Dialog Sepertiga Malam

"Musa tersenyum lebar, matanya berbinar. Sepertiga malam di musim dingin tiba-tiba terasa bersinar. Musa seperti mendapat energi panas yang menyalakan kesabaran dalam dirinya untuk semangat melalui waktu belajarnya di Bumi Para Nabi ini. Musa menatap ke depan, ia membayangkan mampu kembali lagi ke Indonesia dengan hasil yang menggembirakan, dan berkumpul kembali dengan ambu dan abah."

Oleh. Ghumaisha Gaza
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Dalam pembaringannya, Musa hanya menitikkan air mata. Luka yang mendera jiwanya terasa begitu menganga. Ia merasa sangat tak berdaya. Bumi Kinanah yang telah memasuki musim dingin tampak telah membekukan perasaannya. Suara dari ponselnya sedikit pun tak mengikis rasa rindu di hatinya.

"Musa! Ada ratusan hingga ribuan orang setiap tahunnya dari Indonesia datang ke Mesir untuk kuliah di Universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Menjadi salah satunya tentu kesempatan dari Allah Swt. yang tidak boleh Musa sia-siakan. Abah berharap Musa bisa menjadi seorang ulama. Belajar yang sungguh-sungguh di sana! Jangan lewatkan talaqqi bersama masyayikh Al-Azhar, raih keberkahan dengan mulazamah kepada mereka. Selami manisnya lautan ilmu, lautan tsaqofah Islam!"

"Musa mau pulang, Abah!"

"Musa! Bukankah Syekh Fathi Al-Hijazi berkata, kalau mencari ilmu itu membutuhkan umurnya Nabi Nuh, sabarnya Nabi Ayub, dan hartanya Qorun? Intinya memang perlu waktu yang lama, sabar yang luar biasa, dan harta yang tidak sedikit. Jagoan Abah, bisa ya sabar di sana?"

"Musa mau pulang Bah! Pulang!"

Tiba-tiba seorang ibu muda dengan bayi dalam gendongannya berjalan pelan mendekati Musa. Wanita itu membawa beberapa obat dan segelas air hangat. Wanita itu tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun, ia hanya duduk di dekat Musa. Dengan beberapa kali menarik napas panjang, wanita itu turut menitikkan air mata. Ponsel yang sejak tadi menyala, terus memberikan nasihat yang sama.


Nasr City menjelang pergantian tahun terasa semakin dingin. Belum lagi ujian termin satu yang akan dihadapi para masisir ataupun mahasiswa Al-Azhar pada umumnya menjadikan kota ini begitu menegangkan bagi Musa. Selain kuliah dan talaqqi, Musa sebagai mahasiswa tingkat satu fakultas ushuluddin, hanya menghabiskan waktu dengan berdiam diri di kamarnya. Penguasaan bahasa Arab Amiyah yang belum begitu lancar menjadikan Musa juga ragu untuk bepergian mengelilingi negeri Fir'aun ini. Sejak kedatangannya ke Mesir, Musa tinggal di apartemen bersama kakaknya. Jadi, ia juga belum banyak berteman dengan masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir), kecuali beberapa saja yang menjadi teman sekelasnya.

Di sepertiga malam terakhir, Musa tersadar dengan Kitab Syamail Muhammadiyah dalam dekapannya. "Ah, bisa-bisanya ketiduran!" sesal Musa sambil mengusap kitabnya. Semalam ia muroja'ah kajian kitab tersebut tapi di atas kasur dengan selimut menutupi setengah badannya. Karena Mesir sedang begitu dingin, jauh mengalahkan dingin kampung halamannya. Musa bahkan sering menggunakan pakaian berlapis hingga mengalungkan syal ataupun serban.

Tiba-tiba ponsel di sampingnya berdering. "Abah!" pekiknya bahagia. Setelah mengangkat teleponnya sejenak, seperti biasa mereka akan beralih ke zoom meeting. Selain suara yang terasa lebih jelas, Musa juga kerap merekam percakapan mereka. Saat hendak mengaktifkan video, Musa dengan cepat mengusap wajahnya dan meraih peci berwarna hitam.

"Sehat, Sa?"

Musa tersenyum dan mengangguk pelan. "Abah sudah pulang dari rumah sakit? Dua minggu ini Musa benar-benar khawatir, Bah!"

"Jangan banyak pikiran bungsunya Abah! Abah cuma butuh istirahat saja!" suara di ponselnya terdengar cukup jernih. "Nih lihat Abah sedang keliling menghirup udara segar. Di Bandung sudah jam delapan sekarang." cerita Abahnya sambil mengarahkan kamera ke sekitar pondok. "Di sana sudah Subuh belum?"

"Belum!" jawab Musa.

"Subuh agak siang akhir-akhir ini, Bah. Sekitar jam lima, dua jam lagi."

Perbedaan waktu antara Mesir dan Indonesia yang mencapai lima jam memang membuat Musa harus bisa menyesuaikan diri jika ingin menghubungi keluarganya. Terutama jika ingin berbicara dengan abah. Biasanya waktu pagi abahnya belum begitu sibuk mengisi kajian di pondok atau beberapa masjid. Tak jarang ia terbangun di sepertiga malam memang untuk menghubungi abah ataupun ambu.

"Bah! Musa kangen Bandung, kangen masakan Ambu!"

"Iya pasti kangen! Nanti kalau sudah dua tahun di sana, boleh deh pulang dulu. Sekarang baru juga enam bulanan! Kan ada teh Fathimah yang masak buat kamu, insyaallah masakan Sunda!" tutur abahnya. Musa kini melihat abahnya sedang duduk di dekat masjid pondok yang sepi, karena para santri biasanya sedang berada di kelas. "Nurut saja sama Teh Fathimah, sama A Rahman, kalau teteh lagi repot, bantu asuh Nabila sama Nadhira."

"Bagaimana caranya mengasuh balita sama bayi? Nabila sama Nadhira juga kayaknya enggak mau diasuh Musa!" jawab Musa, abahnya hanya tersenyum. Musa kini beranjak dari kasurnya dan duduk di dekat meja belajarnya. Meletakkan kitabnya lalu kembali berbicara. "Uang kiriman dari Abah, sudah Musa tabung. Musa bisa pakai buat ongkos pulang, sendiri!"

Abahnya malah tertawa. "Pakai saja uangnya untuk beli kitab. Nanti akhir Januari ada Cairo International Book Fair ya? Musa ingin kitab apa, beli saja. Kalau uangnya kurang nanti Abah tambah. Pokoknya Musa fokus menuntut ilmu, jangan lupa jaga kesehatan, punya uang beli makanan yang menyehatkan, atau bisa tambah uang belanjanya teh Fathimah. Insyaallah Abah sama Ambu terus doakan Musa dari sini, agar Musa dimudahkan dan dilancarkan belajarnya. Kalau memang sudah waktunya untuk pulang, insyaallah ongkosnya pasti Allah kasih juga. Kalau kangen Abah sama Ambu kan bisa ngezoom lagi!"

Musa berpikir sejenak lalu mengangguk pelan. Setelah hampir setengah tahun tinggal di Mesir hatinya tampak luluh. "Baiklah, Musa coba bersabar lagi."

Abahnya tersenyum. "Insyaallah kalau fokusnya belajar, waktu dua tahun tidak akan terasa. Abah juga pastinya kangen sekali sama anak-anak Abah, sama cucu-cucu Abah. Tapi, Abah titipkan saja sama Allah. Ilmu Abah terbatas untuk mengajarkan segala hal kepada Musa. Abah hanya bisa berusaha mendampingi Musa agar istikamah belajar, agar Musa menjadi anak yang saleh. Mudah-mudahan hasil belajar Musa hari ini jadi bekal berharga suatu saat nanti."

Musa mengangguk sambil terus memandangi layar ponselnya, menatap wajah laki-laki yang tak muda lagi. Laki-laki yang telah mengajarkan Musa banyak hal. Musa merasa sebelum kuliah jauh di Mesir, hari-harinya hanya bersama abah. Musa ingat bagaimana saat masih kecil ia selalu digendong abah mengisi kajian atau mengajarkan Al-Qur'an kepada para santri. Sampai-sampai ia hafal surat-surat pendek Al-Qur'an karena sering mendengar dari yang diajarkan abah atau yang dilantunkan para santri. Sekolah di MI, MTs, sampai MA yang juga dikelola abah. Sekolah sekaligus mondok di pesantren milik abah. Musa merasa belajar itu ya sama abah, sekalipun banyak guru-guru yang lain, tapi guru yang paling ia kagumi adalah abah.

"Ujian jadinya kapan, Sa?" pertanyaan abahnya sedikit mengagetkan Musa.

"Awal Januari, Bah! Sekitar dua minggu lagi!"

Abahnya tampak mengangguk. "Gimana sudah siap?"

"Ini ujian pertama Musa, Bah! Musa agak takut. Kata teman-teman A Rahman nih ya, ujian Al-Azhar itu seperti ujian langit. Enggak bisa ditebak! Ada saat-saat merasa bisa ternyata pas hasilnya keluar enggak memuaskan sama sekali, tapi saat ragu justru nilainya malah bagus. Musa harus bagaimana? Musa takut, Bah! Kalau ujian sekarang gagal, siap-siap aja harus mengulang tahun depan. Musa takut kalau harus mengulang di tingkat satu lagi."

Abahnya tersenyum, "Selain tetap ikhtiar dengan belajar dan menyiapkan setiap materi pelajaran, Musa harus banyak taqorub sama Allah. Lipatgandakan amalan kebaikannya. Pantaskan diri agar mampu meraih rahmat Allah. Berdoa dengan sungguh-sungguh, minta dimudahkan dan dilancarkan dalam menjawab soal-soal ujian."

Musa menarik napas panjang. "Doakan sama Abah sama Ambu juga ya?!"

"Insyaallah!" jawab abahnya. Musa melihat abahnya mulai berjalan kembali. "Yuk kita ke Ambu, minta doa sama Ambu!"

Musa tersenyum lebar, matanya berbinar. Sepertiga malam di musim dingin tiba-tiba terasa bersinar. Musa seperti mendapat energi panas yang menyalakan kesabaran dalam dirinya untuk semangat melalui waktu belajarnya di Bumi Para Nabi ini. Musa menatap ke depan, ia membayangkan mampu kembali lagi ke Indonesia dengan hasil yang menggembirakan, dan berkumpul kembali dengan ambu dan abah.


"Tumben di balkon, Sa? Dingin tahu!"

"Abah mau lihat sungai Nil."

Teh Fathimah mengernyit, lalu mereka serempak memandang jauh ke arah utara. Untuk sejenak mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Kelap-kelip lampu Kota Kairo masih menghiasi. Hari ini hari pertama ujian termin satu untuk seluruh mahasiswa Al-Azhar. Seperti biasa, Musa ingin menghubungi abahnya terlebih dahulu, meminta doa dan ridanya. Mereka berdua kemudian duduk di atas kursi. Sambil menerima minuman hangat dari teh Fathimah, Musa bertanya, "Teteh sama Aa enggak terganggu dengan keberadaan Musa di sini?"

"Kok bicara begitu sih?" Teh Fathimah menghela napas kemudian menyandarkan tubuhnya. "Di antara sembilan anak Abah, hanya kamu yang bisa kuliah di Al-Azhar. Teteh ikut bahagia saat tahu kalau kamu juga lulus seleksi. A Rahman kuliah S2 dan kamu S1. Jadilah teteh dapat berkahnya, bisa mendampingi kalian kuliah di sini."

Musa hanya terdiam mendengar jawaban kakaknya itu. Sementara Teh Fathimah terus berbicara, "Bahkan A Rahman yang meminta kamu tinggal bersama kita. Jadi teteh mudah mengawasi kamu!"

Musa menoleh dan menatap tajam. Teh Fathimah tersipu, wajah putihnya memerah. "Jangan salah tangkap, Sa!" Teh Fathimah kembali memandang jauh Kota Kairo. "Meski bahagia karena kamu lulus, Abah sama Ambu sempat ragu dan khawatir melepas kamu. Kamu sih, terlalu manja sama Abah sama Ambu."

"Manja? Teteh saja yang cemburu, karena batal jadi anak bungsu!"

Teh Fathimah tertawa, "Enak saja! Intinya Ambu khawatir dengan riwayat kesehatan kamu! Apalagi cuaca di Mesir yang berbeda dengan di Indonesia. Di sini kalau panas, panas banget, sekalinya dingin, dingin banget, teteh aja kadang enggak kuat!"

Musa hanya mengangguk. Ia teringat cerita Ambu yang terpaksa dioperasi karena harus segera melahirkannya secara prematur saat usia Ambu sudah di atas empat puluh tahun. Meski tidak begitu mengerti, Musa juga ingat sejak kecil ia memang sering berobat ke rumah sakit.

"Tapi, alhamdulillah, setiap Ambu bertanya soal kamu, teteh selalu jawab 'Alhamdulillah Musa sehat'!" cerita teh Fathimah, "Kata Ambu saat melepas kamu di bandara, seperti ibunda Nabi Musa yang harus menghanyutkan Nabi Musa ke sungai Nil. Rasanya galau, khawatir, dan tak karuan. Tapi kamu tahukan saudara perempuan Nabi Musa yang cerdas? Yang diminta untuk menyusuri sungai mengawasi Nabi Musa?" tanya retoris teh Fathimah, "Ah, itu ibarat Teteh!"

Musa tertawa. Teh Fathimah kini mulai bangkit, "Udah ah dingin! Ayo masuk, sebentar lagi Subuh! Teteh juga harus persiapan buat sarapan kalian, ujian hari ini jangan sampai terlambat. Intinya kamu enggak perlu khawatir, Teteh sama Aa enggak terganggu kok! Kamu juga kan sudah besar, selama ini bisa mengurusi kebutuhan kamu sendiri!"

"Iya, jazakillah khairan katsiraa." ucap Musa sambil mengikuti kakak perempuannya.


Musa keluar dari ruangan ujian dengan cukup tenang. Ia mengenakan pakaian khas pelajar Al-Azhar. Gamis berwarna putih, jubah hitam, serta memakai imamah atau peci berwarna merah dan putih. Meski ia jarang mengenakannya dan pada ujian ini juga tidak diwajibkan, tapi karena permintaan abah, Musa dengan senang hati mengenakannya. Pagi sebelum ia berangkat, teh Fathimah sempat memotretnya, dan mengirimkan fotonya ke grup keluarga. Komentar abah, ia seperti masyayikh Al-Azhar, dan mendoakannya semoga bisa menjadi ulama besar.

Musa ingin segera menyalakan ponselnya yang sejak tadi harus dinonaktifkan. Ia ingin menghubungi abah. Tapi ia kemudian diajak oleh beberapa temannya untuk berfoto terlebih dahulu di depan gedung fakultas ushuluddin. Setelah berfoto dan berbincang sejenak, Musa sadar, dua orang telah menunggunya dan memperhatikannya dari kejauhan. A Rahman dan seorang temannya.

"Perasaan tadi sudah bilang, kalau Musa pulang sendiri saja!" ucapnya dalam hati. "Apa mungkin tradisi pasca ujian hari pertama?"

Sambil berjalan menghampiri kakak iparnya, Musa sempat mengamati sekitarnya. Musa menyalami kakak ipar dan temannya itu penuh takzim. Kemudian A Rahman memeluknya erat, cukup lama. "Ayo pulang!" ajak A Rahman kemudian.

Musa menolak, ia terdiam untuk beberapa saat. Ia merasa ada yang tidak biasa dengan A Rahman. Ia lalu teringat dengan ponselnya. Dengan cepat mengambilnya dari dalam tas dan mengaktifkannya. Notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab terdengar lebih banyak dari biasanya. Musa memandangi layar ponselnya dengan tak percaya. Pesan-pesan yang bertumpuk itu bahkan sejak ia mulai masuk ke kelas, sekitar pukul delapan pagi waktu Kairo. Musa menatap A Rahman yang kemudian hanya mengangguk. Tiba-tiba ponselnya berdering. "Ambu!"

"Sa…!" ambu memanggilnya lembut sambil menahan tangisnya.

"Yang rida ya sayang, maafkan segala kesalahan Abah!"

"Musa masih berkomunikasi sama Abah tadi malam, Mbu! Pagi juga Abah masih membalas pesan Musa!" jawab Musa sedikit berteriak. A Rahman mengusap punggungnya. Ambu menangis sesegukan, kemudian terdengar beberapa kakaknya memanggil namanya. Musa mencengkeram ponselnya, tak lagi memperhatikan siapa yang sedang berbicara. Tiba-tiba Musa merasa badannya lemas, ia kemudian duduk di sebuah kursi tak jauh dari tempatnya berdiri. Ambu sudah mengakhiri panggilannya. Beberapa pesan terus berdatangan untuknya.

"Kenapa, Bah? Kenapa?" bisik Musa sambil mengusap air matanya. Pesan yang sampai kepadanya, abah pingsan saat sedang melaksanakan salat sunah qobliyah Zuhur di masjid. Saat dilarikan ke rumah sakit, abah sudah kembali kepada Allah azza wa jalla.

Musa menatap layar ponselnya kembali. Dilihatnya percakapan dengan abahnya tadi pagi. Matanya kembali berkaca-kaca. Sambil terus beristighfar Musa teringat pesan terakhir abahnya di zoom meeting sepertiga malam tadi setelah ia salat tahajud.

"Musa, masih ingatkan kisah Nabi Musa setelah membelah lautan dan selamat dari kejaran Fir'aun? Ternyata kaumnya (Bani Israil) masih menggerutu, karena mereka terdampar di padang pasir yang tiada sumber kehidupan. Apa kata Nabi Musa kepada kaumnya tersebut? 'Bersyukurlah, maka Allah tambah nikmat kepada kalian'. Ayat ini mengajarkan kepada kita, sekalipun diberi ujian, selain memang harus bersabar ternyata tetap ada ruang untuk bersyukur."

"Musa, anak Abah yang kasep, saleh, pinter, Abah doakan Musa menjadi orang yang faqih fiddin! Jadi amal jariyah untuk Abah dan Ambu. Abah sayang sama Musa, semoga Allah senantiasa menjaga Musa di manapun Musa berada! Saat Musa pergi ke Mesir, Abah juga sempat khawatir, tapi mengapa Abah harus khawatir? Meski Abah ikat Musa di rumah pun, Musa tetap milik Allah. Kapan pun Allah mau, Allah bisa ambil Musa dari sisi Abah. Abah hanya ingin, kita bersama-sama di surga saja."

Setelah beberapa saat akhirnya Musa menerima ajakan A Rahman untuk pulang ke apartemen. Namun saat hendak berdiri, ia merasakan sakit di dadanya. Musa merasa sesak nafas dan pandangannya kabur. Kini, matanya benar-benar terpejam. Sementara mulutnya terus bergumam, "Abah! Musa, mau pulang, Bah! Musa kangen Abah! Abah!"

Mesir pada hari itu laksana sungai Nil yang menghanyutkannya. Laksana Fir'aun yang kejam menyakitinya. Akan adakah dialog sepertiga malam yang indah seperti malam-malam sebelumnya?

Selesai[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ghumaisha Gaza Kontributor NarasiPost.Com & Pemenang Challenge True Story NP
Previous
Pajak, Bagai Vampir Pengisap Penghasilan Rakyat
Next
Perempuan dan Anak Aman di Bawah Naungan Islam
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Hesti
Hesti
1 year ago

Masyaa Allah. Bagus banget

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram