaikum,” Teuku terengah-engah.

“Wa’alaikumussalam, wah, kamu Teuku,” Subhan semringah.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Teuku.

“Teuku, kamu ingat engga, dulu kita sering lomba lari di sini? seru banget ya? Jadi kangen masa-masa itu, tapi sekarang, aku udah engga bisa lari lagi,” Subhan tampak sedih.

“Jangan putus asa gitu dong, ayo semangat! kalo gitu aku ajak kamu lari bareng deh sekarang,” Teuku langsung mendorong cepat kursi rodanya hingga membuat Subhan tertawa.

Tanpa terasa, mereka berada di sana hingga dua puluh menit menjelang waktu Magrib, tanda Teuku harus segera pulang.

“Udah mau Magrib sebentar lagi, antar aku pulang ya Teuku,” pinta Subhan sambil sedikit tertawa.

“Siap! laksanakan Komandan!” jawab Teuku tersenyum dengan berlagak layaknya seorang prajurit.
Selama perjalanan pulang, keduanya berjalan sambil membicarakan sedikit kenangan dahulu. Tak lama keduanya pun sampai di perkarangan rumah Subhan.

“Maaf Subhan, aku juga harus cepat pulang nih, sampai sini engga apa-apa?” tanya Teuku.

“Iya engga apa-apa, aku bisa masuk rumah sendiri juga, makasih ya bantuannya,” syukur Subhan.

“Salam ya buat Ayah dan Ibumu, maaf aku engga mampir,” ucap Teuku langsung berlari cepat menuju rumah.

Bertepatan saat Teuku masuk ke dalam rumah, azan Magrib pun berkumandang. Ibu menyuruhnya agar segera ke masjid dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di depan rumah. Teuku mengganti bajunya dengan baju koko marun, sarung dan peci berwarna hitam. Tak lupa, ia juga membawa Al-Qur'an untuk mengaji bersama di masjid dekat rumah, masjid Raya Baiturrahman. Salat Maghrib pun dilaksanakan dengan tertib. Setelah salat usai, setiap insan berzikir dan berselawat kepada Baginda Rasulullah saw. Setelah itu barulah bacaan Al-Qur'an dimulai. Setelah empat puluh menit berlalu, azan Isya’ berkumandang disusul dengan iqomah sebagai tanda akan segera dimulainya salat. Para jemaah pun melaksaan salat Isya secara berjemaah.

Malam terasa semakin dingin. Teuku beserta teman-teman memilih pulang lebih awal dari biasanya. Di rumah tentu lebih hangat, mengingat pintu dan jendela tertutup rapat-rapat. Teuku masuk ke dalam rumah dengan salam dan dilihatnya sang ibu sedang bermunajat kepada Rabb Yang Maha Agung. Teuku beranjak ke dapur dan membuatkan dua gelas teh hangat manis untuk ibu dan juga dirinya.

“Sudah pulang ternyata kamu, Nak,” ucap sang Ibu.

“Sudah Bu, habis salat Isya' kami semua langsung pulang, udara di luar dingin sekali, Bu,” ujar Teuku sambil menyeruput teh hangatnya.

“Kabarnya Subhan gimana? dia sehat?” tanya ibu.

“Alhamdulillah sehat Bu, tadi dia sempat bilang rindu berlari lagi, Bu,” jawab Teuku.

“Padahal kondisi kakinya jadi begitu saat ia sedang lomba lari ya, tapi masih rindu juga ingin berlari,” sahut ibu. Teuku hanya mengangukkan kepalanya.

“Ibu jadi teringat almarhum Ayahmu dulu, Ayahmu juga hobi lari, ketika kamu berusia empat tahun, Ayah yang sedang tidak begitu bugar memaksakan diri ikut lomba lari maraton yang diadakan oleh bupati dulu.”

“Lalu Bu? apa yang terjadi dengan Ayah?” tanya Teuku penasaran.

“Ayahmu berhasil menyelesaikannya sampai garis finish, namun saat ia sedang beristirahat di pinggir trotoar bersama temannya, tiba-tiba Ayah pingsan dan tak lama meninggal di tempat, tapi ya memang itu sudah waktu ajalnya juga,” sang Ibu bercerita dengan tegar.

“Innalillahi, semoga Ayah husnul khotimah ya, Bu,” ujar Teuku.

“Makanya, Ibu juga khawatir kalau kamu terus berlatih tapi kurang istirahat, Ibu takut kamu kenapa-kenapa, Nak,” Ibu memegang erat tangan Teuku.

“Tenang aja Bu, Teuku akan ingat pesan Ibu, kalau gitu, Teuku pamit izin ke kamar dulu ya Bu, mau langsung tidur,” pamit Teuku yang mulai mengantuk.

“Iya Nak, istirahatlah,” ujar ibu yang masih duduk untuk menghabiskan teh hangatnya.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
R.Bilhaq Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Happy Weekend
Next
Sejumlah Negara Perketat Pelancong dari Cina, Bagaimana dengan Indonesia?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram