"Para imam mazhab yang empat dan beberapa imam lain seperti Ibnul Jauzi dan Imam Nawawi memberikan pujian atas praktik tasawuf yang tidak dinafikan melahirkan kesalehan di talam individu-individu kaum muslimin. Namun, tak dimungkiri juga bahwa ilmu tasawuf ada yang diwarnai oleh filsafat Yunani dan India, sehingga ulama seperti syekh Taqiyuddin An-Nabhani memberikan kritik terhadap tasawuf falsafi tersebut, agar umat tidak mengambil pemahamannya karena dapat membahayakan pemikiran hingga akidah seorang muslim."
Penulis: Muhammad Ayyubi
Penerbit: Penerbit Quwwah
Tahun: 2020 (cetakan pertama) Halaman: xii + 131 halaman
Peresensi: Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Kun rahiban fil layli wa fursaanan fin nahari”
Adagium itu mengawali lembar pertama dari buku Sufi Pejuang Khilafah ini. Kalimat dalam Bahasa Arab yang artinya “menjadi rahib di malam hari dan penunggang kuda di siang hari” tersebut sangat menggambarkan garis besar isi buku yang ditulis oleh ustaz Ayyubi yang notabene memiliki pengalaman cukup erat dengan dunia tasawuf.
Ilmu tasawuf yang akhir-akhir ini tidak dipahami secara komprehensif memang rentan menimbulkan mispersepsi. Terdapat pandangan bahwa para sufi atau orang-orang yang giat bertasawuf adalah mereka yang sama sekali tak memikirkan dunia dan senantiasa mengasingkan diri untuk beribadah saja. Padahal, jika benar mendudukkan tasawuf dalam kehidupan, adagium di atas akan bisa terwujud. Menjadi ahlul ibadah di gelapnya malam dan menjadi pejuang jihad fi sabilillah di terangnya siang.
Buku ini memang tak begitu tebal, namun melalui sebelas babnya telah berhasil secara padat dan jelas mengupas tasawuf, mulai dari sejarah, hakikat, karakter para sufi, pandangan ulama terhadap tasawuf, hingga pembahasan sufi yang seharusnya senantiasa berpolitik dan menjadi orang yang memperjuangkan khilafah.
Tasawuf sendiri didefinisikan sebagai proses penyucian jiwa dan melatih jiwa agar bisa sampai pada derajat istikamah di jalan kebenaran. Konsisten di atas kebenaran mutlak memerlukan ilmu dan implementasi, hingga mengantarkan seseorang pada kondisi selalu merasa diawasi oleh Allah di mana saja. Definisi tasawuf ini selaras dengan derajat ihsan, yang disabdakan baginda Rasulullah saw. sebagai melihat Allah saat beribadah dan yakin bahwa Allah Swt. senantiasa melihat dirinya.
Lalu buku ini juga menjabarkan beberapa pandangan, berupa pujian dan kritik dari para ulama terhadap keberadaan ajaran tasawuf dalam khazanah Islam yang pada faktanya terkategori menjadi dua, yakni tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi. Para imam mazhab yang empat dan beberapa imam lain seperti Ibnul Jauzi dan Imam Nawawi memberikan pujian atas praktik tasawuf yang tidak dinafikan melahirkan kesalehan di talam individu-individu kaum muslimin. Namun, tak dimungkiri juga bahwa ilmu tasawuf ada yang diwarnai oleh filsafat Yunani dan India, sehingga ulama seperti syekh Taqiyuddin An-Nabhani memberikan kritik terhadap tasawuf falsafi tersebut, agar umat tidak mengambil pemahamannya karena dapat membahayakan pemikiran hingga akidah seorang muslim.
Sebelum membahas keharusan para sufi untuk berpolitik, penulis buku ini terlebih dulu memaparkan mengenai tiga tadrib (proses pembiasaan melakukan kebaikan hingga menjadikan kebaikan sebagai karakter diri) yang terus menerus dilatih oleh seorang mursyid –sebutan untuk guru di kalangan sufi- kepada murid-muridnya. Tadrib tersebut adalah tadrib ‘aqliyyah (latihan memaksimalkan akal untuk menghukumi sesuatu berdasarkan kaidah Islam); tadrib nafsiyah (latihan memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri berdasarkan akidah dan syariat Islam); dan tadrib jismiyyah (latihan fisik agar memiliki raga yang kuat unjuk beribadah kepada Allah). Ketika tiga tadrib tersebut telah matang dalam diri seseorang, maka akan muncullah tiga kekuatan dalam diri seorang muslim, yaitu quwwah ma’nawiyyah (kekuatan nonfisik); quwwah maddiyah (kekuatan fisik); serta quwwah ruhiyyah (kekuatan spiritual).
Dari sekian penjelasan mengenai tasawuf, sufi serta keterkaitannya dengan urgensi kaum muslimin untuk terlibat langsung dalam aktivitas politik Islam, bab-bab terakhir buku ini menegaskan bahwa tidak ada dikotomi antara menjadi sufi dan menjadi seorang politisi muslim, khususnya yang memperjuangkan Khilafah Islamiah. Para ahlul ibadah yang mengamalkan tasawuf seharusnya turut serta mengikhtiarkan kembalinya kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah. Dan mereka yang mengemban aktivitas dakwah Islam untuk menegakkan Khilafah pun seharusnya senantiasa menghidupkan malam-malam dengan ibadah dan membasahi lisan dengan untaian doa serta zikir.
Tersebab kurangnya pemahaman, saya pribadi pada mulanya dapat dikatakan skeptis terhadap ilmu tasawuf dan bahkan cenderung memiliki konotasi yang negatif terhadapnya. Namun setelah membaca halaman demi halaman dari buku Sufi Pejuang Khilafah ini, pemahaman saya mengenai tasawuf dan bagaimana menyelaraskannya dengan aktivitas dakwah melanjutkan kembali kehidupan Islam bisa berubah. Maka buku ini sangat saya rekomendasikan untuk menjadi salah satu referensi bagi umat dalam memahami serta mendudukkan tasawuf secara proporsional. Wallahu a’lam bisshawwab.[]
Photo : Koleksi pribadi
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirm tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]