"Sepasang suami istri yang sedang dimabuk asmara ini tetap menyandarkan takdir hanya pada Allah. Mereka mengarungi ujian demi ujian dengan mengharap ampunan dari Allah. Aini mendawamkan cinta dengan melangitkan doa dan menampakkan kesetiaan merawat Aghfar, suami yang menerimanya sepenuh hati."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Ranting-ranting patah teronggok tak berdaya akibat angin ribut sore tadi. Pelataran ruang maskin (masyarakat miskin), sebuah ruang kelas 3 di rumah sakit daerah, dipenuhi oleh dedaunan yang berserak. Hujan deras dan angin ribut kompak menyapa kebisingan sore. Aini menatap sisa keributan angin dengan netra dipenuhi kesedihan. Sudah empat hari Aghfar tergolek dalam sakitnya.
Cinta telah bersemi di hati Aini sejak sebulan lalu. Rasa kasih sayang itu memenuhi rongga dada setiap ia berinteraksi dengan suaminya. Adaptasi selama empat bulan, dia baru merasakan manisnya cinta di bulan kelima pernikahannya. Aghfar yang sabar dan penyayang membuat Aini sangat mudah luluh dan mendawamkan cintanya. Bahtera rumah tangganya itu diliputi kehangatan dan keharmonisan.
Dua hati sepasang kekasih ini terpaut indah dalam alunan ibadah pernikahan. Walau tak saling mengenal sebelumnya, walau cinta tak langsung merekah di dada, mereka melakoni kewajiban sebagai suami istri dengan sebaik-baik peran. Allah saja yang mereka jadikan sandaran. Sakitnya Aghfar sempat membuat Aini sedih. Namun, sang suami menguatkan bahwa semua ini adalah ujian untuk menaikkan level keimanan. Jika mereka semua bersabar, insyaAllah dosa akan dihapus oleh Sang Maha Pemilik kehidupan.
Mendawamkan cinta untuk suami sungguh nikmat dirasa. Aini dengan setia merawat suami mulai dari awal sakitnya. Aghfar sakit punggung dan pusing yang teramat, ketika hendak ke kamar mandi di tengah malam, ia jatuh karena teramat pusing. Segera, ia dilarikan ke IGD salah satu rumah sakit swasta. Dia diduga stroke ringan, tensinya sangat tinggi. Sempat dirawat di sana sebentar, akhirnya dirujuk ke RSUD kabupaten. Di sinilah, keributan angin dan derasnya hujan menemani sore mereka.
Sepasang suami istri yang sedang dimabuk asmara ini tetap menyandarkan takdir hanya pada Allah. Mereka mengarungi ujian demi ujian dengan mengharap ampunan dari Allah. Aini mendawamkan cinta dengan melangitkan doa dan menampakkan kesetiaan merawat Aghfar, suami yang menerimanya sepenuh hati. Aini akui, dia menemukan ketenangan jiwa setelah menikah dengan Aghfar. Bahkan, Aghfarlah yang berhasil membuatnya berdamai dengan kemarahan dan kekecewaan pada mantan suaminya dulu.
Aini mengerti hakikat pernikahan saat qobul terucap dari lisan Aghfar. Dia menjalani peran sebagai istri seutuhnya. Suaminya yang tiga tahun lebih tua sangatlah dewasa dan bijaksana. Selama lima purnama mereka menikah, tak pernah Aini rasakan omelan ataupun sedikit perilaku buruk suaminya. Justru, perlakuan baik yang selalu menyelimuti setiap helaan napasnya. Kebaikan Aghfar menyentuh setiap denyut nadinya.
Aini membimbing Aghfar tayammum untuk menunaikan salat Magrib dan Isya. Lepas itu, lantunan surah Al-Waqiah terdengar di seantero ruangan maskin. Pasien lain tak merasa terganggu, justru sejuk dan teduh mendengar Aghfar mengaji dengan begitu khusyuk. Aini mengikuti lantunan itu dengan suara kecil. Bulir-bulir bening tak bisa dibendung. Netranya selalu memerah setiap dia tilawah dengan suaminya.
Lepas tilawah, mereka mengobrol ringan seputar kabar di rumah. Sesekali Aghfar masih merayu dan memuji Aini dengan mesra. Canda dan tawa menari di antara lisan mereka. Aini meminta Aghfar untuk istirahat karena sudah jam 9 lewat. Dengan patuh, Aghfar menuruti titah istri yang sangat dicintainya. Tiga puluh menit kemudian, saat Aini sudah di ambang lelap, indra pendengarannya menangkap napas patah-patah suaminya. Segera dia terbangun, menyaksikan betapa dada Aghfar seperti berat naik turun, seperti ada beban ribuan ton batu saat tarikan napas naik ke atas ke bawah. Napas suaminya tersengal. Segera dia berlari meminta tolong perawat. Lima menit kemudian, dia dinyatakan kritis.
Kesibukan di ruang maskin membangunkan pasien lain yang ada di sana. Tatapan sedih mereka mengiringi napas sesak Aghfar. Mereka merasa iba dan sayang padanya. Lantunan ayat suci dari lisannya begitu menenangkan seisi ruangan maskin sejak ia dirawat di ruang itu. Bait-bait doa terlontar dari tiap lisan penghuni ruang maskin untuk kesembuhan Aghfar.
Paramedis sibuk menelpon beberapa rumah sakit di luar kota yang lebih lengkap alatnya, hendak mencari ruang ICU yang kosong. Nihil. Aghfar dibantu alat napas ala kadarnya. Hingga akhirnya jam 1 dini hari, ia dilarikan ke RSUD kota yang mengabarkan telah ada ruang kosong di sana. Meski kritis, Aghfar tetap sadar. Kalimat thoyyibah diucapkan di antara sesak yang mendera. Saat di ruang ICU, napasnya yang berat mulai berkurang. Dia berpesan pada Aini, "Allah sebaik-baik tempat bersandar. Kau jangan sedih istriku. Semua di dunia ini milik-Nya. Aku pun milik-Nya. Doakan aku kuat menghadapi ujian ini."
Aini menganguk paham. Kesedihan dan ketakutan berkelebat dalam benak dan hatinya. Namun, kata-kata Aghfar melecut harapan yang sempat memudar. Di luar ICU, Aini mencari musala rumah sakit. Di sana, ia mengadu dan menumpahkan segala keluh kesah dan harapan. Dia terus mendawamkan cinta dalam lautan doa-doa. "Ya Robbi, hanya Engkau yang bisa memberi kesembuhan pada tiap penyakit, sembuhkanlah suami hamba. Yaa Allah, Engkau Pemegang nyawa setiap manusia, berikanlah usia yang barakah pada Aghfar, suami yang telah hamba cintai karena-Mu. Izinkan kami membangun mahligai rumah tangga ini dalam waktu yang lebih lama dalam rimbunnya keridaan-Mu."
Aini larut dalam doa sampai waktu subuh. Lalu, ia bergegas ke ruang ICU untuk membantu suaminya salat. Dia diizinkan perawat dengan waktu yang sangat terbatas. Usai salat, Aghfar menggenggam tangan istrinya erat. Dia sudah tak bisa banyak bicara, hanya keteduhan pandangannya yang menyapu wajah Aini penuh cinta. Dada Aini bergemuruh kala ditatap suaminya mesra. Ingin rasanya ia memeluk Aghfar lebih lama lagi, namun waktunya telah habis. Senyum Aghfar mengantarnya keluar ruang ICU. Sejak itu, Aghfar koma. Aini tercekat mendengar kabar itu. Segera ia memberi kabar ibu mertua dan adik iparnya. Mereka berkumpul di luar ruang ICU. Sesekali mereka bergantian masuk atas izin dokter. Lantunan surah Yasin tiada henti dibacakan oleh mereka bertiga. Dokter seakan memberi kode bahwa waktu suaminya tak akan lama lagi.
"Ibu, perbanyak doa, bisikkan syahadat dan kalimat tauhid untuk suami ibu," Begitu nasihat dokter saat ia di ruang ICU.
Hati Aini yang telah mendawamkan cinta merasa sangat terpukul. Namun, ia segera teringat pesan Aghfar. Maka, ia mencoba memperbanyak dan merawat stok sabar agar tak hilang dari dirinya.
"Fashbir shobron jamila."
Aini lunglai di luar ruang ICU. Tiga jam mereka harap-harap cemas menanti kabar dari dokter. Hingga jam 8.06 WIB, perawat keluar dan mengucapkan kkalimat istirja'. Ibu mertuanya menjerit histeris. Adik iparnya memeluk ibu yang terguncang dengan erat. Aini masuk melihat jenazah suami tercinta. Paramedis telah melepaskan belalai dan alat-alat yang terpasang di anggota badannya. Wajah teduh dengan senyum itu masih terbingkai. Air mata meleleh di kedua pipi Aini. Dia ikhlas. Ini bukan akhir ia mendawamkan cinta untuk Aghfar.[]