"Meskipun kita tidak mampu menjangkau Zat Pencipta, akan tetapi akal kita yang terbatas mampu membuktikan bahwa Allah Swt. itu ada, kekal, tidak berawal dan tidak berakhir."
Oleh : Novida Sari, S.Kom.
(Majelis Taklim Islam Kaffah Mandailing Natal)
NarasiPost.Com-Islam hadir sebagai agama yang asing di tengah-tengah masyarakat kafir Jahiliah Makkah. Di tengah kebodohan dan kegelapan peradaban yang jauh dari fitrah manusia. Mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap tabu, menyembah sesuatu yang mereka sebut dengan ‘Tuhan’ yang mereka ciptakan sendiri, pelecehan sosok perempuan yang melahirkan mereka dengan menjadikannya hal yang bisa diwarisi, zina, riba, pertumpahan darah serta hal-hal buruk yang tidak diterima oleh akal manusia yang sehat.
Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. untuk mengubah tatanan kehidupan yang buruk ini. Suatu tugas mulia lagi berat, karena kerak kejahiliahan ini begitu tebal menyelimuti masyarakat. Tak hanya di bidang moral yang rusak, termasuk ekonomi riba yang terlaknat, hubungan sosial yang zalim, dan yang paling penting mengubah penopang sistem peradaban yang tengah berjalan.
Sebelum diutus menjadi rasul, Muhammad dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya. Mulia akhlak dan nasabnya, mulia lisan dan perbuatannya, sehingga kaumnya menyematkan gelar Al-Amin. Sebuah pembuktian bahwa apa yang keluar dari pemikiran, lisan dan perbuatan manusia bernama Muhammad bin Abdullah adalah hal yang mampu dipertanggungjawabkan karena ia adalah Al-Amin ataupun yang dapat dipercaya.
Terbukti saat Rasulullah Saw. mengumpulkan kaumnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, telah diceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Salam, kepada Abu Mu’awiyah, kepada Al-A’masy, dari Amr bin Murrah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. keluar menuju lembah Batha, lalu menaiki bukit yang ada padanya, Kemudian berseru, “Awas! Ada musuh pagi ini!”
Kemudian orang-orang Quraisy berkumpul, lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika aku menyampaikan berita bahwa musuh akan menyerang pagi atau petang hari. Lantas apakah kalian percaya?”
Mereka menjawab, “Ya, kami percaya.”
Kemudian Rasulullah Saw. mengatakan bahwa ia adalah utusan Allah Swt. Oleh karenanya, orang kafir Quraisy Makkah harus beriman dengan lafaz tauhid.
Bangsa Arab memahami persis makna dari kalimat tauhid, bahwa لا اله الا الله memiliki makna tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah Swt. Tidak ada lagi berhala yang mereka sembah selain Allah Swt. dan mereka tahu Muhammad adalah orang yang akan mereka ikuti dalam penyembahan ini. Di satu sisi meninggalkan penyembahan dan kebiasan yang sudah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Sehingga, karena kesombongan kebanyakan mereka mengingkari kenabian Muhammad Saw. karena khawatir kepentingan dan kesenangan yang mereka dapatkan selama ini akan hilang. Tidak tergambarkan juga bagi mereka bagaimana Islam hadir untuk menghapus kebiasaan yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Sehingga mereka tetap berada pada kubangan kejahiliahan, kehinaan, dan gelimang dosa.
Meskipun demikian, Rasulullah Saw. tidak menyerah. Karena Rasulullah Saw. mengetahui persis peradaban yang dihasilkan pada saat itu berasal dari pemikiran yang rusak dan dangkal bahkan lebih rendah dari hewan. Oleh karenanya, Rasulullah Saw. senantiasa mengajak mereka untuk berislam secara kafah (menyeluruh). Tidak jarang Rasulullah Saw. mengajak mereka berpikir untuk meninjau ulang tindakan mereka. Seperti, mempertanyakan kekuatan dan daya upaya berhala mereka untuk melindungi umat manusia.
Kepercayaan mereka kepada Muhammad Saw. tidak pudar, namun pengaruh perasaan yang jauh mendominasi akal sehat mereka, mereka pun mengingkari di lisan dan di hadapan kaumnya. Terbukti ketika 3 tokoh Quraisy termasuk Abu Jahal dan Abu Sufyan diam-diam datang dan mendengarkan Rasulullah Saw. membaca Al-Qur'an. Ketiganya mendengarkan di titik yang berbeda. Namun, saat selesai mendengarkan bacaan Muhammad Saw. dan akan pulang, mereka pun bertemu dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Akan tetapi mereka melakukan hal yang sama di malam yang kedua, dan betul-betul berjanji untuk tidak mengulangi karena khawatir diketahui masyarakat dan membuat masyarakat beriman kepada agama Muhammad Saw.
Akan tetapi mereka ternyata mengulanginya di hari ketiga dan bertemu kembali. Lalu ketiganya bertukar pendapat terkait dengan apa yang mereka dengarkan. Lalu Abu Jahal pun berkata, “Wallahi, Muhammad itu benar. Akan tetapi dari dulu sukuku dan sukunya Muhammad bersaing. Kalau sukunya Muhammad memberi makan jemaah haji, sukuku juga demikian. Di setiap perbuatan yang dilakukan oleh sukunya Muhammad, maka sukuku juga berbuat hal yang sama. Pada hari ini di suku Muhammad keluar seorang nabi, jika aku mengakuinya, maka sukuku kalah.”
Lantaran ucapan ini akhirnya mereka pun berpendapat sama dan tidak beriman kepada Allah Swt. dan kenabian Muhammad Saw.
Berbeda dengan orang-orang yang beriman yang telah memeluk Islam, mereka yakin akan ada masanya Islam itu akan menjadi mulia dan tidak terasing sebagaimana keyakinan mereka kepada Allah Swt. dan syariat yang dibawa oleh Muhammad Saw. Kejahiliahan yang menyelimuti mereka selama ini akan berganti menuju kebangkitan tatkala mereka mau menggunakan akal sehat untuk merenungkan mengapa mereka diciptakan.
Pemikiran yang mustanir (cerdas) telah merasuki akal dan memengaruhi tingkah laku mereka. Dengan memahami bahwa Allah Swt. menciptakan mereka lengkap dengan aturan Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw. telah menjadikan mereka mantap untuk senantiasa siap memberikan pertanggungjawaban perbuatan mereka kelak di hadapan Allah Swt. meskipun mereka berada di pusat peradaban yang rusak.
Meskipun mereka tidak mampu menjangkau Zat Pencipta, akan tetapi akal mereka yang terbatas mampu membuktikan bahwa Allah Swt. itu ada, kekal, tidak berawal dan tidak berakhir. Sehingga keimanan mereka mampu bertahan meski harus mengalami kesulitan, permusuhan, fitnah, pemboikotan dan penyiksaan bahkan pembunuhan.
Akan tetapi, akidah Islam yang lurus telah betul-betul tertancap di dalam jiwa mereka dan mereka siap dengan konsekuensi yang mereka pilih. Karena mereka betul-betul menyadari, bahwa perbuatan yang muncul dari pemikiran yang cemerlang akan mengantarkan pada perubahan sikap dan perbuatan yang Allah ridai. Wallahu a’lam.[]
Photo : Pinterest
MasyaAllah, perjuangan Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya sungguh luar biasa. Kita belum ada artinya.