"Konsep kewajiban melaksanakan hukum Islam secara kaffah, inilah yang kemudian menuntut seruan penerapan hukum syariat Islam tidak hanya didakwahkan pada individu semata, tapi juga kepada masyarakat dan negara."
Judul Buku: Mafahim Hizbut Tahrir (B. Arab dan Terjemahan B. Indonesia)
Penulis: Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
Penerbit: Pustaka Syabab (B. Arab) dan Pustaka Fikrul Islam (Terjemahan)
Tahun Terbit: 2001
Tebal: 84 halaman (Arab) 128 halaman (Indonesia)
Peresensi: Athiefa Dienillah
NarasiPost.Com-Berangkat dari keprihatinan atas tuduhan tentang “Hizbut Tahrir” sebagai gerakan yang pemikirannya memicu munculnya “Terorisme” di negeri ini. Saya yang telah membaca dan mengkaji kitab ini alenia per alenia, rasanya gemas untuk menyampaikan resensi buku ini, agar para pembaca bisa mengetahui pemikiran-pemikiran mereka (Hizbut Tahrir) langsung dari buku yang menjadi kitab pegangan para anggotanya.
Menarik untuk diperhatikan dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir ini, setiap alenia memuat kerangka berfikir yang ‘unik’ dan ‘khas’ untuk dicermati. Berisi pemikiran cemerlang dari Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani Rahimahullah, yang disampaikan pada para anggota Hizbut Tahrir, sehingga menjadi pemahaman yang mengalir dalam aliran darah mereka (mentajassad).
Dimulai dari penggambaran ‘fakta ymat’, dalam pandangan beliau, umat Islam saat ini sedang dalam kondisi sangat terpuruk karena lemahnya kaum muslimin dalam memahami Islam. Penyebabnya adalah dipisahkannya potensi B. Arab dalam upaya memahami Islam dan melaksanakannya dalam amal keseharian.
Fakta umat seperti ini bukan berarti tak ada upaya yang dilakukan oleh kaum muslimin untuk membangkitkan umat. Hanya saja banyak harakah atau gerakan yang mengusahakan kembangkitan tapi ternyata mengalami kegagalan. Beliau menganalisa kegagalan tersebut disebabkan dua faktor utama yaitu ‘faktor internal’ dan ‘faktor eksternal’.
Beliau menjelaskan bahwa faktor internal ini datang dari dalam diri kaum muslimin sendiri. Baik dari para penggerak kebangkitan ataupun umat yang dibangkitkan.
Para penggerak kebangkitan, dalam mengupayakan kebangkitan umat secara ‘fikrah’ mereka tidak memiliki pemikiran yang mendalam terhadap objek yang ingin mereka bangkitkan. Selain itu, mereka pun tidak memiliki gambaran metode (‘Thariqah’) dalam mengupayakan tahapan-tahapan bagi kebangkitan umat. Semakin parah, mereka para aktivis penggerak kebangkitan ini tak mampu ‘mengaitkan antara fikrah dengan thariqah sehingga secara berangsur-angsur masyarakat diberi pemahaman tentang konsep kebangkitan tapi tak paham bagaimana mewujudkan kebangkitan tersebut.
Di sisi yang lain, kaum muslimin yang akan dibangkitkan di akhir tahun 1300 H atau kisaran tahun 1900 M adalah umat yang mulai jauh dalam menafsirkan syariat Islam. Pelaksanaan hukum-hukum Islam dalam masyarakat mulai mengalami penyimpangan dan mulai tidak lagi selaras dengan nash-nash Al-Qur'an. Seolah nash-nash Al-Qur'an yang harus menyesuaikan kondisi masyarakat saat ini.
Di sinilah Syekh Taqiyuddin menyimpulkan bahw masyarakat yang seperti itu adalah ‘masyarakat rusak’ yang butuh diperbaiki dengan ‘mabda’. Maka adalah merupakan ‘kewajiban’ untuk bisa memahami mabda sebagaimana sebuah mabda. Melakukan perubahan pada masyarakat yang rusak ini dengan perubahan inqilaby yaitu perubahan yang mendasar dalam menerapkan syariat Islam sebagaimana Islam datang diawal keberadaannya.
Hanya saja keberadaan filsafat asing, orang-orang munafik di tengah umat, pengabaian terhadap bahasa Arab dan serangan ghazwul fikr dari luar Islam juga ghazwul tsaqafi, ghazwul siyasi dan misionaris semua ini menjadi penghalang bagi upaya kebangkitan umat yang dilakukan oleh harakah (gerakan) kebangkitan yang bersifat mabdaiy.
Sehingga memahami tembok penghalang kebangkitan umat, yang memang sengaja diletakan oleh orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam ini mutlak harus dijabarkan.
Maka, Syekh Taqiyyudin, mencoba menggambarkan tembok penghalang ini, ia diletakkan oleh para musuh Islam dari awal pembelajaran. Mulai dari yang belajar, mereka diberi pelajaran dengan metode belajar yang bertentangan dengan metode pembelajaran dalam Islam. Seharusnya pelajar saat menuntut ilmu, konsepnya adalah untuk diamalkan, tapi kemudian diubah. Ilmu hanya sebatas teori tanpa pengamalan. Dari yang mengajar, penyampaian ilmu dirasakan hanya sebatas nasihat dan petunjuk, dan tidak sesuai dengan metode pengajaran dalam Islam, di mana proses pembelajaran adalah metoda ‘Tatsqif’ pembinaan yang memperhatikan perwujudan ilmu dalam amal keseharian. Mempelajari ilmu hingga memegaruhi akal dan perasaan para pembelajarnya. Terakhir dilihat dari materi yang diajarkan, kurikulum materi pembelajaran seharusnya tidak terpisah dari hukum syariat Islam. Karena keterikatan amal manusia dengan hukum Allah adalah kewajiban yang bersifat ain. Maka setiap materi pembelajaran harus senantiasa berkaitan dengan konsep ini.
Persoalan kedua yang menjadi penghalang kebangkitan umat, ia datang dari luar kaum muslimin yaitu adanya serangan pemikiran Barat yang menikam Islam dan menjelek-jelekan ajaran Islam di dalamnya. Persoalan menjadi semakin berat, saat kaum muslimin menghadapi pemikiran Barat ini dengan mereka memosisikan diri menerima sebagai ‘tertuduh’ sehingga mengambil sikap membela diri (Apologis). Akibatnya masyarakat semakin terjauhkan dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Penghalang ketiga, menurut Syekh Taqiyyudin, adalah pudarnya pengaruh Daulah Islamiyah dan keruntuhan Daulah Islamiyah menjadi penyebab kaum muslimin memandang kembalinya Daulah Islamiyah dalam kehidupan mereka adalah suatu kemustahilan dan berhukum dengan satu pemerintahan Islam saja adalah sesuatu yang tak mungkin terjadi. Akibatnya, kaum muslimin rida dihukumi dengan hukum selain Islam dan mengganggap menerapkan hukum selain Islam bukan sebagai bencana, bahkan mereka menjadi penyeru terhadap sistem batil tersebut.
Hasil dari semua itu, kaum nuslimin menjadi apatis, mereka tak merespon seruan kembali pada hukum Islam, dan mereka diam “menikmati” hidup di bawah sistem kufur.
Semua persoalan di atas inilah yang menjadi kegagalan hampir semua gerakan (harakah) yang mengupayakan kebangkitan umat Islam.
Di sinilah kemudian beliau (Syekh Taqiyyuddin) menawarkan sebuah harakah yang memahami fikrah, thariqah dan pengaitan antara keduanya yang kemudian harakah tersebut beraktifitas untuk “melangsungkan kembali kehidupan Islam”.
Harakah yang muncul di satu wilayah sebagai titik awal (Nuqtoh Ibtida’i) kemudian menyebarkan dakwah ke wilayah-wilayah lain sebagai titik tolak (Nuqtoh Intilaq) dan menetapkan satu wilayah yang akan menjadi benih bagi tegaknya Daulah Khilafah (Nuqtoh Irtikaz)
Hizbut Tahrir adalah gerakan yang memiliki tujuan “Melangsungkan Kehidupan Islam”. Di mana mereka berpendapat tidak mungkin kehidupan Islam bisa berlangsung kecuali tegak Daulah Islamiyah dengan sistem Khilafahnya, yang akan menerapkan Islam secara kaffah dan mengemban Islam ke seluruh dunia hingga terwujud janji Allah, Islam sebagai rahmat bagi seluruh dunia.
Bagaimana Hizbut Tahrir mencapai tujuannya tersebut, dipaparkan dalam buku ini.
Mereka melakukan adopsi hukum syariat setelah melalui proses mempelajari, memikirkan, dan membahas segala sesuatu terkait persoalan manusia secara individu, persoalan antara manusia dan opini-opini umum yang berkembang di tengah mereka, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum syariat (kaidah-kaidah umum, definisi, dll)
Mengadopsi Pemikiran (afkar), pendapat-pendapat (a’ra) dan hukum-hukum (ahkam) Islam yang dianggap rajih (kuat) dan tepat untuk kemudian didakwahkan sebagai pemikiran, pendapat dan hukum Islam. Karena semua diambil dari dalil-dalil yang sumbernya merupakan sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur'an, As-Sunah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.
Mendakwahkan semua pemikiran, pendapat dan hukum dengan ‘dakwah pemikiran’ yang diupayakan senantiasa menjadi qiyadah fikriyah (mempimpin pemikiran-pemikiran lain).
Mendapatkan pemikiran tentang afkar, a’ra dan ahkam dimulai dari berpikir mendalam (amik) dan cemerlang (mustanir) tentang manusia dan perbuatannya yang diuraikan pada alenia selanjutnya dalam buku ini.
Pembaca diajak berpikir secara menyeluruh tentang keberadaan alam, manusia, dan kehidupan (AMK) yang hakikatnya adalah makhluk. Setelah manusia menyadari dirinya merupakan makhluk bagi Pencipta, melalui penguraian simpul besar yang terdapat dalam diri manusia, manusia diajak memahami tujuan hidupnya dengan menjawab tiga pertanyaan mendasar yaitu dari mana saya?, mau kemana? dan mau apa saya dalam hidup? Jika terjawab semua pertanyaan ini, maka tertancap keyakinan (akidah) pada Pencipta dan Pengatur Kehidupan, yang Dia akan membangkitkan kehidupan setelah kematian lalu meminta pertanggungjawaban manusia terhadap semua amal yang dilakukan semasa hidup. Dengan demikian, jelas tergambar tujuan hidup manusia adalah melakukan amal yang sesuai dengan perintah Rabb-nya. Maka, mencari keridaan Allah Swt. adalah tujuan utama hidup manusia.
Lalu penguraian tentang AMK sebagai makhluk tidaklah tersusun dari materi dan ruh memberi gambaran pada pembaca tentang apa yang disebut dengan materi dan apa yang dimaksud dengan ruh, aspek rohani dan kerohanian.
Penjelasan yang terperinci tentang apa itu ruh, sspek rohani dan kerohanian menjadikan pembaca memahami keberadaan ruh yang dimaksud oleh Syekh Taqiyyudin di sini bukanlah ruh dalam pengertian nyawa malaikat (ruhul qudus) ataupun ruh sebagai syariat. Melainkan yang dikehendaki adalah ruh dengan makna ‘kesadaran akan hubungan dengan Allah Swt. ’
Di mana ruh ini tidak akan dimiliki, kecuali oleh orang yang beriman kepada Allah Swt.
Bagaimana proses memasukan ruh (idrak silah billah) dalam setiap amal perbuatan manusia, diuraikan pula dalam buku ini. Dalam alinea yang membahas tentang perbuatan manusia, Syekh Taqiyyudin membagi perbuatan manusia dalam dua wilayah,
Perbuatan yang manusia memiliki kendali atasnya dan perbuatan yang manusia tidak memiliki kendali atasnya.
Di dalam dua wilayah tersebut, perbuatan manusia yang terjadi di luar kendali manusia menurut Syekh Taqiyyudin, adalah perbuatan-perbuatan yang tak akan mendapat Hisab dari Allah Swt.
Berbeda dengan perbuatan yang ada di wilayah yang manusia memiliki kekuasaan untuk memilih sistem yang akan dijalaninya dalam melakukan perbuatan. Maka, di wilayah ini manusia akan menerima hisab dari Allah Swt.
Dalam menilai baik atau buruk perbuatan dan manusia memilih mau atau tidak melakukan suatu perbuatan, maka manusia bisa salah menafsirkan hal ini. Pemaparan yang mendalam dan cemerlang dalam buku ini mengupas kesalahan manusia menilai perbatan baik atau buruk dilihat dari kacamata manusia.
Maka, diuraikan secara hakikat, perbuatan hanyalah bersifat materi tanpa nilai baik atau buruk di dalamnya. Kecuali setelah dilihat faktor-faktor yang menjadi pendorong manusia berbuat. Serta tujuan dari melakukan perbuatan. Kedua faktor inilah yang memberi nilai perbuatan menjadi baik atau buruk.
Kedua hal ini yang harus senantiasa disadari manusia, dan kesadarannya harus berdasarkan pada keyakinan terhadap Allah Swt.
Sehingga menurut Syeikh Taqiyyudin, melakukan perbuatan bagi seorang muslim harus berada dalam koridor mencari keridaan Allah Swt. Maka menilai perbuatan baik atau buruk, tentu harus berdasar penilaian Allah bukan berdasar penilaian manusia.
Begitu pun dalam menilai perbuatan yang tidak dikuasai oleh manusia, memang perbuatan tersebut tidak dihisab oleh Allah, hanya saja manusia cenderung menilai sesuatu baik atau buruk biasanya berdasarkan pada manfaat atau mudarat dan juga pada penerimaan dirinya terhadap sesuatu itu suka atau tidak suka.
Padahal penerimaan manusia yang didasari pada manfaat atau mudharat, suka atau tidak suka terkadang salah menduga. Bisa jadi menurut manusia sesuatu itu baik, tapi di sisi Allah ternyata itu buruk atau sebaliknya.
Sehingga kesimpulan manusia saat menilai perbuatan, baik atau buruk, terpuji atau tercela standar penilaiannya harus kembali pada kacamata Allah yaitu hukum syarak.
Di sinilah kemudian dimulai pembahasan pentingnya ruh (idrak silah billah) dalam melakukan perbuatan. Syekh Taqiyyudin membahas tentang konsep amal manusia, di mana dalam Islam, perbuatan adalah penyatuan materi dan ruh (Majhul maddah bil ruh).
Maka, agar pembaca memahami dan mampu membedakan perbuatan baik dan buruk dengan perbuatan terpuji dan tercela, dijabarkanlah cara menilai perbuatan baik (khair) dan buruk (syaar) yang ternyata berbeda dengan menilai perbuatan terpuji (hasan) dan tercela (qabih).
Setelah memahami perbedaan perbuatan baik dan buruk, maka untuk bisa memuji satu perbuatan atau mencela perbuatan yan lain, pembaca diajak memahami tujuan dari perbuatan (Qimah amal).
Dibahas tujuan perbutan manusia terkadang untuk mendapat keuntungan materi (Qimah Madiyah), terkadang untuk kepuasan diri (Qimah Akhlakiyah), terkadang untuk membantu manusia (Qimah Insaniyah) dan terkadang diniatkan untuk beribadah kepada Allah (Qimah ruhiyah).
Ternyata dijelaskan masing-masing qimah tidak menduduki posisi lebih baik antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing qimah tetap akan bernilai terpuji di sisi Allah, jika cara meraihnya sesuai dengan perintah Allah Swt.
Pencapaian qimah amal secara individu hanya bisa diwujudkan dalam setiap amal satu qimah, berbeda jika pencapaian qimah ini di tengah masyarakat, maka terwujudnya empat qimah secara bersamaan dalam masyarakat, ini yang akan membuat masyarakat menjadi masyarakat yang mulia dan tercapai ketentraman di tengah masyarakat.
Maka, buku ini menekankan pentingnya memahami perbuatan manusia, sebagai bekal bagi mereka dalam membangkitkan umat. Mengajak umat untuk senantiasa menjaga idrak silah billah di setiap amal yang mereka lakukan agar senantiasa mendapat rida Allah Swt. di setiap detik kehidupan yang dilalui.
Kesadaran hubungan dengan Allah, berkonsekuensi pada manusia harus paham bagaimana mengetahui hukum syarak yang membuat Allah rida pada kita. Sehingga melihat baik atau buruk perbuatan, tentu tepat sesuai hakikatnya. Kemudian menempatkan pujian dan celaan pada perbuatn pun tepat pada tempatnya.
Inilah konsep majhul maddah bil ruh, yang oleh para pejuang kebangkitan di Hizbut Tahrir sedang diupayakan ada di tengah masyarakat. Diharapkan jika akidah Islam telah menjadi dasar kehidupan, falsafah hidup dan aturan kehidupannya, maka peradaban Islam akan terwujud dan mengantarkan pada terwujudnya janji Allah Swt., menjadikan kaum muslimin sebagai khoiru ummah.
Selanjutnya, penulis membahas tentang metode penggalian hukum (istinbath) yang dilakukan para mujtahid. Para pembaca diajak untuk memahami metode ini, sehingga bisa mengupayakan agar bila mereka menjadi muqallid mereka tidak mencukupkan diri dengan muqallid aam, tapi berusaha menjadikan dirinya sebagai muqallid muttabi.
Muqallid muttabi adalah mengikuti hukum syarak, dengan mengetahui dalil yang menjadi dasar hukumnya. Tidak hanya menerima hukum tanpa memahami hujah yang melandasinya (muqallid aam).
Kemudian pembahasan berlanjut pada penjelasan hukum syariat, yang ternyata tuntutan pelaku yang menerapkannya bisa jadi berbeda. Bisa terkena pada individu, jemaah/masyarakat dan bisa pula terkena pada negara.
Konsep kewajiban melaksanakan hukum Islam secara kaffah, inilah yang kemudian menuntut seruan penerapan hukum syariat Islam tidak hanya didakwahkan pada individu semata, tapi juga kepada masyarakat dan negara.
Maka perlu pula dijelaskan perbedaan dakwah menyeru kepada Islam dengan dakwah menyeru untuk melangsungkan kehidupan Islam. Dalam dakwah melangsungkan kehidupan Islam, dakwah tak cukup hanya dilakukan oleh Individu dan jemaah, tetapi juga harus dilakukan oleh negara.
Dalam buku ini pun dijelaskan perbedaan dakwah Rasulullah saw. di Makkah dan di Madinah, dibandingkan dengan kondisi umat hari ini. Para pengemban dakwah yang menyeru umat untuk melangsungkan kehidupan Islam, tak mungkin mewujudkan cita-citanya kecuali mereka bergerak bersama umat.
Mereka mengajak umat bergerak, tak mungkin kecuali diserukan dakwah yang bersifat pemikiran. Dakwah yang sanggup menggerakkan umat, agar muncul kesadaran umat akan pentingnya melangsungkan kehidupan Islam. Dengan cara mewujudkan sistem Khilafah, yaitu sebuah negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Dengan ini, melangsungkan kehidupan Islam barulah dapat terwujud dengan sempurna.
Aktivitas apa yang harus dilakukan para pengemban dakwah yang menyeru kepada Khilafah? Ternyata semua adalah aktivitas bersifat politis. Karena aktivitas mereka adalah aktivitas yang tak hanya melibatkan individu-individu masyarakat, tapi juga berhadapan dengan intrik-intrik politik negeri penjajah yang tetap ingin berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin.
Selamat membaca dan menikmati keseruan kerangka berpikir yang unik dan khas di dalamnya.