Memerdekakan Diri dari Kemerdekaan Semu

"Salah satu naskah Challenge ke-4 NarasiPost.Com dalam rubrik Opini "

Oleh: Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Alumni Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam)

NarasiPost.Com-Angka 76 tampak di banyak tempat di penjuru negeri. Secarik kain berwarna merah dan putih pun sudah bertengger di pagar dan gerbang rumah-rumah warga. Bahkan, dalam beberapa hari terakhir, tiga helikopter yang mengibarkan bendera merah putih melintas di langit ibukota sebagaimana kabar yang berkelindan di media sosial. Kemeriahan hari kemerdekaan negeri ini mulai digalakkan meski pandemi belum angkat kaki dari sini.
Bagi setiap negara bangsa hari ini, hari kemerdekaan adalah sebuah tanggal yang tidak bisa dibiarkan tanpa perayaan apa pun. Hal ini dikarenakan hari kemerdekaan adalah hari monumental bagi entitas negara tersebut sebagai pertanda kebebasannya dari belenggu keterjajahan, tak terkecuali Indonesia.

Merdeka dari bangsa di Barat dan Timur berpuluh bahkan ratusan tahun, tentu menjadi alasan yang rasional bagi elemen negeri untuk menempatkan hari kemerdekaan ini pada posisi yang spesial. Hanya saja, memaknai kemerdekaan hari ini tak cukup dengan seremoni yang gebyah uyah sedemikian rupa. Perlu selalu diingat dan dipahami bahwa kemerdekaan tak hanya terdiri dari satu bentuk. Indonesia hari ini memang merdeka secara fisik, dimana rakyat tak harus keluar rumah membawa bedil dan bambu runcing demi menghalau musuh yang berniat menindas hak. Namun, yang sering luput adalah bahwa kemerdekaan yang dirayakan selama ini hanya memindahkan kita pada keterjajahan yang lain.

Raga sudah tak terbelenggu, namun jiwa dan pemikiran elemen bangsa amat sangat pantas disebut terjajah oleh berbagai ide, agenda bahkan akidah yang disebarluaskan oleh pihak-pihak yang memang menghendaki keterpurukan atas anak negeri, baik penguasanya, pun rakyatnya di bawah. Penjajahan ini disadari atau tidak tingkat bahayanya tak jauh berbeda dengan penjajahan fisik. Pemikiran dan mental yang terjajah atau sering disebut dengan inlander mental, membuat empunya secara sukarela menjadi kacung bagi pihak yang lebih superior. Bila dahulu pemikiran merdeka dan fisik terbelenggu, namun kini fisik yang telah merdeka berganti dengan pemikiran yang terjajah.

Sekularisme yang menjalar, mungkin hingga ke urat nadi banyak orang hari ini telah membuat entitas yang berselimut kain merah putih terjajah, yang bahkan bisa menggiring pada kebinasaannya di suatu titik kelak. Amoralitas, kemiskinan, dan kriminalitas yang masih mewarnai tajuk berita di media cetak, daring dan televisi menjadi sedikit bukti betapa bahayanya keterjajahan pemikiran ini akan keberlangsungan eksistensi anak negeri. Bahaya yang tidak disadari oleh mayoritas ini dapat mengantarkan pada kerusakan yang mungkin tak terbayangkan oleh benak sebelumnya.

Bila sekularisme telah nyata menjadi penjajah baru era kini, maka bukan suatu hal yang berlebihan bila Islam dijadikan sebagai “obat” yang mampu menangkal bahaya yang disebabkan oleh sekularisme. Islam sejak kemunculannya 1443 tahun yang lalu secara tegas menantang dan menentang berbagai paham dan keyakinan yang membuat manusia menghamba pada sesuatu selain Allah, satu-satunya Ilah yang pantas disembah.

Demikianlah makna kehadiran Islam dahulu, memerdekakan penghambaan manusia dari penghambaan selain kepada Allah ar Rabb. Islam juga terbukti telah membawa kecemerlangan hidup manusia, tak hanya bagi kaum muslimin, namun pemeluk agama bahkan peradaban lain yang disinari kemuliaan Islam serta segenap penerapan peraturannya.

Jahiliah memang adalah ‘gelar’ yang lekat dengan peradaban sebelum kehadiran Islam, yang tersebab kebodohan penduduknya, batu yang tak bisa memberikan manfaat atau mudharat apa pun justru dijadikan sesembahan.

Kemerdekaan yang dibawa dan dikenalkan oleh Islam dahulu berbeda bak langit dan bumi dengan kemerdekaan yang diusung oleh ratusan negara yang eksis di dunia hari ini. Bukan merdeka dalam makna sempit yang sebatas tak terjajah secara fisik, tapi merdeka untuk menjadi insan kamil dalam menjalani hidup sesuai titah sang pencipta kehidupan itu. Kesempurnaan Islam dalam memerdekakan manusia dari segala bentuk keterjajahan tentu amatlah murah bila harus dibandingkan dengan kemerdekaan semu yang sejatinya tersekat oleh batas-batas nisbi buatan manusia. Wallahu a’lam bisshawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Bonus Demografi Melimpah: Berubah Jadi Beban Demografi dalam Sistem Payah
Next
Hijrah dengan Akidah untuk Meraih Jannah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram