"Aku akan melanglang ke mana-mana untuk menjajakan es buatan ibuku. Aku akan menjelajahi jalanan beraspal dan berkerikil untuk mengais rezeki dari kantong orang-orang."
Oleh. Ramli Lahaping
NarasiPost.Com-Untuk pertama kalinya, aku mengarungi jalanan dengan sepeda motor peninggalan ayahku beserta perangkat-perangkatnya. Sebagaimana lakunya kemarin-kemarin, kini aku pun membonceng segentong es krim serut dan segala macam embel-embelnya di sisi belakangku. Dengan setengah malas, aku akan menjejaki segenap sisi jalanan untuk mencari-cari orang yang bernafsu mencicipi es tersebut di musim kemarau ini.
Aku sungguh tak pernah bercita-cita untuk tinggal di desa dan mewarisi pekerjaan ayahku yang tak bergengsi. Aku sungguh ingin beranjak ke kota untuk berkuliah dan kelak mendapatkan pekerjaan yang terpandang. Namun, kenyataan seolah memaksaku untuk menerima keadaan. Ayahku telah meninggal dengan harta peninggalan yang seadanya, sedang aku malah tidak lulus pada tes masuk perguruan tinggi negeri untuk berkuliah dengan biaya yang terjangkau.
Akhirnya, mau tak mau, aku pun melakoni pekerjaan ayahku demi kehidupanku dan ibuku. Sejak hari ini sampai esok nanti, aku akan melanglang ke mana-mana untuk menjajakan es buatan ibuku itu. Aku akan menjelajahi jalanan beraspal dan berkerikil untuk mengais rezeki dari kantong orang-orang. Apalagi, sebagai anak semata wayang, ibuku tak mengharapkan siapa-siapa selain diriku.
Tetapi, menjadi penjual es keliling tentu bukan perkara yang menyenangkan bagiku. Di dalam hati, aku tetap merasa bahwa pekerjaanku adalah pekerjaan yang tak berkelas. Aku merasa melakoni pekerjaan yang tak membanggakan. Karena itu pula, aku merasa khawatir kalau-kalau aku dipandang hina atas pekerjaan tersebut. Aku tak punya mental yang kuat untuk tetap merasa berharga di tengah anggapan merendahkan dari orang-orang.
Atas pandanganku itu, dahulu semasa sekolah, aku pun tak pernah merasa senang melihat ayahku bekerja sebagai penjual es. Aku merasa rendah diri terhadap teman-temanku atas pekerjaan ayahku tersebut. Karena itulah, aku akan sangat kesal ketika ayahku bertandang ke sekolahku. Pasalnya, teman-temanku akan senantiasa mengolok-olokku setelah menyaksikan kedatangannya.
Akhirnya, pada paruh waktu aku duduk di bangku SD yang berlokasi di desaku sendiri, ayahku memutuskan untuk tidak menjadikan sekolahku sebagai pangkalan jajanannya. Hanya sesekali saja ia singgah dan sejenak berlalu. Itu karena aku yang labil atas perisakan teman-temanku, telah memintanya dengan tegas agar ia tidak menjual es di lingkungan sekolahku atau aku akan berhenti sekolah.
Keadaan serupa terjadi saat aku duduk di bangku SMP, pada sebuah sekolah di desa samping desaku. Dengan begitu saja, ayahku tampak mengerti bahwa aku merasa kurang berkenan melihat keberadaannya di lingkungan sekolahku. Ia seolah memahami bahwa aku makin peduli pada harga diri di masa pubertas, dan aku tak sanggup direndahkan atas penampakannya. Karena itulah, ia hanya sesekali singgah dan lekas pergi kemudian.
Hingga akhirnya, demi terlepas dari perasaan rendah diri atas pekerjaaan ayahku, maka di puncak pergolakan batinku sebagai remaja, aku pun memilih untuk melanjutkan SMA di tempat yang jauh di ujung kecamatan. Aku ingin bersekolah tanpa kehadiran ayahku di lingkungan sekolahku sama sekali. Aku tidak ingin lagi kalau teman-temanku, apalagi yang perempuan jadi tahu bahwa ayahku adalah seorang penjaja es serut.
Dan benar saja. Selama aku duduk di bangku SMA, aku tak pernah sekalipun melihat keberadaan ayahku di lingkungan sekolahku. Entah karena ia memang mengerti tentang perasaan gengsiku yang tinggi, atau karena ia merasa tidak akan bisa bersaing dengan beberapa penjual es yang lain. Namun yang pasti, aku berhasil menjalani masa-masa SMA tanpa kekhawatiran perihal harga diriku atas pekerjaan ayahku.
Akhirnya, di tengah kebebasanku dari citra hina itu, aku pun jadi lebih percaya diri untuk meluruhkan hasrat jiwaku yang labil. Aku lantas berusaha mendekati seorang siswi setingkatku yang cantik dan menarik perhatianku, hingga aku berhasil menjadikannya sebagai kekasih. Tetapi demi menjaga harga diriku di matanya, aku pun terus menyembunyikan kenyataan bahwa aku adalah anak seorang penjual es, sembari mengakui diri sebagai anak seorang guru SD berstatus pegawai negeri.
Waktu demi waktu, hubungan kami jadi makin lekat sebagaimana sejoli muda yang tengah dimabuk cinta. Kami seolah tidak akan terpisah untuk selama-lamanya. Tetapi yang terjadi ternyata di luar dugaanku. Di akhir tahun kedua masa SMA kami, tiba-tiba ia pindah ke sekolah lain di pulau seberang, dengan alasan turut ayahnya yang pindah tempat tugas sebagai seorang tentara.
Akhirnya, sejak saat itu aku terus menyimpan perasaanku untuknya, meski kami tak lagi berbagi kabar. Itu karena kami terpisah tanpa perkara yang memancing kebencianku, sehingga aku tak punya alasan untuk membunuh perasaanku. Karena itu pula, sampai saat ini aku masih memendam satu harapan besar bahwa kelak kami akan kembali bertemu dan menjadi sepasang kekasih yang sejati.
Namun sayang, kini aku jatuh dalam kenyataan hidup yang menyedihkan. Aku menjadi seorang penjual es keliling dengan pendapatan yang seadanya. Aku telah gagal menjadi seorang mahasiswa, sehingga aku gagal meniti jalanku menjadi seorang insinyur. Aku masih jauh dari kesuksesan dan kemapanan, sehingga aku merasa belum sepatutnya untuk menemukan dan menikahinya.
Di tengah kenyataan hidupku yang runyam, aku pun terus berusaha untuk menjalani kehidupan dengan apa adanya. Aku tetap saja menyimpan harapan atas penyatuan cintaku dan cintanya, sembari berupaya menyambung hidup sebagai penjaja es. Aku sabar bertahan, sambil bertekad untuk kembali mengikuti tes masuk perguruan tinggi di tahun mendatang demi masa depanku dengannya.
Dan kini, di tengah perjalananku menjejaki jalanan untuk menawarkan es kepada orang-orang, aku makin mengerti bahwa mencari rezeki bukanlah perkara yang mudah. Aku pun jadi merenungi kekurangajaranku kepada ayahku dahulu. Aku merasa telah berlaku zalim karena tidak menghargai dan menghormatinya. Aku merasa bersalah dan sangat ingin meminta pengampunan kepadanya.
Akhirnya, demi mengikis rasa bersalahku kepadanya, aku pun berusaha menyadarkan diriku untuk menerima nasibku sebagai seorang penjual es sebagaimana dirinya. Dengan penuh keinsafan, aku terus menelusuri jalanan untuk mencari-cari orang yang membutuhkan esku sebagai pelepas dahaga. Aku ingin pulang dengan membawa penghasilan yang cukup untuk ibuku.
Karena itulah, di bawah terik matahari aku tak mau lagi mengeluh dan bermasa bodoh untuk mengais rezeki, walau sedikit demi sedikit. Aku kukuh bersemangat mengarungi jalanan untuk menemukan pembeli yang baru, atau menjumpai pelanggan ayahku yang mungkin telah lama menanti. Dan beruntung, aku berhasil mendapatkan mereka, satu per satu, entah anak-anak atau orang dewasa.
Tetapi sepanjang jalanan beraspal, es jualanku ternyata tidak selaku yang kubayangkan. Singgah di halaman sebuah SD pada jam istirahat, juga tak banyak melariskan jajananku. Kukira, itu terjadi karena es krim kemasan yang bermerek telah bertebaran di kios-kios yang barangkali lebih bergengsi bagi orang-orang ketimbang es serut jualanku.
Akhirnya, aku terus menyusuri jalanan di tengah ketidaktahuanku perihal lintasan ayahku dahulu. Aku terus melajukan motorku ke arah yang entah tujuannya ke mana, sampai aku melewati bangunan SMA-ku dahulu. Hingga akhirnya aku tertarik dan memutuskan untuk menyusuri sebuah jalan desa yang berkerikil, sembari berharap semoga banyak warga yang akan membeli esku di sana.
Harapan itu kukira berdasar. Aku berpikir bahwa di tengah pedesaan, es-es kemasan belumlah terjual di warung-warung. Terlebih lagi, pasti banyak warga yang tidak tertarik atau tidak tahu meracik es krim, atau bahkan belum memiliki kulkas. Ditambah lagi kemungkinan banyak warga desa yang kelelahan dan membutuhkan pelepas dahaga setelah mereka menguras tenaga sebagai petani dan penambak.
Sampai akhirnya, setelah menyusuri jalanan yang berkerikil dan bergelombang, aku pun tiba di sebuah perkampungan. Dari rumah-rumah yang berjarak, satu per satu warga kemudian menahanku dan membeli es jajananku. Mereka adalah orang-orang dewasa yang penat bekerja, ataupun anak-anak kecil yang lelah bermain.
“Kamu anaknya Pak Diman, ya?” Tanya seorang ibu yang membeli esku untuk seorang anaknya.
Aku pun mengangguk dan melayangkan senyuman untuk menyuratkan keramahanku. “Kok, Ibu bisa tahu?”
Ia lantas tertawa pendek, “Ya, aku bisa menebak dari rupa motor dan gandenganmu ini. Apalagi, bapakmu memang kerap datang menjajakan es di sini. Bahkan sudah lama anak-anak menantikan kedatangannya.”
Sontak, aku terenyuh mengetahui bahwa ayahku telah berjualan es sampai di titik yang begitu jauh, hingga melewati lingkungan sekolahku yang dahulu tak pernah ia singgahi.
“Memangnya, Bapakmu di mana sampai kau yang berjualan es?” Tanyanya lagi.
Aku lalu mendengkus lesu, “Tujuh hari yang lalu, bapakku kena serangan jantung dan meninggal, Bu.”
Ia pun tampak terkejut dan prihatin, “Aku turut berduka, ya.”
Aku mengangguk saja sambil tersenyum simpul.
Beberapa saat kemudian, aku kembali melanjutkan perjalananku. Waktu demi waktu, aku terus menemukan satu demi satu pembeli es jajananku. Beberapa di antara mereka merupakan pembeli yang baru, tetapi beberapa juga mengaku sebagai langganan ayahku dahulu. Atas kenyataan itu, aku pun tersentuh membayangkan perjuangan ayahku dalam mengais rezeki, sehingga aku merasa makin berdosa kepadanya.
Hingga akhirnya, untuk pembeli yang kesekian di sebuah pedesaan yang jauh dari jalan raya ini, aku kembali menghentikan sepeda motorku setelah seorang anak kecil menyorakiku dan memanggil-manggil ibunya. Tak berselang lama, seorang perempuan kemudian menuruni tangga rumah panggungnya dan melangkah ke arahku.
Seketika pula, aku jadi terpaku memandang wajah perempuan itu. Pasalnya, ia tidak lain adalah kekasihku di bangku SMA dahulu yang sampai kini masih kuharapkan untuk menjadi pendamping hidupku kelak.
Di sisi lain, ia pun tampak heran menyaksikan kehadiranku. Ia terus saja mendekatiku dengan langkah yang ragu-ragu dan tatapan yang penuh tanda tanya. Hingga akhirnya ia berdiri tepat di sampingku.
“Pesan dua, Pak," katanya dengan sikap seolah-olah kami tidak saling mengenal.
Di tengah kekakuan tubuhku dan kebekuan perasaanku, tanpa berkata-kata aku pun lekas meramu dan menyerahkan es pesanannya.
Tanpa berkata-kata pula, ia lantas memberikan bayaran yang pas untukku. Setelah itu, ia lekas berbalik badan dan melangkah menuju ke kolong rumahnya, menuju seorang perempuan kecil yang kupastikan sebagai anaknya, juga seorang laki-laki dewasa yang kutaksir sebagai suaminya.
Akhirnya, tanpa menunda waktu aku pun menyalakan sepeda motorku. Cepat-cepat, aku kemudian berbalik arah dan pulang dengan perasaan yang kacau dan tak akan sanggup lagi untuk kembali.[]